by

Nubanara Adat Masyarakat Flores Timur

KOPI, MUDAKAPUTU – Menurut masyarakat Lamaholot tepatnya di Desa Mudakaputu, Flores Timur memiliki tempat adat sakral ketika upacara adat berlangsung, yang biasa disebut masyarakat setempat dengan sebutan Nubanara.

Nubanara merupakan tempat perjamuan atau mesbah yang hanya bisa diduduki oleh kepala suku besar desa, atau orang dulu sering menyebutnya tua raja koten, kelen, hurint, maran saat upacara adat berlangsung seperti adat pembuatan koke bale.

Nubanara masih berhubungan dengan koke bale (rumah adat), karna ada dalam satu tempat dan nubanara juga merupakan tempat ketika seremonial adat puncak penyembelihan babi dilakukan dari pengedaran arak (minuman adat lamaholot) sampai upacara pembuatan rumah adat selesai. Nubanara berbentuk meja dan tempat duduk yang terbuat dari batu besar yang datar.

Lembaga adat Desa Mudakaputu bapak Joni Leton (45) mengatakan batu untuk pembuatan Nubanara yang saat ini, merupakan peninggalan budaya dari leluhur yang sudah ada dari dahulu kala.

Batu itu disusun tidak dengan semen melainkan disatukan menggunakan tanah liat saja, jaga – jaga ketika ada yang rusak para lembaga adat akan menggerakan masyarakat desa untuk mengambil batu ceper besar diatas Ile Mandiri (Gunung Mandiri dimana dibawah kakinya ada beberapa desa yang orang banyak sebut lamaholot).

Nubanara ini memang sangat sakral ketika upacara adat berlangsung, tetapi ketika tidak ada upacara adat atau saat hari biasa maka, Nubanara ini merupakan tempat biasa pada umumnya.

Di setiap Desa di wilayah Lamaholot, tentunya mempunyai rumah adat yang disebut Koke Bale. Koke bale adalah rumah tempat berkumpulnya masyarakat dalam upacara adat tertentu. Ada pula proses pembuatan rumah adat ini berawal dari berkumpulnya para tua raja suku Koten, Kelen, Hurint, Maran untuk membahas pembuatan koke bale.

Sebuah koke bale yang ada disetiap desa di Lamaholot memiliki beberapa bagian antara lain atap yang terbuat dari daun lontar. Bagian berikutnya adalah tiang yang diambil dari pohon tertentu di atas Gunung Mandiri (Ile Mandiri), jumlah tiang yang diambil berjumlah 6 sesuai dengan jumlah suku yang ada di desa tersebut yang ada di wilayah Lamaholot.

Bagian koke bale selanjutnya yaitu panggung yang terbuat dari bambu. Pembuatan disetiap bagian dari koke bale dilakukan oleh suku tertentu. Bisa juga dilakukan oleh masyarakat biasa tetapi harus diarahkan oleh suku yang telah ditentukan.

Jika dilakukan pembuatan koke bale di buat secara besar-besaran, akan memakan waktu selama 2 (dua) hari 1 (satu) malam. Setiap masyarakat dan tetua adat harus berjaga semalaman di koke bale sampai pagi hari sampai selesai pembuatan koke bale. Kegiatan berjaga semalaman dimanfaatkan masyarakat dengan menari tarian adat (Hedung) agar masyarakat tetap terjaga.

Lembaga adat Lamaholot khususnya Desa Mudakaputu, Bapak Joni Leton (45) mengatakan dahulu kala nenek moyang leluhur jika berjaga biasanya mengundang tetua adat dari desa tetangga untuk sama-sama menjaga dalam proses pembuatan koke bale.

Upacara dari pembuatan koke bale selanjutnya adalah perkumpulan tetua adat di nubanara yang merupakan awal dari proses penyembelihan. Nubanara ini merupakan tempat perjamuan / mesbah yang hanya bisa diduduki oleh kepala suku besar desa, atau orang dulu sering menyebutnya tua raja Koten, Kelen, Hurint, Maran saat upacara adat berlangsung seperti adat pembuatan Koke Bale.

Setelah semua bagian Koke Bale diselesaikan dengan benar, proses selanjutnya adalah penyembelihan hewan Babi yang dilakukan oleh suku tertentu seperti pemotongan kepala hewan Babi oleh suku Leton Mara Bele, pemegang kaki-kaki hewan Babi oleh suku Kelen dan doa dalam bahasa adat dilakukan oleh suku Maran dan Leton Mara Bele untuk pembukaan penyembelihan hewan dalam adat tersebut.

Ketika penyembelihan selesai, para lelaki menari tarian adat hedung (tarian hedung merupakan tarian adat syukur atas kemenangan dari sebuah peperangan dari nenek moyang dahulu kala). Selesai penyembelihan, kepala hewan digantung di tiang Koke Bale dan darah dari hewan tersebut dioleskan pada tiang koke bale mengartikan selesainya pembuatan rumah adat.

Proses penyembelihan hewan ini menandakan berakhirnya proses pembuatan koke bale. Tetapi pada malam harinya semua masyarakat yang ada di Desa, berkumpul untuk mengambil daging hewan sembelihan yang sudah dipotong dan dimasak oleh para kaum laki-laki.

“Darah dari binatang yang disembelih diurapi ke semua masyarakat desa dengan cara diolesi di kemiri yang sudah disiapkan.” tutur bapak Joni.

Proses urapan dilakukan agar minta perlindungan dari nenek moyang leluhur Desa Mudakaputu, tanda persatuan dan persaudaraan setiap masyarakat desa dan juga membersihkan desa dari segala pengaruh jahat. (Mariani)

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA