by

Kajian Budaya dalam Masyarakat Multi Kultur Indonesia

Opini oleh: Agoes Hendriyanto

KOPI, PACITAN- Monodisiplin yang berkembang pada awal-awal perkembangan ilmu pengetahuan yang dipelopori oleh  generasi pertama, era klasik, adalah generasi monodisiplin. Pada perkembangan awal ini sekitar abad 19 dengan tokohnya August Comte yang mempunyai pandangan bahwa batang, cabang, atau ranting dari disiplin ilmu yang dikuasainya dan tidak begitu peduli terhadap batang, cabang dan ranting disiplin ilmu di luar bidang yang dikuasainya.

Mereka tidak peduli sebuah penelitian selain struktur yang berpengaruh namun dibalik ada faktor lingkungan yang akan mempengaruhi hasil dari sebuah penelitian. Mereka tidak sadar bahwa penemuan yang berhasil mereka ciptakan berhasil merubah wajah dunia menjadi dunia modern namun di balik penemuan besarnya ada persoalan sosial budaya yang berkembang di masyarakat.  Salah satunya menciptakan kelas di masyarakat seperti kelas pemodal dan kelas buruh.  Selain itu juga manusia ingin mendominasi sumber daya wilayah lain yaitu dengan berkembangnya imperialisme pada abad 18-19.  Monodisiplin dengan cara pendekatan persoalan dan cara berpikir pada generasi ini mulai dikritisi oleh generasi yang datang setelahnya.

Perkembangan selanjutnya era modern, pada dasarnya juga masih bercorak monodisiplin, tetapi telah mulai ada kesadaran baru yang mengingatkan bahwa ada kekurangan yang melekat pada pendekatan monodisiplin.  Karakter, nilai-nilai yang selama ini diabaikan oleh positivism mulai dipergunakan untuk pengambilan sebuah simpulan.  Faktor eksternal yang mempengaruhi penelitian menjadi salah satu faktor yang dipergunakan untuk membuat sebuah simpulan penelitian.

Monodisipline dengan  kebanggaan yang berlebihan yang menganggap monodisiplin yang terhebat, terpandai.  Mereka hanya menguji sesuatu atau struktur dari subyek penelitian.  Padahal selain faktor struktur dari sebuah subyek terdapat faktor di luar struktur yang sangat mempengaruhi subyek penelitian.  Namun demikian sekarang ini sudah  mulai sadar bahwa permasalahan yang dihadapi oleh alam semesta, seperti perubahan iklim (climate change), kerusakan lingkungan hidup dan persoalan yang dihadapi oleh manusia, seperti fenomena lunturnya nilai-nilai, pendidikan karakter, pendidikan nilai, penanggulangan korupsi, kolusi dan nepotisme, juga kasus-kasus radikalisme, terorisme dan kekerasan yang mengatasnamakan agama, pandemic Covid-19, ekonomi di masa pandemic  tidak bisa dan tidak mungkin dapat diselesaikan dengan hanya menggunakan pendekatan monodisiplin.

Persoalan-persoalan ini memerlukan kerja sama antar berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Kerja sama antar berbagai disiplin ilmu adalah masa depan ilmu pengetahuan era baru. Kondisi sekarang saat pandemi Covid-19 ilmu monodisiplin berkibar kembali dengan penemuan vaksin dan obat terbaru.  Semua dana dan sumber daya dikerahkan untuk menemukannya.  Hal ini kan membuat mereka diatas angina dan pasti akan memandang sangat rendah ilmu Sosial Humaniora.  Semoga  monodisiplin  mengakui keberadaan kami yang multidisiplin walaupun perbedaan  konsep dan bersama-sama untuk bersinergi untuk kemajuan bersama.

Sehingga jurang semakin lebar dengan adanya Covid-19, ilmu monodisiplin yang paling terdepan dalam penanganan  Covid-19.  Pembuatan vaksin-covid-19, pembuatan obat covid-19, pencegahan penyebaran covid-19, pembuatan Alat Pelindung Diri.  Angka bagi mereka identik dengan kebenaran, mereka tidak peduli lagi apakah angka tadi hasil manipulasi atau tidak. Hal ini akan terus berlangsung terus ibarat Utara-Selatan, Barat-Timur, baik-Buruk, dan Monodisiplin – Multidisiplin (Culture Studies).

Fokus kajian budaya adalah mendekontruksi hubungan kekuasaan dengan semua konteks.  Konteks sangat berkaitan dengan faktor eksternal yang sangat berpengaruh dalam tugas cultural studies untuk  membongkar dan memaparkan unsur-unsur penyusun konstruk tersebut dan cara kerjanya.  Kajian budaya selalu melibatkan  manusia sebagai subyek dapat melibatkan diri secara aktif dalam dunia konstruksi tersebut.  Sehingga peneliti secara langsung ada dalam proses dekontruksi kekuasaan disesuaikan dengan konteks yang berkembang di masyarakat.

Dalam era teknologi informasi dewasa ini perhatian kajian budaya dalam masyarakat multikulture yang fokus terhadap kajian  sosial atas realita telah mengarahkan perhatian mereka pada media komunikasi massa, khususnya media online, TV Digital serta  media sosial (website, facebook, istagram, twitter, facebook, zoom, linkelid).  Pergeseran kebiasaan masyarakat harus selalu dikaji agar segala keputusan maupun peraturan dapat efektif dalam rangka mengatur masyarakat .  Contoh saat ini kebijakan larangan mudik lebaran juga tidak bisa kita dekati dengan data-data kuantitatif dalam setiap mengambil keputusan.  Seharusnya data kualitatif juga menjadi pertimbangan agar kebijakan tersebut bisa diterima oleh seluruh elemen masyarakat.

Penelitian Kajian budaya saat ini bisa dipahami sebagai kajian tentang budaya sebagai praktik-praktik pemaknaan dari representasi.  Selain itu juga kajian budaya  menggali kebudayaan sebagai wilayah ideologi yang lebih banyak dijelaskan pada aliran wacana (discourse) dan praktik budaya seperti layaknya media berupa teks-teks (sosial, ekonomi, politik).  Oleh sebab itu  kajian budaya tidak memiliki titik acuan yang tunggal.

Kajian budaya yang terlahir dari pemikiran strukturalis / pascastrukturalis yang multidisipliner dan teori kritis multidisipliner.  Artinya kajian budaya mengkomposisikan berbagai kajian teoritis disiplin ilmu lain yang dikembangkan secara lebih longgar sehingga mencakup potongan-potongan model dari teori yang sudah ada dari para pemikir strukturalis/ pascastrukturalis.

“Kajian budaya sebagai sebuah komposisi teoritis yang diajukan sebagai karakter akademis dalam kajian budaya mengekspresikan temuan-temuan baru dalam hal metodologi terhadap cara pemaknaan sebuah praktik-praktik kebudayaan yang lebih koheren, komprehensif, banyak suara dan menegasikan keobjektifan suatu klaim pengetahuan maupun bahasa. Kajian budaya mengambil bentuk kajian yang dicirikan dengan topik lived experience (pengalaman yang hidup), discourse (wacana), text (teks) dan social context (konteks sosial).

Penulis:  Dosen & Kandidat Doktor Universitas Negeri Surakarta (UNS), Surakarta

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA