Oleh: Muhammad Mufti AM
KOPI, Yogyakarta – Saat menata ulang sekaligus menyortir file di laptop, saya menemukan tulisan lama dengan judul seperti di atas. Tulisan saya buat ketika mengikuti kegiatan Workshop Pelatihan Penulisan Artikel yang diselenggarakan Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) DIY (sekarang dinas) selama dua hari, 29-30 Oktober 2014 silam di Hotel Santika Yogyakarta. Narasumber utamanya Salman Faridi (CEO Penerbit Bentang Pustaka) dan Nurjannah Intan (editor Penerbit Bentang Pustaka). Selain itu ada pula narasumber dari praktisi penulis, unsur perpustakaan, serta penggerak literasi.
Peserta kegiatan workshop tidak cuma diberikan materi berupa paparan slide. Peserta pun wajib menghasilkan karya sesuai arahan dan bimbingan narasumber. Walaupun narasumber cukup berkompeten, tapi tidak semua peserta mampu memahami materi. Hal itu terlihat tatkala 75 peserta dari unsur pustakawan se-DIY diminta menuliskan pengalaman dan kesannya masing-masing selama mengikuti kegiatan workshop. Sebagian besar lancar menyampaikan secara lisan, sebagian lainnya merasa kesulitan menuangkan ke bentuk tulisan. Rata-rata mengatakan tidak tahu harus menulis apa dan bagaimana cara menulisnya.
Tugas berikutnya tidak kalah menantang. Para peserta diminta menuliskan ide dalam sebuah kalimat dengan kata kunci “Kurikulum 2020” (padahal waktu itu masih tahun 2014). Peserta diajak berandai-andai menggambarkan perkembangan apa yang bakal terjadi di Indonesia seumpama pemerintah menerapkan kebijakan Kurikulum 2020. Mereka harus memposisikan diri sebagai futurist atau pengamat masa depan, seperti itulah kira-kira.
Selanjutnya gagasan tadi dikembangkan menjadi sebuah tulisan bebas bertema Kurikulum 2020. Pengembangannya berdasarkan pendekatan kondisi yang sudah ada dan sering dilakukan masyarakat. Sebagai contoh, tren penggunaan perangkat teknologi semacam komputer, laptop, serta gawai (telepon pintar) terhubung internet dikaitkan kurikulum 2020. Boleh juga mengembangkan ide menurut sudut pandang yang berbeda di luar teknologi informasi. Akan terlihat seperti apa enam tahun mendatang.
Namanya juga berlatih mengembangkan ide, saya membayangkan diberlakukannya Kurikulum 2020 seiring perkembangan teknologi berbasis internet membuat siswa tidak perlu lagi ruang kelas. Namun yang tak pernah saya sadari sebelumnya, ternyata ada kemiripan tulisan saya dengan situasi dan kondisi saat ini. Waktu itu saya menggambarkan aktivitas pembelajarannya berjalan normal, tenang, dan tenteram. Kenyataan yang kita alami sekarang adalah aktivitas pembelajaran berlangsung dalam suasana pandemi. Pemerintah menetapkan pembelajaran darurat secara daring sebagai dampak Covid-19.
Di bawah ini adalah tulisan yang saya buat pada workshop pelatihan menulis enam tahun lalu.
Kurikulum 2020 yang diberlakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengenai siswa/peserta didik tidak perlu lagi menggunakan ruang kelas di sekolah memperoleh tanggapan positif sejumlah guru di Yogyakarta. Tanpa ruang kelas, siswa akan dilatih belajar mandiri memanfaatkan sumber-sumber informasi tersebar di berbagai tempat. Metode pembelajaran melibatkan orang tua, perpustakaan, dan perangkat teknologi informasi terhubung internet. Ruang kelas tergantikan fungsinya oleh perpustakaan dan internet sebagai sumber informasi bagi siswa melaksanakan kegiatan pembelajaran.
Kurikulum 2020 merupakan satu terobosan penting guna mengoptimalkan peran perpustakaan dan pustakawan di sekolah. Sekolah tidak perlu menyediakan ruang kelas untuk belajar secara tatap muka antara murid dengan guru. Sedangkan di rumah, orang tua atau anggota keluarga lainnya menjadi partner vital bagi siswa menempuh pendidikan. Kurikulum 2020, selain bertujuan melatih kemandirian belajar siswa juga bisa mengasah kemampuan guru memanfaatkan teknologi informasi.
Pembelajaran dilakukan terjadwal melalui jalur internet, telepon, email, jejaring sosial, telekonferensi, maupun saluran-saluran komunikasi lainnya. Sekolah dapat menyediakan buku pelajaran dan sarana akses internet di perpustakaan, serta berbagai sarana pendukung pembelajaran siswa lainnya. Bahkan Biaya Operasional Sekolah (BOS) boleh dipakai membantu subsidi bagi biaya modem atau akses data internet siswa di rumah.
Wawancara pun sudah dilakukan mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan Nasional Yogyakarta kepada sejumlah guru di 25 sekolah di Yogyakarta. Hasilnya menyatakan bahwa metode pembelajaran siswa tanpa ruang kelas sangat memotivasi mayoritas guru untuk lebih mendalami teknologi informasi. Kemampuan mereka diprediksi makin meningkat apabila dikondisikan demikian. Sementara seribu kuisioner telah disebarkan oleh 50 sekolah kepada orangtua/wali siswa di Yogyakarta pada akhir tahun 2019. Data menunjukkan 80% setuju ruang kelas ditiadakan di sekolah, 15% tidak berpendapat, kemudian sisanya 5% merasa keberatan. Dari 80% orangtua yang setuju itu mayoritas sanggup mendampingi anak belajar di rumah.
Di pihak pustakawan melalui Asosisasi Tenaga Perpustakaan Sekolah Indonesia (ATPUSI) merasa sangat antusias atas diberlakukannya kurikulum 2020 ini. Peran perpustakaan jadi semakin optimal menjalankan fungsinya sebagai pusat kegiatan belajar mandiri. Pustakawan sekolah pun mempunyai peran penting. Ia menjadi pendamping siswa dalam kegiatan belajar di perpustakaan, termasuk mengembangkan perpustakaan berbasis teknologi mendukung kurikulum 2020.
Berlakunya kurikulum 2020 disinyalir melahirkan generasi mandiri serta meningkatkan kemampuan guru menggunakan perangkat teknologi informasi. Kurikulum baru ini diharapkan mampu membangun kedekatan anak bersama orangtua serta membangun ikatan emosional lebih erat.
Kurikulum diyakini sebagai hasil pemikiran para ahli di bidang pendidikan modern. Kurikulum 2020 lebih mengedepankan teknologi sebagai pendukungnya. Pertemuan tatap muka antara guru dengan murid di kelas tak lagi diperlukan. Kurikulum pendidikan telah disesuaikan perkembangan dan kemajuan teknologi di era informasi.
Apa yang saya tuliskan ini bukanlah berita, bukan pula hasil observasi atau penelitian. Hanya sebuah kilas balik produk pelatihan yang pernah saya ikuti. Kebetulan filenya masih tersimpan dan baru terdokumentasikan di media Pewarta Indonesia ini.*
Muhammad Mufti AM, Pustakawan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Bantul DIY, Anggota Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI)
Comment