KOPI, Riau – Webinar yang berlangsung 5 Agustus 2020 ini dibuka oleh Ibu Sri Wahyuni, SE. Ak, selaku ketua PW, Himpaudi Riau.
Menghadirkan Keynote Speaker: Ibu Rohimi Zamzam mewakili Prof. Netty Herawati, M.Si. Ketua PP. Himpaudi
Moderator: Hj. Aida Malikha, S.Psi, M.Psi., psikolog.
Para Narasumber yakni :
1. Dra. Sri Mulyani Nasution, M.Psi., psikolog
2. Dr. Henny Jacobs. S.Pd., M. Pd.
Dalam materi yang bertajuk: MEMBANGUN RESILIENSI ANAK PRASEKOLAH yang disampaikan oleh Dra. Sri Mulyani Nasution, M.Psi., psikolog yang juga merupakan Dosen Fakultas Psikologi Universitas Jayabaya dan Kepala Pusat Layanan Psikologi Universitas Jayabaya, menjelaskan mengenai tahapan perkembangan anak.
Karena Pertumbuhan dan Perkembangan anak akan terus berlanjut dan guru serta orangtua harus memahami TAHAPAN PERKEMBANGAN ANAK.
Mengacu pada teori perkembangan Erik Erikson, anak2 PAUD berada pada tahap ke-2 perkembangan psikososial.
1. Tahap 2. Autonomy vs Doubt (kemandirian vs keraguan) (18 bulan – 3 tahun).
Pada tahap ini anak sudah memiliki kemampuan untuk melakukan beberapa kegiatan secara mandiri. Pembatasan ruang gerak pada anak dapat menyebabkan anak akan mudah menyerah dan tidak dapat melakukan segala sesuatu tanpa bantuan orang lain.
2. Initiative vs Guilt (inisiatif vs rasa bersalah) (3 tahun – 6 tahun).
Pada tahap ini, kemampuan motorik dan bahasa anak mulai matang, sehingga memungkinkan mereka untuk lebih agresif dalam mengeksplor lingkungan mereka baik secara fisik maupun sosial. Pada usia-usia ini anak sudah mulai memiliki inisiatif dalam melakukan suatu tindakan misalnya berlari, bermain, melompat dan melempar. Orang tua yang suka memberikan hukuman terhadap upaya anaknya dalam mengambil inisiatif akan membuat anak merasa bersalah tentang dorongan alaminya untuk melakukan sesuatu selama fase ini maupun fase selanjutnya.
Ada beberapa aspek dalam perkembangan anak yaitu:
– Aspek Kognitif
– Aspek Fisik
– Aspek Sosial Emosionl
– Aspek Bahasa
Keempat aspek tersebut memengaruhi:
– Aspek fisik berkaitan dengan pertumbuhan dan perubahan tubuh anak, perkembangan motorik anak, serta pola tidur anak. Yang paling mudah kita lihat adalah perubahan tinggi dan berat anak. Tinggi dan beratnya akan bertambah setiap bulannya. Disamping itu, masa ini juga merupakan masa yang tepat untuk Pendidikan seksual anak. Pada masa ini (usia 1-3 tahun) anak belajar tentang perbedaan Jenis Kelamin, Toilet Training, dan Pengenalan Tubuh.
– Aspek kognitif berkaitan dengan cara berpikir anak. Dengan mengetahui perkembangan kemampuan berpikir anak, orangtua diharapkan menjadi lebih tenang dalam mengasuh anak karena memahami bagaimana kemampuan piker anak pada usia tertentu.
– Usia 1-3 tahun yang dilanjutkan masa pra sekolah adalah masa dimana anak sedang mengembangkan kemampuan bahasanya. Anak akan menyerap banyak kosakata baru dan berusaha mengucapkannya. Anak sangat sensitif dengan suara-suara di sekitar. Oleh karena itu orangtua harus mengucapkan kata dengan lafal yang benar. Jangan mengikuti gaya pelafalan anak.
– Pada usia 1-2 tahun, anak mulai menunjukkan ekspresi-ekspresi emosi. Anak akan menunjukkan reaksi marah jika mainan atau benda miliknya diambil oleh orang lain. Anak juga akan menunjukkan reaksi berbeda pada orang yang baru ditemui. Anak akan menunjukkan beberapa reaksi emosi seperti emosi marah, senang, sedih, kecewa, takut, terkejut dan lainnya. Orangtua perlu melatih anak untuk mengenal emosinya. Saat anak sedang menangis karena mainannya diambil oleh orang lain, bantu anak memahami perasaannya dengan mengatakan: “Kamu sedih ya karena mainan kamu diambil”. Dengan begini, anak akan mampu memahami perasaannya.
Kemudian Dra. Sri Mulyani Nasution, M.Psi., psikolog
yang juga merupakan Dosen Fakultas Psikologi Universitas Jayabaya menjelaskan tentang Resiliensi.
“Resiliensi adalah Kemampuan untuk bangkit dari pengalaman negatif atau situasi penuh resiko, bahkan menjadi lebih kuat selama menjalani prosesnya,” paparnya.
Resiliensi menjadi isu yang semakin penting bagi anak/siswa, orangtua/pendidik, sekolah/masyarakat, sebagai akibat dari pandemi covid 19 yang terjadi setengah tahun terakhir ini. Situasi ini menjadi pemicu stres bagi anak-anak; terutama karena terjadinya perubahan dalam kehidupan yang akan menimbulkan berbagai risiko.
Konsep Resiliensi:
1. Ada hasil positif setelah mengalami situasi penuh risiko
Berbeda dengan apa yang umumnya diprediksikan, anak-anak yang resilien tetap mampu menunjukkan hasil positif dalam perkembangannya
2. Terus berfungsi secara positif dalam situasi penuh resiko
– Mampu bernegosiasi dengan krisis perkembangan hidup. − Tetap berfungsi secara adekuat dalam krisis.
– Mengembangkan keterampilan coping yang baru. − Kualitas fungsi perkembangannya berfungsi baik
3. Pulih setelah trauma
– Mampu bangkit kembali setelah melewati situasi traumatis.
– Kembali ke pencapaian awal, bahkan lebih, setelah mengalami keterpurukan. (Masten et al. dalam Schoon, 2006)
Faktor Pelindung dalam Resiliensi:
1. Internal
Merupakan karakteristik individu meliputi:
– Thinking Style
– Karakteristik Kepribadian
2. Lingkungan
– Keluarga
– Komunitas
– Sekolah
– Kelompok sebaya
(Henderson dan Milstein 2003)
Karakteristik Internal Anak Yang Resilien:
1. Inisiatif
2. Mandiri
3. Berwawasan
4. Hubungan Sosial
5. Humor
6. Kreatif
(Wolins, dalam, Hendersen and Milstein, 2003)
Kunci Resiliensi:
– Mindset
– Sikap Positif
– Belief
– Resiliensi
– Daya Dorong
– Gaya Berpikir
Mindset: Sikap mental tertentu atau watak yang menentukan respons dan pemaknaan seseorang terhadap situasi.
Kemudian Dra. Sri Mulyani Nasution, M.Psi., psikolog
yang juga merupakan Dosen Fakultas Psikologi Universitas Jayabaya memaparkan bagaimana Membangun Resiliensi Sejak Dini.
Perlu dikenali anak-anak yang membutuhkan pengembangan resiliensi, seperti:
– Tdk tertarik pd aktivitas di sekolah
– Tdk ada interaksi dgn sebaya
– Bingung terhadap aturan
– Tidak berani mengemukakan pendapat
– Kurang mampu mengambil keputusan & resolusi konflik
– Merasa terasing dari sekolah
– Merasa tak diperhatikan
– Melabel diri negatif
– Tidak percaya diri
– Meremehkan diri sendiri dan org lain
– Membatasi kemampuan berdasar gender, etnik, SES, dll
– Tidak mengenali bakatnya
– Apatis
Membangun Resiliensi Anak:
1. Membangun Kedekatan
Anak-anak yang punya kedekatan positf dengan lingkungannya tidak banyak terlibat dengan perilaku beresiko.
– Keterlibatan orangtua dengan Guru: Beri orangtua peran yang berarti dalam aktivitas anak di sekolah, undang secara berkala, tidak hanya untuk anak yang bermasalah, akan tetapi untuk kabar menggembirakan tentang anak.
– Aktivitas Bervariasi: Aktivitas sebelum belajar dan sesudah belajar yang bervariasi akan mendekatkan anak-orangtua, anak-guru, anak – teman sebaya (Art, musik, drama, olahraga)
– Strategi Mengajar: Strategi mengajar mempertimbangkan/Memperhatikan kecerdasan majemuk anak agar kebutuhan emosi anak terpenuhi dan kedekatan dengan guru dan orangtua dapat terbangun.
– Lingkungan Belajar
– Perlakukan anak-anak dengan baik dan penuh perhatian; beri pelukan, dan perbanyak senyum, dll
2. Menetapkan Batasan yang Jelas dan Konsisten
Mengomunikasikan perilaku yang diharapkan; batasan perilaku beresiko dan konsekuensinya, diikuti dengan penerapan yang konsisten.
– Buat Aturan: Buat batasan perilaku yang diharapkan dan tidak diharapkan
– Libatkan Anak : Libatkan anak dalam membuat aturan. Utamakan saling menjaga dari pada memberi hukuman.
– Beri Penguatan: Perhatian lebih utama dari hukuman
– Atur Kegiatan yang Mendukung Aturan: Membuat tulisan, poster, dsbnya.
3. Mengajarkan Keterampilan Hidup
Meliputi kemampuan bekerjasama, resolusi konflik yang sehat, keterampilan resistensi dan asertifitas, kemampuan komunikasi, menyelesaikan masalah dan mengambil keputusan, manajemen stres yang sehat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa teman sebaya adalah pembawa pesan terbaik dalam strategi preventif dan intervensi. Anak-anak mendapatkan keterampilan hidup dari teman sebaya
– Pendekatan Belajar Kooperatif: Pendekatan pembelajaran kooperatif yang secara alami akan mengajarkan keterampilan dalam bergaul
– Kerja Kelompok: Dilibatkan dalam tugas2 kelompok
– Menyampaikan Pendapat: Anak diberi kesempatan menyampaikan pendapat
– Tetapkan Tujuan & Ambil Keputusan: anak didorong untuk menetapkan target dan mengambil keputusan
4. Berikan Perhatian dan Dukungan
Penerimaan dan penguatan sangat dibutuhkan anak saat ini. Tidak hanya dari anggota keluarga inti, tapi dari siapa saja yang memiliki kedekatan atau orang-orang atau bahkan hewan peliharaan yang berpengaruh dalam kehidupan anak. Caring atau perhatian juga berpengaruh terhadap prestasi akademik anak
– Beri Perhatian pada Semua Anak
– Kenali Semua Anak: Kenali sisi positif anak
– Beri Pujian dan Penghargaan: Beri penghargaan bila anak menunjukkan perilaku positif. “Kamu hebat, baru jatuh tapi masih bisa ketawa”. Beri pujian bila anak berhasil menunjukkan sikap positif dari masalah yang ia hadapi
– Pahami Kondisi Anak: Cari tau dan bantu anak menyelesaikan masalahnya. Minta gambaran anak dari orangtua sebelum mulai masuk sekolah.
5. Diskusikan Harapan yang Tinggi
Anak harus diyakinkan akan suatu harapan yang tinggi dan realistis di masa depan karena hal ini merupakan motivator yang efektif. bagi anak.
– Koperatif bukan Kompetitif: Lebih baik bekerjasama mencapai target dari pada berkompetisi
– Motivasi berdasar Minat: Tugas ini penting, dan saya percaya kamu pasti bisa menyelesaikannya dengan baik
– Pengelompokan Berdasar Minat: Kelas yang diberi pengharapan yang tinggi biasanya memiliki prestasi yang tinggi
– Beri Motivasi: Kamu pasti bisa, bila kerja keras akan cepat pintar
6. Beri Kesempatan Mengembangkan Potensi
Berikan tanggungjawab pada anak untuk berpartisipasi dalam tugas sehari-hari. Al ini memberi kesempatan pada anak untuk belajar memecahkan masalah, mengambil keputusan, membuat
perencanaan, menetapkan target, dan membantu orang lain.
– Beri kesempatan Belajar: Anak adalah sumber daya, bukan objek pasif
– Berpartisipasi dalam aktivitas baru: Beri kesempatan melakukan kegiatan yang belum pernah dilakukan
– Fasilitasi kebutuhan belajar: Berpartisipasi dalam kesempatan-kesempatan yang berharga.
– Lingkungan belajar yang mendukung: Fasilitasi dengan faktor2 pendukung kegiatan belajar.
Namun demikian, yang paling penting dari semua itu adalah orangtua dan guru yang resilien, seperti quotes dari Stephen Covey: “Jika kita ingin mengubah situasi, kita harus mengubah diri sendiri terlebih dahulu.” demikian dipaparkan oleh Dra. Sri Mulyani Nasution, M.Psi., psikolog
yang juga merupakan Dosen Fakultas Psikologi Universitas Jayabaya. (Rilis/Mung)
Comment