by

Prancis, Islam, dan Terorisme

Oleh: Syaefudin Simon, Wartawan Senior

KOPI, Bekasi – La France est un grand pays, les citoyens musulmans ne sont pas persécutés, ils construisent librement leurs mosquées et pratiquent librement leur culte”, a déclaré à l’AFP Mohammed Moussaoui, le président du CFCM (Perancis adalah negara besar. Warga muslimnya tidak ditindas. Mereka bisa membangun masjid dan menjalankan ibadah dengan sebebas bebasnya).

Di atas adalah pernyataan Mohammed Moussaoui, Presiden French Council of Moslem Cult. Mohammed menyatakan hal itu, sehubungan dengan maraknya demo anti-Perancis setelah viralnya pidato Presiden Immanuel Macron. Padahal pidato Macron — kata Jean Couteau — muslim bule asli Prancis (kolumnis Kompas) yang tinggal di Bali — tidak ada yang salah. Macron berpidato secara umum tanpa ada pernyataan khusus yang merendahkan Islam.

Sansulung John Sun, seorang netizen yang lancar bahasa Perancis, memviralkan terjemahan pidato Macron yang menghebohkan umat Islam tersebut. Pidato ini dilakukan Presiden Macron, 25 Oktober 2020, setelah kasus pemenggalan kepala Samuel Patty, seorang guru sejarah di sebuah sekolah menengah 16 Oktober 2020 oleh Abdoullakh Anzorof (18 tahun) asal Chechnya di Paris. Patty dipenggal kepalanya setelah menunjukkan gambar kartun Nabi Muhammad yang memegang senjata di depan kelas untuk menunjukkan kebebasan ekspresi dalam masyarakat demokrasi.

Pidato Macron, merespon kasus Patty: Rien ne nous fera reculer, jamais (Tak ada yang membuat kita mundur, tak akan pernah). La liberté, nous la chérissons; l’égalité, nous la garantissons; la fraternité, nous la vivons avec intensité (Kebebasan kita rayakan, kesetaraan kita jamin, persaudaraan kita jalani dgn sepenuhnya). Notre histoire est celle de la lutte contre les tyrannies et les fanatismes (Sejarah kita itu sejarah perjuangan melawan tirani dan fanatisme). Nous respectons toutes les différences dans un esprit de paix (Kita menghormati semua perbedaan dalam satu semangat perdamaian). Nous n’acceptons pas les discours de haine et défendons le débat raisonnable (Kita tidak terima pidato-pidato/ujaran-ujaran kebencian dan membela/mempertahankan debat yang masuk akal). Nous nous tiendrons toujours du côté de la dignité humaine et des valeurs universelles (Kita akan selalu berpegang teguh di sisi kemuliaan kemanusiaan dan nilai-nilai universal.)

Sedangkan yg disalahpahami sehingga jadi masalah adalah bagian pidato tanggal 2 Oktober 2020, sebelum munculnya kasus pemenggalan kepala Patty. Judul pidato itu Laïcité & Islam des Lumières (Keawaman & Islam Mencerahkan/Penuh Cahaya).

Macron mengatakan, “Kita harus memastikan bahwa prinsip laïcité/lay-ite/keawaman dihormati dengan tegas dan tepat. Tanpa ditarik ke dalam perangkap jebakan betmen yang dibuat oleh para tukang polemik dan oleh hal-hal ekstrim yang akan mengakibatkan stigmatisasi bagi semua muslim” (Il faut donc faire respecter la laïcité fermement, justement. Sans se laisser entraîner dans le piège de l’amalgame tendu par les polémistes et par les extrêmes qui consisterait à stigmatiser tous les musulmans.)

Perhatikan kata “muslim” dalam bahasa Prancis adalah “musulman”. Islam tetap Islam. Sedangkan Islamiste, menurut Prof Ayang Utriza, adalah kelompok radikal-politis Salafis Wahabi dan Ikhwanul Muslimin. Kita singkat saja SWIM.

Macron menegaskan, “Masalahnya bukan pada laïcité-nya. Karena prinsip ini menjamin kebebasan untuk beragama atau tidak, kesempatan menjalankan ibadah tatkala ketertiban umum terjamin.” (Le problème n’est pas la laïcité. La laïcité, c’est la liberté de croire ou de ne pas croire, la possibilité d’exercer son culte à partir du moment où l’ordre public est assuré.)

Namun, “Masalahnya adalah separatisme Islamiste (SWIM). Proyek yang disadari, berteori, berpolitik-agama ini, yang diwujudkan secara berulang-ulang menjauhkan dari nilai-nilai Republik.” (Le problème, c’est le séparatisme islamiste. Ce projet conscient, théorisé, politico-religieux, qui se concrétise par des écarts répétés avec les valeurs de la République.)

Selanjutnya Macron menyatakan, “Saya tidak meminta warga kita untuk percaya atau tidak percaya, percaya sedikit atau secukupnya. Karena itu bukan urusan Republik. Tapi saya meminta semua warga negara, yang beragama apapun atau tidak beragama, untuk menghormati secara mutlak semua hukum Republik.” (Je ne demande à aucun de nos citoyens de croire ou de ne pas croire, de croire un peu ou modérément, ça n’est pas l’affaire de la République. Mais je demande à tout citoyen, quelle que soit sa religion ou pas, de respecter absolument toutes les lois de la République.)

Macron pun menegaskan, “Saya percaya kepada warga Muslim Prancis dan kepada kemampuan mereka untuk memobilisasi kontribusi dalam upaya warga melawan separatisme Islamiste (SWIM), kepada niat mereka untuk membangun Islam Mencerahkan.” (J’ai confiance dans les Français de confession musulmane et dans leur capacité à se mobiliser pour contribuer à cette bataille républicaine contre le séparatisme islamiste, dans leur volonté de s’organiser aussi, pour bâtir un islam des Lumières.)

Perhatikan ketika menyebut agama Islam, Macron bukan menggunakan kata Islamiste.

“Tentu saja bukan tugas Negara untuk melakukan strukturisasi Islam, tapi kita harus mengizinkannya, mendukungnya, dan itulah mengapa saya banyak berbicara dengan perwakilan Islam di negara kita.” (Ce n’est bien sûr pas le travail de l’État que de structurer l’Islam, mais nous devons le permettre, l’accompagner, et c’est pourquoi j’ai beaucoup dialogué avec les représentants de l’Islam dans notre pays.)

Jadi, inilah tujuan Macron… “Ambisi untuk melatih dan mempromosikan di Perancis generasi iman dan intelektual yang membela Islam sepenuhnya selaras dengan nilai-nilai Republik.” (L’ambition de former et promouvoir en France une génération d’imams et d’intellectuels qui défendent un Islam pleinement compatible avec les valeurs de la République.)

Apakah ada yang salah dengan pidato tersebut? — ungkap Sansulung. Mestinya, para pejabat Indonesia memeriksa pidato Presiden Macron dengan teliti sebelum berkomentar, tambah Sansulung.

Di medsos bertebaran narasi yang memojokkan Macron. Konon Macron menyatakan diri sebagai Presiden Katholik dan sering menampakkan kebenciannya kepada Islam. Tuduhan ini jauh dari fakta karena dalam UU Prancis seorang presiden terlarang mengatasnamakan presiden suatu agama tertentu. Dan bersikap rasis terhadap agama tertentu.

Di medsos muncul tuduhan bahwa Macron menyatakan Islam adalah agama bencana. Padahal, kata budayawan Jean Couteau, Macron hanya menyatakan “l’islam est en crise”, yang artinya Islam dalam situasi krisis, bukan pembawa bencana.

Di Prancis, jelas Jean Couteau — seperti dipublikasikan Nazrina Zuryani, Dosen Unud, istri budayawan Prancis itu — kebebasan berekspresi adalah mutlak dan tidak bisa digugat. Di Prancis agama bebas dikritik — tapi sekaligus agama apa pun bisa hidup di sana, termasuk atheis. Itulah sebabnya orang Islam bisa masuk di Prancis dan bisa menjadi warga negara Negeri Eiffel itu, lanjut Jean.

Di Prancis, tambah Jean, negara netral. Agama tidak dipandang sebagai penentu kebijakan. Karenanya hak-hak khusus Katholik (agama terbesar di Prancis) dihapuskan.

Catat, Katholik hadir sebagai lembaga swasta. Itulah sebabnya sekolah-sekolah Katholik memakai kurikulum nasional. Tak ada pelajaran khusus agama Katholik, sama seperti sekolah-sekolah Islam.

Orang Islam boleh mendirikan masjiid, tapi tidak boleh meminta pemerintah kota menyediakan jam khusus wanita di kolam renang, karena kota adalah lembaga negara. Itulah sebabnya pemakaian jilbab dilarang di kantor atau lembaga negara. Ini karena pegawai negeri tidak boleh memperlihatkan tanda perbedaan antarwarga. Sebelum tahun 1990, Indonesia juga begitu. Tapi sekarang berbeda. Hal yang harus dicatat, di Prancis hukum negara di atas hukum agama. Karena agama dianggap sebagai sesuatu yg pribadi — tulis Jean.

Novelis Wuwun Wiati Hely yang suaminya berasal dari Prancis dan telah menetap di Paris sejak tahun 2006 menyayangkan reaksi orang Indonesia atas kasus terorisme dan majalah Charlie Hebdo yang memuat kartun Nabi Muhammad itu.

Tulis Wuwun, buat orang yg shock terhadap kartun Nabi Muhammad di majalah Charlie Hebdo (CH), seharusnya melihat tabloid ini lebih jauh lagi. CH jauh lebih kurang ajar terhadap Tuhan dan nabi agama lain. Termasuk Katholik, agama mayoritas penduduk Prancis. Kartun Nabi Muhamad hanya berupa gambar orang menggengam senjata. Itu saja. Bayangkan Jesus pernah dikartunkan sedang pesta seks.

Memang satir CH seenaknya. Tapi di Prancis tidak dilarang. Istilahnya kalau tidak suka, ya sudah. Nggak usah beli. Nggak usah pusing. Tapi janganlah membunuh apalagi memenggal. Sampai di sini cuma yang radikal yang tidak sependapat.

Lalu mengapa tabloid itu tidak ditindak dan ditutup? Ketahuilah Prancis mendukung prinsip negara Liberté – kebebasan; Fraternité – persaudaraan; Egalite – persamaan. Dari sudut pandang ini Charlie Hebdo tidak melanggar apa pun dalam aturan negara.

Bagaimanapun Prancis itu negara Laïque. Sekuler, di mana agama adalah ranah pribadi — bukan umum. Prancis sudah
menderita dan hancur akibat perang antaragama (Protestan versus Katholik). Ingat negara Prancis pernah di bawah “kekuasaan” gereja.

Lalu bagaimana kehidupan agama di Prancis? Kalian bisa datang dan lihat sendiri, tantang Wuwun. Di sekolah, tidak ada pelajaran agama.

Agama Islam — meski relatif baru — cukup eksis; 9% penduduk Prancis adalah muslim. Islam agama nomer dua dan masjid ada di mana-mana. Menariknya Prancis menerima 27.000 pengungsi Syria yang sudah ditolak di mana-mana.

Di sekolah publik, kantinnya menyediakan pilihan makanan halal. Kalau muslim pendatang ditanya — apakah hendak meninggalkan Prancis? Jawabnya, pasti tidak.

Muslim — kata Wuwun, penulis novel Segenggam Daun di Tepi La Seine — diperlakukan sangat baik di Prancis. Bahkan orang-orang dalam list S (yaitu orang yang potensial melakukan tindakan terorisme karena pernah bersinggungan dengan ISIS) misalnya, masih boleh hidup di Prancis. Jumlah mereka 25.000-an. Keluarga mereka pun kebanyakan dapat tunjangan hidup seperti warga negara biasa.

Miris ya? Atau blo’on pemerintahnya. Secara pribadi, saya bilang iya, kata Wuwun. Makanya aksi-aksi terorisme sebetulnya merugikan komunitas muslim Prancis sendiri karena partai keras antiimigran seperti Front Nasional pimpinan Marine Le Pen yang rasis menyerang dari sisi ini.

Aksi terorisme dua minggu lalu, saat guru Samuel Patty dipenggal kepalanya oleh remaja muslim umur 18 tahun asal Checnya sungguh memprihatinkan. Guru sejarah ini hanya mengajarkan tentang Liberty press. Sebagai pengajar, beliau menunjukkkan kartun Nabi Muhammad. Patty sebetulnya berbaik hati kepada murid yg tidak ingin lihat kartun untuk keluar kelas. Ternyata ada satu murid yang keluarganya list S. Ia bercerita di sosmed. Ramailah ajakan bunuh di sosmed mereka. Lalu muncul Abdoullakh Anzorof, si pembunuh usia 18 tahun, menculik Patty. Dan sempat-sempatnya Abdoullakh berfoto dengan penggalan kepala Patty.

Bisa dibayangkan betapa shocknya masyarakat Prancis. Seolah-olah dasar negara mereka hilang. Liberte terenggut. Seperti jika Pancasila kita diinjak-injak. Bila di sekolah yang seharusnya tempat pendidikan sudah tidak aman lagi, lalu bagaimana pendidikan generasi penerus Prancis? Semisal pelajaran Biologi tidak boleh lagi menunjukkan alat reproduksi karena dianggap pornografi. Itu mungkin bisa terjadi.

Lalu, Macron berpidato. Ini yg dimanfaatkan negara tertentu untuk menyerang dan memboikot Prancis. Tetapi apakah betul penafsiran mereka? Patutkah dipertanyakan Turki punya agenda atau tidak? Saya mendengar cuplikan pidato Macron berulang-ulang. Tidak ada kata yang mendeskriditkan Islam. Isinya begini:

Islam sekarang sedang krisis. Tidak hanya di Prancis tetapi di seluruh dunia. Radikalisme dan separatisme dalam Islam menciptakan ketegangan. Mereka muncul dengan agenda dan politiknya. Eksistensi mereka semakin lama semakin menciptakan suasana yg keras (redoucir). Ini juga ada di negara-negara yg mayoritas Islam. Contohnya Tunisia. 30 tahun lalu suasananya berbeda dari sekarang. Kondisi dalam Islam ini juga terjadi di sini (Prancis), di negara yg dikatakan sudah maju.

Sayang sekali bila masalah pidato itu jadi besar. Tanpa berusaha mengerti persepsi dan kehidupan dari point of view yg berbeda.

Boikot? Silahkan boikot Prancis. Just info, salah satu ekspor terbesar Prancis adalah barang-barang lux. Bagi yg punya Louis Vitton, Dior, Hermes, silahkan buang atau bakar. Jangan cuma ditaruh di lemari, tapi besok-besok dipakai lagi — gelitik Wuwun.

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA