by

Hari Ini Denny JA 58 Tahun

Oleh: Syaefudin Simon, Freelance Columnist
Simon Syaefudin

KOPI, Bekasi – Aku berteman dengan Denny JA sejak 1985. Sejak aku kerja di Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi, Badan Tenaga Atom Nasional, Pasar Jumat, Jaksel.

Saat itu, baru sepekan di BATAN, aku sudah tidak betah. Untuk menghilangkan kebosanan, aku sering ke rumah Pak Djohan Effendi, peneliti Litbang Depag (yang kelak jadi Mensesneg Era Gus Dur) untuk ikut diskusi.

Tiap Ahad sore di rumah Djohan ada beberapa mahasiswa — antara lain Denny JA, Budhy Munawar-Rachman, Elza Peldi Taher, Jonminofri, Jojo Raharjo, Nazrina Zuryani, Halimah, dll) yang menamakan diri Kelompok Studi Proklamasi (KSP) mengadakan diskusi dengan tema yang variatif. Mulai dari politik, ekonomi, sosial, agama, filsafat, sastra, sampai gerakan mahasiswa.

Di rumah Djohan itulah aku kenal Denny. Seorang pemuda kurus, tinggi, rambut panjang, suara bariton, kulit kuning, dan mata agak sipi — tipe peranakan Palembang. Denny memang bronjot etnis Palembang tulen.

Aku aktif di KSP hanya dua tahun. Setelah itu jarang datang karena waktuku tersita untuk ngladenin “pacar” yang seruangan di kantor BATAN. Tiap Sabtu dan Minggu aku diminta pacarku ke rumahnya di Depok. Maklumlah, pacarku ini manjanya luar biasa. Padahal dia anak pertama. Aneh!

Komunikasiku dengan teman-teman KSP tetap berjalan, melalui tulisan di media massa. Meski kerja di BATAN, aku tetap aktif menulis esai masalah sosial, politik, dan agama. Jika di Yogya kebanyakan dimuat koran Kedaulatan Rakyat, ketika di Jakarta tulisanku lebih banyak dimuat koran Pelita, Prioritas (cikal bakal Media Indonesia), Sinar Harapan (mati), majalah Panji Masyarakat, Suara Muhammadiyah, dan Kompas. Dari tulisan-tulisan di media itulah, aku berkomunikasi dengan teman-teman KSP.

Denny kemudian kuliah di Amerika. Selesai doktor bidang public policy di Ohio State University, aku lihat Denny aktif — di samping sebagai penulis di berbagai media, juga jadi host sebuah program di Metrotivi.

Keluar BATAN, aku kerja di Lembaga Kajian Agama dan Filsafat (LSAF) dan menjadi editor di majalah Ulumul Qur’an. Di UQ, aku sekantor dengan Budhy Munawar-Rachman, teman diskusi di KSP.

Lama gak bertemu dengan Denny dan teman-teman KSP, tiba-tiba aku mendapat undangan dari Elza (teman KSP) untuk menghadiri diskusi di Pisa Cafe Menteng, Jakarta — merayakan pertemuan kembali dengan Djohan Effendi yang tinggal di Australia. Ya, Djohan Effendi setelah lengser dari Mensesneg mengajar di Deakin University, Australia.

Sejak pertemuan di Pisa Cafe inilah aku sering bertemu dengan Denny, hampir tiap bulan. Mayoritas di acara diskusi di Pisa Cafe, Ciputat School, dan Blok M. Denny adalah sponsor diskusi- diskusi itu.

Sekarang, tiap ulang tahun dari anggota KSP, aku bertemu Denny. Denny membangun tradisi baru — merayakan ulang tahun teman2nya di sebuah resto. Acara utamanya, di samping makan-makan, ya diskusi masalah2 up to date dan menyampaikan ide-ide mutakhir tentang kehidupan masing-masing.

Aku tadinya gak “ngeh” kalau Denny sudah jadi orang kaya raya. Karena penampilannya tetap sederhana, ramah, familiar, dan menghargai pertemanan.

Waktu pertama bertemu di Pisa Cafe dengan Denny merayakan pertemuan kembali dengan Mas Djohan setelah sekian puluh tahun tak bersua, aku didekati Denny. Ia bilang, Simon, supaya komunikasi kita bagus, kamu ganti hape ya. Belilah Blackberry. Aku dikasih uang 3 juta untuk beli BB.

Aku kaget. Kok Denny sampai menginginkan hapeku sama dengan teman2 KSP. Rupanya Denny memang sudah bagi-bagi BB sebelumnya ke teman2 KSP. Begitu pula ketika hape android muncul. Denny pun memberi uang untuk membeli hape android.

Hanya hape? Tidak. Denny memberikan dukungan finansial penuh jika ada teman2 dekatnya sedang mengalami musibah seperti sakit, kehilangan, bahkan bila ada masalah rumah tangga.

Dalam sebuah pertemuan, salah seorang teman ring satu Denny (teman ring satu Denny ada 12 orang, termasuk aku) mengeluh istrinya minta cerai. Ini karena di musim pandemi, penghasilannya turun drastis. Sehingga istrinya tidak tahan.

Denny bertanya, berapa uang yang dibutuhkan agar istrimu baik kembali, tidak minta cerai? Sang teman bilang, Rp 50 juta. Saat itu juga Denny langsung mengambil tasnya dan menyerahkan uang 50 juta cash. Semoga uang ini membuat keluargamu kembali rukun.

Hal yang sama pernah dilakukan kepadaku. Juga kepada almarhum Agus Lenon dan AE Priyono.

Agus dan AE mengeluh karena ekonominya krisis dan sakit. Denny memberikan bantuan sesuai kebutuhannya untuk menanggulangi krisis dan sakitnya itu. Aku sendiri, waktu mengalami krisis ekonomi, dibantu Rp 100 juta oleh Denny untuk menebus rumah yang nyaris disita bank. Pesannya: Simon jangan ulangi mengagunkan rumah bila pinjam uang di bank. Berbahaya sekali.

Seorang teman SMA Denny pernah bercerita, Denny pernah mengajak libur seluruh teman sekelas SMAnya di Jakarta ke Thailand selama sepekan. Sekitar 30 orang. Semuanya ditanggung full plus uang saku selama di Thailand.

Melihat kedermawanan Denny yg luar biasa itu, aku pernah bertanya.

“Den, lo punya uang berapa sih sampai segitunya kepada teman-teman?”

“Kurang lebih satu trilyun.”

Wow!

Tentu saja, banyak orang di Jakarta yang punya uang sebesar Denny, bahkan lebih. Tapi jarang yang seperti Denny. Bahkan beberapa di antaranya tetap pelit, malah masih mencuri uang negara.

Denny tidak! Demi kepentingan publik dan negara, ia rela mengeluarkan uang ratusan juta. Bahkan milyaran rupiah. Dari kantong sendiri.

Denny pernah menyatakan, generasi muda Indonesia sekarang terpapar virus radikalisme. Nilai-nilai Pancasila terabaikan. Generasi Milenial tidak lagi mengenal Pancasila. Ia pun mengumpulkan pemuda dan remaja untuk mengikuti program kursus, diskusi, dan pencerahan nilai-nilai Pancasila di berbagai kota seluruh Indonesia. Semua biaya dari Denny.

Seorang teman berbisik kepadaku, untuk program kader Pancasila ini Denny menghabiskan dana srkitari 3 Milyar. Kursus pengkaderan Pancasila ini, mendapat rekor MURI. Sebagai pelatihan dan pengkaderan Pancasila untuk orang-orang muda dengan jumlah peserta terbesar di Indonesia selama ini.

Jika memberi bantuan kepada teman, Denny selalu berkata. “Terimalah uang ini. Anggap saja itu rejeki dari Tuhan, melalui tanganku.”

Ketika Mas AE Priyono meninggal dan FB Estorikanya (sekarang jadi Estorika Forum Spiritualitas) diambil alih Denny, banyak netizens yang marah dan mencaci maki pendiri Ciputat School dan LSI Denny JA itu.

“Denny sombong. Pengusaha rakus. Mosok FBnya AE dirampas” — kata seorang netizens. Denny dianggap membajak karya rintisan AE.

Aku hanya tersenyum. Mereka tak tahu, AE sendiri yang minta Denny mengambil alih agar FB Estorikanya tetap hidup. Saat itu AE sudah mulai sakit-sakitan. Juga tak punya dana untuk mengelola FBnya. Ia pun minta Denny untuk mengambil alih Estorika. Ketika AE di rumah sakit, sampai kemudian wafat, seluruh biaya yang menanggung Denny.

Sekarang FB Estorika hidup dan terus memberikan pencerahan kepada netizens karena dikelola para elit intelektual yang berwawasan dan inklusif. FB Estorika juga rajin membagi ebook berkualitas, free. Tentu semua pekerja di estorika itu tidak gratis. Mereka digaji Denny.

Yang paling menghebohkan tentu saja, klaim Denny tentang kepeloporannya dalam dunia sastra , khususnya puisi esai. Saut Situmorang, salah seorang penyair yang tinggal di Yogya, sangat kasar mencaci maki Denny dan teman-temannya. Sampai-sampai penyair Fatin Hamama yang dekat dengan Denny dituduh sebagai pelacur.

Fatin tidak terima. Saut dilaporkan ke polisi. Saut pun akhirnya divonis bersalah oleh pengadilan Jakarta Timur karena pelecehan dan ujaran kebencian terhadap Fatin.

Kenapa muncul reaksi semacam itu dari para penyair? Mereka kira Denny tidak bisa menulis puisi. Yang mereka tahu Denny adalah penulis esai. Padahal, Denny sudah menulis puisi sejak masih duduk di SMA, bahkan SMP. Denny pernah bercerita, waktu masih SMA, dia sering trance. Tiba-tiba saja, kesadarannya terbang ke langit. Hatinya seperti ada yang membisiki sesuatu. Mulutnya menuturkan puisi tanpa disadarinya.

Dalam kondisi seperti itu, pacarnya Denny menuliskan apa yang terucap tanpa sadar tersebut.

Ternyata, ucapan tanpa sadar itu berbentuk puisi yang sangat indah. Hal itu berkali-kali terjadi. Cerita Denny. Aku saksi hidup, bagaimana cepatnya Denny merespons suatu masalah, lalu dituangkan dalam puisi.

Saat itu, ada sebuah diskusi di Pisa Cafe Blok M. Denny duduk di sebelahku. Sambil mendengarkan diskusi, jari-jarinya mencet2 layar hape. Ternyata usai diskusi, Denny membaca puisi dari pencat pencet hapenya tadi. Dan puisinya bagus sekali. Sebegitu cepat Denny membuat puisi. Juga dalam membuat esai.

Jonminofri, teman KSP pernah ngledek aku. ‘Mon kamu kalah cepat dan produktif menulis esai dari Denny.’

“Jelaslah, gizinya beda.” Kata Elza sambil ngledek.

Padahal Isti Nugroho, teman dekatku, sering muji aku dalam hal kecepatan menulis esai. Aku memang menulis esai tak pernah pakai konsep. Meluncur begitu aja sehingga satu atau dua jam bisa selesai. Tapi Denny lebih cepat dari aku bila menulis esai.

Jadi, mrmbuat puisi sudah lama dilakukan Denny. Tapi orang seperti Saut menuduh Denny baru belajar menulis puisi dan mencaci maki Denny dengan kasar.

Marahkah Denny dicaci maki sebagian para sastrawan itu? Dendamkah Denny terhadap mereka? No. Tidak sama sekali. Denny tak mau membuang energi sia-sia untuk meladeni para haternya. Ia ambil positifnya saja.

Denny tak sekalipun membalas caci maki Saut. Bahkan ketika salah seorang sastrawan yang sering mencaci Denny sakit, ia menyuruh seseorang untuk memberikan bantuan. Denny berpesan, kalau ketemu sang penyair dan memberikan uang bantuan itu, jangan bilang dari Denny. Takut sang sastrawan antiDenny itu tak mau menerimanya, padahal ia sangat membutuhkan.
Oh

Jangan dikira aktivis Agus Lennon bisa dikendalikan Denny setelah dibantu membangun cafe kopi. Dalam sebuah pertemuan Agus berkata, Denny memang sufi yang kaya. Aku yang sering mengritik dan menyerang pendapat Denny, tetap dibantunya ketika aku krisis dan sakit. Denny punya prinsip: persahabatan lebih tinggi nilainya dari politik.

Ya. Denny adalah oase bagi pejalan intelektual dan spiritual. Ia adalah wali dan Rumi.

Itulah Denny Januar Ali — penulis ribuan esai dan ratusan buku — yang hari ini ultah ke-58. Semoga hidupmu menjadi obor manusia modern yang berumah di kegelapan.

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA