by

Kisah Soekarno Kecil Ingin Mercon di Hari Lebaran

KOPI, Jakarta – Seperti sudah diketahui banyak kalangan, meski berdarah ningrat, orang tua Bung Karno berasal dari kelurga sederhana. Ayahnya, R Soekeni hanya pekerja biasa. Sedangkan ibunya, Nyoman Rai Srimben adalah perempuan ningrat Bali yang terusir dari lingkungan keluarganya.

Dia dicopot dari keningratannya karena menikah dengan Soekeni. Pernikahan mereka dianggap “tabu” lantaran tak seagama. Lelaki yang kelak jadi ayah kandung Soekarno itu adalah seorang Muslim sementara Srimben, Barhamana Hindu.

Oleh karena itu mereka terlempar sebagai bagian dari keluarga ningrat. Lantaran “dibuang”, mereka hidup dalam kesederhanaan.

Bahkan pernah dikisahkan mereka sangat kekurangan. Gaji Soekeni sebagai guru tak mencukupi biaya hidup keseharian keluarganya.

Di tengah situasi rumit seperti itu, mereka sebenarnya masih beruntung. Karena, masih ada orang dalam (kerabat sendiri) yang mau menolong.

Salah satunya adalah pihak keluarga Srimben yang berada di Singaraja. Lantaran pertolongan itu, mereka bisa bertahan hidup.

Ternyata, meski dibuang, mereka sama sekali tak dicampakkan. Sebab, “Tradisi buang sebenarnya bukan arti sesungguhnya, karena mereka masih bisa saling kunjung. Mereka hanya terputus dari sistem kekerabatan purusha (keluarga wanita) dan pradana (keluarga laki-laki),” tulis Nurinwa (2002).

Baca juga: Pengguna Tak Bisa Akses Whatsapp Jika Tak Setuju Aturan Baru

Walaupun dinilai “berbeda” dan “sampai digambarkan bumi dan pura tergetar atas peristiwa itu”, suatu saat nanti, 6 Juni 1901 dari pernikahan itu mereka melahirkan anak agung yang kelak menjadi Presiden RI pertama: Soekarno.

Kisah Soekarno waktu masih kecil banyak diulas oleh Cindy Adams dalam Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat. Dalam buku tersebut, Bung Karno sendiri yang bertutur melalui pena jurnalis perempuan asal Amerika itu.

Di antara sekian banyak kisah yang diutarakan, “salah satu bagian yang menarik dari kisah hidup Putra Sang Fajar ini adalah ketika ia iri kepada teman-temannya yang mampu membeli mercon di masa Lebaran,” papar Sidik Nugroho, 366 Reflections of Life.

Kisah ini menjadi menarik karena ini merupakan kisah yang kata Bung Karno sendiri tak akan pernah bisa dilupakan. Bagaimana tidak, sedih dan senang bertaut saat itu, saat di mana dia masih kecil.

Demikian kisahnya

Ketika Lebaran tiba, seperti biasa, anak-anak usia dini akan disibukkan dengan permainan-permainan yang bisa membuat mereka begitu riang. Begitu pula saat Bung Karno masih kecil.

Pada suatu Lebaran, dia melihat teman-temannya sibuk bermain mercon. Mereka memainkan miliknya masing-masing.

Sebab, mereka sama-sama punya kecuali Soekarno. Dia sendirian hanya bisa melihat teman-temannya berasyik ria dengan permainan itu.

Soekarno tak bisa membelinya. Maklum, orang tuanya secara perekonomian kurang mampu sebagaimana diceritakan di awal. Saat itu, dia hanya bisa iri sambil “menelan ludah”.

Baca juga: Sejarah Melawan Invasi VOC, Perang Besar Kerajaan Blambangan 18 Desember 1771

Tapi, nasib baik ternyata berpihak ke pada Soekarno. Meski tak kuat membeli, dia bisa memilikinya. Hal ini bisa terjadi karena tiba-tiba ada seorang lelaki setangah baya datang menghampirinya dan memberi mercon.

Mendapati kejadian ini, Soekarno girang sekali. Dia akhirnya bisa bermain bersama teman-teman lainnya. Baca juga artikel artikel berita menarik dari PortalKota.com

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA