by

Korupsi di Tengah Pandemi

Oleh: H.M. Amir Uskara, Anggota DPR RI Fraksi PPP

KOPI, Jakarta – Korupsi tak ada matinya. Dalam kondisi apa pun, ia tetap hidup dan mengkremus uang negara. Ia lebih berbahaya ketimbang virus corona yang tengah menerjang Indonesia.

Bayangkan, dalam kondisi negara yang tengah terpuruk akibat pandemi, tiba-tiba Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Jualiari Peter Batubara (JPB), menteri sosial. Korupsi JPB ini terkait kasus pengadaan bantuan sosial (bansos) penanganan Covid-19 di Kementerian Sosial tahun 2020.

Kasus korupsi ini mengejutkan. Ia muncul di sela-sela proyek pengadaan bansos penanganan Covid-19 untuk orang miskin di Jabodetabek. Proyeknya berupa paket sembako untuk warga miskin senilai Rp 5,9 Trilyun.

Perlu diketahui, anggaran untuk bansos Jabodetabek sendiri sebesar Rp 6,84 T. Baru terealisir Rp 5,9 T. Dan itulah yang disunat Mensos, jajarannya, dan rekanannya.

Catat: uang sejibun itu hanya untuk warga miskin di Jabodetabek saja lo. Belum daerah lain. Total anggaran bansos korban pandemi se-Indonesia di Kemensos mencapai Rp 91 T. Nilai yang amat besar. Saat ini baru kasus bansos Jabodetabek yang tersingkap. Lainnya tunggu giliran.

Kita tahu, KPK menetapkan Mensos JPB sebagai tersangka korupsi dana bansos Covid-19, Minggu, 6 Desember 2020.
Dalam penetapan itu, KPK tidak hanya menyeret JPB, tapi juga juga empat orang lainnya. Yaitu Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono, keduanya pejabat tinggi Kemensos penanggung jawab projek. Dua lainnya penyuap, Ardian IM dan Harry Sidabuke. Dua terakhir dari kalangan pengusaha, rekanan Kemensos. Eh, rekanan JPB.

Bagaimana modus operandi korupnya,? Sederhana. Perusahaan rekanan yang jadi vendor pengadaan bansos — ini lagu lama — menyuap pejabat Kemensos. Biasa untuk pelicin tender. Modusnya: memberikan fee Rp 10.000 dari setiap paket sembako yang nilainya Rp 300.000. Dengan 272 “kontraktor” untuk bansos di Jabotabek saja (nilainya 5,9 T) — berapa uang yang ditilep koruptor itu? JPB konon dapat 8 M. Yang lain? Tentu bagi-bagi.

Seorang “subkontraktor” bansos di Jabodetabek — sebut saja X — bercerita: sebetulnya bukan Rp 10 ribu yang disunat. Tapi Rp 70 ribu. Rinciannya, Rp 10 ribu untuk pejabat Kemensos, keuntungan vendor Rp 30 ribu, dan macam-macam mark up pembelian bahan makanan untuk bansos Rp 50 ribu. Jadi total nilai bansos sesungguhnya hanya Rp 230 ribu. Disunat 23,3 persen.

Untuk keuntungan bisnis selisih 23,3 persen masih wajar. Tapi ini kan uang negara untuk bansos korban corona. Jelas, tidak wajar. Jahat!

Jahat sekali bukan? Di tengah derita publik yang tercabik pandemi, mereka tega melakukan korupsi. Yang dikorup bansos lagi. Karenanya keputusan Mensos baru Tri Rismaharini untuk memberikan bansos langsung berbentuk uang ke rekening penerima sangat tepat. Ini memotong birokrasi sekaligus menihilkan korupsi.

Hukuman Mati

Publik gregetan melihat korupsi bansos itu. Kurang apa sih Pak Menteri? Bukankah JPB orang kaya yang nilai hartanya mencapai lebih 47 M?

Di situlah masalahnya. Kecenderungan korupsi ternyata tidak linier dengan jumlah harta yang dimiliki. Sangat mungkin malahan, yang kaya yang serakah. Yang korupsi yang sugih. Keserakahan hanya bisa disadarkan kalau orang itu sekarat

Itulah sebabnya, banyak orang menyuarakan, para koruptor bansos yang tak manusiawi itu dihukum mati saja. Untuk memberikan contoh kepada para pejabat pemegang kunci keuangan negara — jangan coba coba main api korupsi. Entar gosong sendiri.

Pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Prof Hibnu Nugroho, misalnya, mendorong KPK menerapkan hukuman mati bagi pelaku korupsi di masa pandemi.0 Hal itu penting sebagai peringatan keras bagi koruptor. Yang berani melakukan tindak pidana korupsi di tengah pandemi. Kenapa? Koruptor di era pandemi itu melakukan kejahatan luar biasa. Seperti menenggelamkan kapal oleng penuh penumpang. Padahal seharusnya menyelamatkannya.

“Saya kira hukuman mati itu untuk warning. Lagi pula secara yuridis sudah diatur dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” kata Hibnu di Purwokerto, Senin (7/12). Ia menjelaskan Pasal 2 ayat 2 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disebutkan bahwa kejahatan korupsi yang dilakukan pada saat bencana alam, krisis ekonomi, dan sebagainya dapat dipidana dengan hukuman mati.

Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyebutkan ‘Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)’.

Sedangkan di Pasal 2 ayat (2) disebutkan ‘Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan’.

Menko Polhukam Mahfud MD juga menyatakan hal senada. Mahfud menyarankan agar para menteri yang melakukan tindak pidana korupsi saat bencana pandemi Covid-19 diancam dengan hukuman mati.

“Saya menyarankan agar menteri-menteri yang korupsi itu diancam dengan hukuman mati, dituntut dengan hukuman mati,” katanya dalam acara webinar Dewan Pakar KAHMI, Senin (28/12/2020).

Sebelumnya, KPK juga telah menetapkan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo sebagai tersangka kasus korupsi. Korupsinya terkait perizinan tambak, ekspor benur lobster, dan usaha pengelolaan perikanan lainnya di tahun 2020. Edhy Prabowo terkena OTT usai plesiran di Hawai bersama istri untuk membeli barang-barang mewah (26/11/020). Nilai korupsinya, untuk sementara tercatat Rp 3.4 Milyar plus 100 ribu ISD. Tapi nilai tersebut bisa bertambah karena uang korupsi Edhy tersebar di berbagai lini bisnis dunia perikanan. Dan semuanya butuh katebelece Edhy Prabowo, sang menteri kelautan dan perikanan.

Apakah nanti kedua menteri ini dituntut hukuman mati sesuai saran Prof. Hibnu dan Prof. Mahfud? Wallahu a’lam. Setidak-tidaknya wacana hukuman mati untuk koruptor di era pandemi mendaoat dukungan luas publik. Mudah-mudahan suara masyarakat itu merupakan refleksi suara Tuhan.

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA