by

Satu Desa, Satu “TOSS” Upaya Mewujudkan Ekonomi Listrik Kerakyatan

KOPI, Jakarta – Dulu area tempat pembuangan sampah tidak menarik perhatian banyak orang. Bahkan Sebagian kita enggan untuk melewati area tersebut. Bukan saja disebabkan baunya yang tidak sedap, melainkan kondisi sampah yang berserakan juga menambah keengganan orang untuk datang. Tapi itu cerita lama, saat ini banyak daerah yang menjadikan area tempat pembuangan sampah bermanfaat dan menjadi ATM.

ATM ini singkatan dari Amati, Tiru dan Modifikasi. Sebagai contoh adalah keberhasilan Kabupaten Klungkung dalam program pengolahan sampah di Tempat Olah Sampah Disumbernya (TOSS) Center. TOSS Center Kabupaten Klungkung telah berhasil manjadi pusat Amati, Tiru dan Modifikasi (ATM) dari banyak daerah dan lembaga tertentu untuk mempelajari dan mengenal lebih dalam program TOSS tersebut.

Kini, TOSS menjadi salah satu terobosan baru dalam pengelolaan sampah dan sumber energi baru terbarukan (EBT). Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pemerintah telah menetapkan target pemanfaatan EBT sebanyak 23% dalam bauran energi nasional di tahun 2025. Guna mencapai target tersebut kurang dari 5 tahun, diperlukan strategi untuk mendorong percepatan EBT dengan menciptakan terobosan kreatif dan inovatif.

Substitusi energi dapat berasal dari kearifan lingkungan atau inovasi teknologi tepat guna yang memaksimumkan kapasitas setempat. Transisi energi dapat didukung antara lain melalui upaya penyediaan energi terbarukan berbasis biomassa baik yang berasal dari tanaman energi, limbah, maupun sampah.

Satu Desa, Satu TOSS

Tempat Olah Sampah di Sumbernya (TOSS) dapat menjadi alternatif untuk menjawab dilema Tempat Pembuangan Akhir (TPA), karena sampah bisa dijadikan energi listrik di banyak tempat yang dekat dengan sumbernya. Hasil dari metode TOSS berupa pelet biomassa dapat menjadi bahan baku untuk cofiring PLTU sehingga mendukung terciptanya ekonomi listrik kerakyatan dan menjadi solusi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

Upaya untuk memperbanyak EBT di Indonesia menjadi sebuah keniscayaan. Hal ini tidak lepas dari kebijakan nasional terhadap energi dan sumber energi. Di tahun 2045, Indonesia diprediksi beralih dari pola pertumbuhan yang digerakkan oleh sumber daya serta bergantung pada modal dan tenaga kerja, menjadi pola pertumbuhan yang berbasis produktivitas tinggi serta inovasi.

Menurut sumber dari IMF estimates for 2014, PwC projections for 2030 and 2050, tahun 2014, Indonesia berada di posisi 9 dari 10 negara yang memiliki Produk Domestik Bruto (PDB)/Gross Domestic Product (GDP) terbesar. Diproyeksikan di tahun 2030 akan meningkat ke posisi kelima, dan tahun 2050 akan bertengger di posisi keempat.

Target energi baru terbarukan (EBT) dalam bauran energi primer sebesar 23% di tahun 2025 dan 31% di tahun 2050 merupakan target yang besar dan membutuhkan strategi yang tepat untuk mencapainya. Salah satunya adalah program TOSS Center ini untuk setiap desa. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah desa di Indonesia adalah 81.616 desa. Apabila setiap desa mampu menciptakan TOSS Center dan mengelolanya dengan baik maka Indonesia akan memiliki 81.616 TOSS Center yang mampu memberikan kontribusi besar untuk melahirkan pelet biomassa.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat, pada tahun 2020, total produksi sampah nasional sudah mencapai 67,8 juta ton. Artinya, ada sekitar 185.753 ton sampah setiap harinya dihasilkan oleh 270 juta penduduk. Atau setiap penduduk memproduksi sekitar 0,68 kilogram sampah per hari. Angka tersebut meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada 2018 saja, produksi sampah nasional sudah mencapai 64 juta ton dari 267 juta penduduk. Lambat laun, timbunan sampah-sampah itu bisa menggunung di TPA jika saja tidak diolah.

Data tersebut menunjukkan bahwa persoalan bahan baku untuk biomassa atau pelet untuk saat ini di Indonesia tidak menjadi masalah. Yang menjadi persoalan selama ini adalah sampah tersebut mau diolah jadi apa. Peran desa untuk memiliki TOSS Center Desa sedikit banyak akan mempercepat pemenuhan target dari kebijakan nasional terhadap energi dan EBT. Hal tersebut terjadi tidak lepas dari kelengkapan yang dimiliki desa selama ini, misalnya adanya kelembagaan desa yang kuat, adanya dukungan dana desa dan mungkin yang masih menjadi masalah adalah sumber daya manusia (SDM).

Terkait dengan SDM, maka program satu desa 5 sarjana sesuai dengan kebutuhan desa perlu menjadi program unggulan. Sehingga nantinya pemuda-pemuda ini lah yang akan mampu secara perlahan dan pasti menjadi sdm unggul pada setiap desa. Kembali lagi program TOSS Center Desa, maka upaya tercepat sekarang adalah kementerian tekait melahirkan kebijakan agar setiap desa memiliki TOSS Center Desa. Langkah awalnya mungkin bekerjasama dengan kabupaten yang telah memiliki TOSS untuk menjalankan program ATM (Amati, Tiru dan Modifikasi).

Kita dapat membanyangkan dengan keberadaan TOSS Center Desa, maka semua sampah di setiap desa akan dikelola dengan baik. Sisa sampah akan diolah dengan menjadi biomassa atau pelet dengan teknologi Refuse Derived Fuel (RDF), lalu dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk cofiring Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Cofiring sendiri merupakan proses menambahkan biomassa sebagai bahan bakar pengganti parsial atau campuran batu bara di PLTU.

Terkait hal tersebut, Dirjen Toto saat ini berupaya untuk segera menggantikan PLTD dari diesel ke yang berbasis CPO. Untuk program Tempat Olah Sampah Setempat (TOSS) beliau menargetkan akan mengisi pembangkit-pembangkit yang akan tumbuh di berbagai daerah, yang diproyeksi dapat menyumbang 2-5% ke dalam capaian target EBT dalam bauran energi primer.

PLN sendiri tentu saja akan sangat welcome untuk bekerjasama dengan setiap TOSS Center Desa di waktu-waktu yang akan datang dalam memproduksi listrik dengan pelet biomassa. Disebabkan selain memproduksi listrik, Kerjasama tersebut dapat menjadi solusi listrik lingkungan perkotaan. Sebagai contoh adalah hasil uji coba di TPA Rawa Kucing, Tangerang, dalam menghasilkan 1,5 ton pelet dan dipakai di PLTU Banten 3 Lontar. Guna mencapai target EBT 16 gigawatt (GW), salah satu langkah yang dijalankan PLN yakni melakukan ujicoba co-firing pada 52 PLTU di Indonesia sampai dengan 2024.

Kenyataan tersebut menunjukkan pelet biomassa kini memiliki peran bagi sumber energi Indonesia, dan penulis secara pribadi sangat sepakat dengan pernyataan Dirjen Toto yang menjelaskan diperlukan langkah-langkah strategis bagi biomassa TOSS. Antara lain pelet biomassa harus menjadi komoditi, untuk menjadi komoditi, syaratnya harus mempunyai standar, yang wajib memiliki SNI nya. Kemudian pasokan pelet juga harus stabil, membangun rantai tata niaganya sehingga semua  dapat maju, dan bersama-sama mendapatkan manfaat. Selanjutnya, pengembangan sistem dalam mekanisme tata niaga pelet juga harus didukung melalui kebijakan dan peraturan bagi pengusahaan pelet TOSS, sehingga TOSS dan pelet biomassa akan tetap kuat menjadi sumber energi baru untuk membangkitkan negeri ini. Semoga.

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA