by

Karakteristik Benda Sitaan dan Barang Bukti

-Opini-3,370 views

Barang bukti yang bukan merupakan obyek, barang bukti atau hasil delik tetapi dapat pula dijadikan barang bukti sepanjang barang bukti tersebut mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana misalnya uang yang dipakai korban pada saat ia melakukan kejahatan korupsi bisa di jadikan barang bukti.

Barang bukti memegang peranan yang sangat penting proses persidangan, di mana barang bukti dapat membuat terang tentang terjadinya suatu tindak pidana dan akhirnya akan digunakan sebagai bahan pembuktian, untuk menunjang keyakinan hakim atas kesalahan terdakwa sebagaimana yang didakwakan oleh jaksa di dalam surat dakwaan di pengadilan.

Barang bukti tersebut antara lain meliputi benda yang merupakan objek-objek dari tindak pidana, hasil dari tindak pidana dan benda-benda lain yang mempunyai hubungan dengan tindak pidana.

Untuk menjaga keamanan dan keutuhan benda tersebut undang-undang memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penyitaan. Penyitaan mana harus berdasarkan syarat-syarat dan tata cara yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dalam Pasal 183 KUHAP di atas mengisyaratkan bahwa untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen:

Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan bukti yang sah menurut undang-undang; dengan alat-alat.  Keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara yang sah menurut undang-undang.

Dua komponen tersebut satu sama lainnya berhubungan sedemikian rupa, dapat dikatakan bahwa yang disebut kedua dilahirkan dari yang pertama, sesuai dengan hal ini maka kita juga mengatakan bahwa adanya keyakinan hakim yang sah adalah keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti yang sah jadi dapat dikatakan bahwa suatu keyakinan hakim dengan alat-alat bukti yang sah merupakan satu kesatuan.

Kedudukan barang bukti setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Tidak semua barang bukti diputuskan hakim untuk dimusnahkan, ada kalanya hakim memutuskan barang bukti juga dapat dikembalikan. Sebelum membahas lebih jauh tentang kedudukan barang bukti setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.

Dalam ketentuan Pasal 194 ayat (1) KUHAP ditetapkan dalam hal ini putusan pemidanaan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali jika menurut undang undang, barang bukti tersebut harus dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi.

Penyitaan dan hak asasi manusia terhadap pengembalian benda yang dikenakan penyitaan diatur dalam ketentuan Pasal 46 ayat (1) KUHAP yang berbunyi:

“Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila:

-Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;

-Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana;

-Perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergu nakan untuk melakukan suatu tindak pidana

Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.

Penjelasan resmi Pasal 46 ayat (1) KUHAP: “Benda yang dikenakan penyitaan bagi pemeriksaan sebagai barang bukti. Selama pemeriksaan berlangsung, dapat diketahui benda itu masih diperlukan atau tidak. Dalam hal penyidik atau penuntut umum berpendapat, benda yang disita itu tidak diperlukan lagi untuk pembuktian, maka benda tersebut dapat dikembalikan kepada yang bersangkutan atau pemiliknya. Dalam pengembalian benda sitaan hendaknya sejauh mungkin diperhatikan segi kemanusiaan, dengan mengutamakan pengembalian yang menjadi sumber kehidupan”.

Rumusan “sejauh mungkin diperhatikan segi kemanusian” pada penjelasan Pasal 46 ayat (1) membawa pemikiran akan latar belakang rumusan tersebut. Semua tindakan hukum dilandasi “Kepatutan” yang dengan sendirinya telah mencangkup “Segi Kemanusian”.

Seyogianya penjelasan 46 ayat (1) berlandaskan pembuktian karena penyitaan tersebut untuk pembuktian. Hal ini berarti dengan memperhatikan alat bukti yang sah yang tercantum pada Pasal 184 KUHAP.

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA