by

In Memoriam Suminta Ismail: Menjaga Warisan Tarling Cerbonan

Oleh: Syaefudin Simon, Wartawan, Wong Cerbon
Simon Syaefudin

KOPI, Bekasi – Ir. Suminta Ismail — alumnus IPB Perikanan, adik kandung Rokhmin Dahuri, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan — Kamis malam, 28 Januari 2021 lalu, pergi untuk selamanya, di Jakarta.

Kepergiannya, mengingatkan aku pada para pejuang tarling dan dangdut Pantura di blantika musik nasional. Termasuk perjuangan memoncerkan tarling dangdut (tardut) yang kini populer di kalangan masyarakat kecil di Pantura Jabar.

Kang Sum — demikian aku memanggilnya — adalah penggemar tarling dan dangdut tulen. Itulah yang membuatnya akrab denganku. Ia pernah mengingatkanku saat blusukan di diskotik dangdut Jakarta Utara tahun 2005 — kalau ada orang Cirebon tidak menyukai tarling, perlu ditanyakan kecerbonannya.

Bagiku, kata Kang Sum, Cirebon adalah tarling. Dan tarling adalah Cirebon. Kang Sum saat itu bingung, mana yang harus dipertahankan sebagai ciri kecirebonan — tarling asli versi Jayana dan Sunarto (Kang Ato) atau tarling dangdut rintisan Abdul Ajib. Kang Sum akhirnya memilih keduanya. Sebab, musik tarling memang paling pas bila berkolaborasi dengan dangdut.

Puncak kejayaan tarling, terjadi di zaman Abdul Ajib dengan sinden Uun Kurniasih tahun 1980-an. Melalui grup tarling Putra Sangkala, Abdul Ajib yang asal Mayang itu melanglang buana, dengan mahakaryanya, lagu Warung Pojok. Di lagu Warung Pojok, secara genial, Abdul Ajib memasukkan unsur dangdut, tanpa mengurangi rasa tarlingnya. Saat itu, berbarengan dengan popularitas Abdul Ajib, berkibar juga tarling Nada Budaya, pimpinan Kang Ato (Sunarto) dengan sinden Dadang Darniah. Kang Ato, asal Jemaras, Palimanan sepanjang pengetahuanku, tampaknya lebih mengembangkan tarling klasik Cirebonan dibanding Abdul Ajib. Begitu pula Jayana dari Karangampel, Indramayu. Lebih intens dengan tarling klasik dengan suaranya yang melengking mendayu-dayu khas Jayana.

Sejak lagu Warung Pojok meledak di blantika musik nasional, Abdul Ajib tampaknya lebih banyak mengeksplorasi tarling alternatif ketimbang Kang Ato yang berkutat pada tarling klasik. Wong Cerbon, pelan tapi pasti, mulai bisa menikmati tardut yang stagenya stagnan dan kaku rintisan Abdul Ajib.

Ya, pertunjukan tardut memang tak sedinamis tarling klasik, di mana sinden bisa turun ke tengah penonton sambil menangis menyebut nama kekasihnya. Momen seperti inilah sebetulnya yang paling menarik dari tarling. Sinden berbaur dengan penonton tanpa risih sambil bernyanyi dan berjoged. Sutradara film asal Cirebon, Arifin C Noor, misalnya, sangat menyukai momen sinden tarling yang menyatu dengan penonton tersebut.

Dadang Darniah, misalnya sangat bagus kalau memerankan Ratmina dalam kisah Baridin. Dadang Darniah bisa menyanyi sambil meneteskan air mata di tengah penonton, nemanggil-mangil nama Kang Baridin.

Kisahnya begini: Baridin, bocah angon bebek menyatakan cinta kepada Ratmina, gadis cantik anak orang kaya. Alih-alih membalas cintanya, Ratmina marah dan menghina Baridin.

Sakit hati, Baridin pun merapalkan kemat Jarang Guyang. Berhasil. Ratmina jatuh cinta pada Baridin. Terlanjur sakit hati, Baridin pun pergi. Ratmina tiap hari berkelana mencari Baridin yang sangat dicintainya sambil menangis menyebut nama Kang Baridin. Cinta Ratmina dibawa sampai mati karena kelelahan mencari Baridin.

Begitu tahu Ratmina meninggal karena mencarinya, Baridin pun menyesal. Ia pun berkelana sambil menangis menyebut-nyebut nama Ratmina. Sampai menjelang ajal, Baridin terus menyebut nama Ratmina. Luar biasa!

Ya, meski kisah Baridin itu dongeng alias fiksi, kuburan Baridin ada di desa Bayalangu, Gegesik. Ini menandakan cintanya wong Cerbon pada dongeng Baridin. Sampai penduduk membuat petilasan Baridin di desa Bayalangu.

Dulu waktu masih sekolah SMA, aku sering ziarah ke petilasan Baridin di Bayalangu sebelum mampir ke rumah Umami Makir di Gegesik. Wajah Umami, gadis mirip Peggy dalam film seri Mannix, tahun 1975-an, sempat tertambat di hatiku waktu sekolah di SMAN Palimanan. Aku ke kuburan Baridin dengan menyimpan nama Umami di hati.

Lokasi SMAN Palimanan, di mana aku dan Umami sekolah, dekat markas tarling Nada Budaya pimpinan Sunarto. Hoo, nasibku seperti Baridin, ditinggal Peggy Umami, entah kemana. Dalam kondisi seperti itu, kisah Baridin-Ratmina yang diperankan Dadang dan Kang Ato di grup tarling Nada Budaya sangat membekas di hatiku. Tapi beda dengan Baridin, aku cukup tangguh. Bisa lepas dari bayang-bayang Ratmina eh Umami dan menyelesaikan kuliah di UGM.

Seperti halnya Didi Kempot yang berhasil mendongkrak lagu-lagu Jawa klasik melalui genre campursari Jadut (Jawa Dangdut), begitu pula Abdul Ajib. Ia berhasil dengan rintisan lagu tardut Warung Pojok sebelum Didi Kempot melejitkan campursari Solo Balapan.

Sepeninggal Abdul Ajib dengan popularitas Warung Pojok-nya, tardut makin moncer di Pantura. Pencekalan Rhoma Irama di TVRI era Orba, menjadikan tardut tambah populer. Seorang penyanyi tardut yang wajahnya mirip Rhoma Irama, Nano Romanza, pimpinan grup musik tardut Rolista, mendadak populer. Sayang, popularitas Nano tidak pada tardutnya, tapi pada dangdutnya. Lagu Halilintar karya Nano cukup populer di tahun 1983-an, mengobati kerinduan pecinta Rhoma yang dicekal Harmoko di TVRI. Maklumlah, setiap membawakan lagu, wajah dan gaya Nano, dibuat sedemikian rupa sehingga mirip Bang Haji.

Paska popularitas Nano, lagu tardut makin cetar membahana. Tapi lagu-lagu tarling klasik meredup. Lagu Kucing Garong yang dilantunkan penyanyi tarling Dede, misalnya, cukup populer dan dinyanyikan dalam berbagai versi. Dari tardut, dangdut koplo, sampai hip hop. Sedangkan lagu Pemuda Idaman yang dinyanyikan Ningsih nyaris jadi lagu legenda karena irama dan liriknya kompatibel dengan semua obsesi gadis yang mendambakan suami ideal.

Bagi gadis remaja yang ingin punya pacar broyal (dermawan), terwakili dengan lagu tardut Juragan Empang ciptaan Trondol. Lagu yang versi bahasa Jawa Cerbonnya dinyanyikan Diana Sastra ini, albumnya best seller. Apalagi ketika dinyanyikan Nella Kharisma dalam versi bahasa Indonesia.

Empat tahun “Juragan Empang” dinyanyikan Diana Sastra di YouTube, hanya ditonton 43 ribu selama 4 tahun. Ketika dibawakan Nella Kharisma, dalam 3 tahun ditonton 118 juta orang. Belum lagi Mutia Ayu, janda Glenn Fredly, yang menyanyikan Juragan Empang dengan gaya romantis dan seksi. Baru beberapa bulan viewernya di YouTube sudah mencapai 11 juta.

Semua ini menandakan lagu tardut sudah berhasil memikat publik nasional. Legacy Abdul Ajib tampaknya berhasil dikembangkan seniman tardut zaman sekien. Kang Suminta, pecinta tarling pun, akhirnya mengikuti zaman. Menjadi penyanyi dan pencipta lagu-lagu tardut.

Mungkin tak banyak orang yang tahu Kang Sum adalah penyanyi cum pencipta lirik dangdut dan tardut. Ia sering berkolaborasi dengan Yus Yunus, pencipta dan penyanyi dangdut. Teman dekatnya, Iis Dahlia, misalnya, dulu diminta Kang Sum ikut meramaikan tardut. Tapi Iis, penyanyi asal Bongas itu, tampaknya lebih memilih dangdut.

Aku dengar suara Kang Sum — di YouTube memakai nama Tito S Ismail — suaranya sangat merdu ketika melantunkan lagu Laut Indonesia bersama kakaknya Rokhmin Dahuri. Juga ketika ia menyanyi lagu Pantai Salopeng. Suara Kang Sum tak kalah merdu diibanding Yus Yunus, teman akrabnya ketika menciptakan dan mengaransemen lagu dangdut.

Hampir semua lagu dangdut yang dinyanyikan Kang Suminta bertema alam dan lingkungan. Ia ingin lagu dangdut, juga tardut, menginspirasi generasi muda untuk menyintai nusantara yang indah, kaya, dan menawan. Tito S Ismail, eh … Suminta Ismail memang dikenal sangat menyintai alam Nusantara yang kaya biodiversitas itu.

Selamat Jalan Kang Sum. Aku selalu ingat kata-kata Akang agar menyintai tarling, warisan budaya Cerbon yang luar biasa itu.

Tarling adalah Cerbon. Cerbon adalah tarling, kata Kang Sum. Aku ada di Warung Pojok Kang. Menikmati masakan dan wajah pelayannya yang selalu bikin kelingan. Kelingan ning cerita akang tentang pindang rebon, tentang Desa Gebang, tentang rajungan, tentang laut, dan tentu saja tentang penyanyi-penyanyi tardut yang bermunculan bak jamur di musim hujan.

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA