Oleh: Syaefudin Simon
KOPI, Bekasi – Pluralisme – juga multikulturalisme — adalah keniscayaan. Alqur’an surat Al-Hujarat 13, menjelaskan manusia diciptakan dari laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling kenal mengenal (taaruf). Sesungguhnya manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling besar takwanya.
Apa makna kata takwa? Azis Rauf, seorang muslim fanatik (MIPA Kimia 77 UGM), dalam Facebook menyatakan bahwa kata takwa hanya untuk Islam. Selain agama Islam, kata takwa tidak ada. Agama lain tidak berhak menggunakan kata takwa.
Menurut bahasa, takwa berasal dari bahasa Arab yang berarti memelihara diri dari siksaan Allah SWT, yaitu dengan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya (Imtitsalu awamirillah wajtinabu nawahihi). Takwa (taqwa) berasal dari kata waqa-yaqi-wiqayah yang artinya memelihara, yakni menjaga diri agar selamat dunia dan akhirat. Kata Waqa juga bermakna melindungi sesuatu, yakni melindunginya dari berbagai hal yang membahayakan dan merugikan.
Pengertian takwa menurut istilah kita dapatkan di banyak literatur, termasuk Al-Quran, Hadits, dan pendapat sahabat serta para ulama. Semua pengertian takwa itu mengarah pada satu konsep: yakni melaksanakan semua perintah Allah, menjauhi larangannya, dan menjaga diri agar terhindari dari api neraka atau murka Allah SWT.
Ibn Abbas mendefinisikan takwa sebagai “takut berbuat syirik kepada Allah dan selalu mengerjakan ketaatan kepada-Nya” (Tafsir Ibn Katsir). Ketika Abu Dzarr Al-Ghifari meminta nasihat kepada baginda Rasulullah, maka pesan paling pertama dan utama yang beliau sampaikan kepada sahabatnya itu adalah takwa. Rasulullah Saw bersabda: “Saya wasiatkan kepadamu, bertakwalah engkau kepada Allah karena takwa itu adalah pokok dari segala perkara.” (Tanbihul Ghofilin, Abi Laits As-Samarkindi). Imam Qurthubi mengutip pendapat Abu Yazid al-Bustami, bahwa orang yang bertakwa itu adalah: “Orang yang apabila berkata, berkata karena Allah, dan apabila berbuat, berbuat dan beramal karena Allah.” Abu Sulaiman Ad-Dardani menyebutkan: “Orang-orang yang bertakwa adalah orang-orang yang kecintaan terhadap hawa nafsunya dicabut dari hatinya oleh Allah.” Sedangkan Ibn Qayyim al-Jauziyyah menegaskan, bahwa hakikat taqwa adalah taqwa hati, bukan takwa anggota badan.” (Al-Fawaid).
Islam memang membahas kata takwa dengan panjang lebar. Sementara agama selain Islam, karena bahasa pengantarnya bukan bahasa Arab, kata takwa tidak ditemukan. Jika pun muncul kata takwa dalam ajaran agama non-Islam, niscaya hal itu merupakan kutipan dari Islam. Namun demikian, kalau kita bicara agama dalam pespektif universal, maka kata takwa mestinya berlaku pula pada agama lain. Karena itu, problem kata takwa mungkin terletak pada penafsirannya.
Seorang matematikus dan filsuf asal Purworejo, Ikhsan Haryono (MIPA Matematika 1978 UGM), punya pendapat menarik tentang makna takwa. Menurut Ikhsan, kata takwa seharusnya bisa diterapkan juga untuk agama selain Islam – jika kata tersebut mempunyai makna yang implementaif untuk kehidupan yang ril. Ikhsan menerjemahkan kata takwa sebagai sebuah sikap dan tindakan yang mentaati sunnatullah. Dengan demikian, kata takwa sangat terkait dengan pengertian ketaatan atau keterikatan manusia pada hukum-hukum alam. Ikhsan memberikan contoh, seorang penjual buah-buahan yang memanipulasi timbangan, meski agamanya Islam, bukanlah orang yang bertakwa. Sebaliknya, seorang penjual buah-buahan yang menimbang dengan benar, meski beragama Budha atau Kristen, adalah orang bertakwa.
Memanipulasi timbangan, sepintas kelihatan masalah sepele. Namun jika dilihat dari perspektif kosmologis, memanipulasi timbangan merupakan perbuatan “makar” terhadap sunnatullah – yaitu mendestruksi hukum gravitasi. Kita tahu, berat suatu benda di bumi tergantung gaya gravitasi di suatu tempat. Karena itu, jika orang memanipulasi timbangan, sama artinya tidak mengakui hukum gravitasi. Orang yang memanipulasi timbangan berarti telah mencoba mendistorsi hukum alam, atau sunnatullah. Dengan pendekatan ini, orang yang memanipulasi timbangan berarti orang yang tidak bertakwa.
Penafsiran takwa seperti di atas jelas lebih applicable. Tidak terkait dengan agama. Orang beragama apa pun jika perbuatannya mengikuti sunnatullah, maka termasuk orang bertakwa. Sebaliknya, meski agamanya Islam, tapi jika perbuatannya tidak megikuti sunnatullah, maka ia tidak bertakwa. Konsekwensi dari pendekatan ini sangat luas. Misal, orang Islam yang merusak hutan termasuk tidak bertakwa. Karena keberadaan hutan merupakan “keniscayaan alam” untuk memelihara dan mengkonservasi sumberdaya alam. Contoh lain, misalnya, seorang muslim yang memelihara kucing atau anjing, tapi tidak memberikan makanan secara layak kepada hewan itu, berarti dia tidak bertakwa. Kenapa? Karena kucing atau anjing yang dipelihara itu, secara sunnatullah, harus hidup layak – yaitu terpenuhi makanannya. Dan majikannya yang menanggung. Dalam konteks inilah, kita memahami kisah tentang masuk surganya pelacur yang memberikan minuman kepada anjing yang kehausan di tengah padang pasir. Dari pendekatan ini, Allah sangat menyukai sang pelacur yang memberikan minum pada anjing yang kehausan tersebut. Ini artinya, pelacur tersebut telah menjadi “wakil Tuhan” yang sempurna – memberikan minuman pada anjing yang kehausan di sebuah tempat yang kering dan gersang. Itulah sebabnyaAllah langsung memberikan ampunan atas dosa-dosa sang pelacur dan memasukkannya ke surga.
Dengan pendekatan di atas, maka setiap agama pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama: mengajak manusia untuk bertakwa. Yaitu meniti kebenaran sesuai hukum alam (sunnatullah). Dari perspektif inilah, kita bisa memahami ayat Qur’an (Al-Baqarah 62) yang menyatakan: “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” Ayat tersebut mengindikasikan bahwa kebenaran bersifat universal. Karena itu, jika kebenaran merupakan dasar dari takwa, maka makna takwa pun bersifat universal. Semua agama menyuruh umatnya bertakwa!
Dari penjabaran ayat di atas: pluralisme dan multikulturalisme adalah keniscayaan. Seseorang menjadi Kristen atau Buddhis, Muslim, atau Hinduis, dan lain-lain terkait dengan kondisi sosio kulturalnya. Ketika seseorang ditakdirkan lahir dari suatu keluarga atau bangsa yang menganut Kristen, Buddha, atau Islam maka kemungkinannya sangat kecil untuk keluar dari latar belakangnya itu. Karena agama merupakan sesuatu yang given, maka toleransi dan multikulturalisme merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindarkan.
Namun dalam perkembangannya, sering terjadi sebagian pemeluk agama cenderung membentuk wawasan keagamaan yang eksklusif — bertentangan dengan semangat pluralisme dan multikulturalisme. Ini tertjadi karena agama kerapkali dipahami sebagai wilayah yang sakral dan mutlak. Bahkan pada saat agama terlibat dalam urusan duniawi, tetap dipahami sebagai kewajiban agama yang sakral dan mutlak. Ia menihilkan hadist Nabi yang menyatakan, bahwa kamu lebih tahu urusan duniamu (antum a’lamu biumuuri dunyaakum).
Karena asumsi “sakralitas” itulah, persentuhan agama dan budaya menimbulkan ketegangan. Kondisi seperti itu pernah terjadi di berbagai wilayah yang menjadi pusat pertemuan antaragama seperti di Timur Tengah, Afrika Utara, Eropa Barat, dan lain-lain. Perang antar pemeluk Kristen (Katolik dan Protestan), lalu antara Islam dan Kristen (Perang Salib) menjadi catatan hitam sejarah kehidupan beragama.
Belakangan, kemunculan ISIS yang mendirikan negara horor dan teror di Timur Tengah menimbulkan trauma di kalangan umat manusia. ISIS yang mengatasnamakan Islam telah menebar teror kepada penduduk yang berbeda paham dan berbeda agama sehingga dunia kembali tersadar bahwa agama merupakan potensi konflik yang bisa mengancam kemanusiaan.
Di Indonesia pun, fenomena semacam itu kerap terjadi. Kasus Solo, di mana “segerombolan teroris” mengacau dan menggebugi Keluarga Assegaf yang sedang berdoa untuk prosesi midodareni, (tradisi Jawa menjelang pernikahan) menunjukkan bahwa orang beragama yang tidak berpandangan pluralis sangat berbahaya. Doa midodareni dianggap sesat karena merupakan ritual syiah. Gerombolan ini menganggap Syiah sebagai agama sesat dan harus dihancurkan.
Kasus semacam di Solo sudah sering kali terjadi di Indonesia. Masjid Ahmadiyah di Kuningan dihancurkan, Komunitas Syiah di Madura diobrak-abrik, patung-patung kultural di berbagai kota dirobohkan. Bom-bom bunuh diri sudah puluhan kali meledak, menewaskan orang-orang tak berdosa. Jika kondisi tersebut dibiarkan, bukan tidak mungkin kelak fenomena ISIS di Timur Tengah hadir di Indonesia.
Fenomena ISIS hanya muncul pada kelompok yang merasa beragama paling benar. Pinjam filsuf Foucault, orang yang merasa paling benar, identik dengan orang yang merasa paling berkuasa. Pada “perasaan paling berkuasa” inilah, tulis Foucault, tersimpan nafsu anarki. Akulah yang benar, yang lain salah. Yang salah harus dilenyapkan. Karena kebenaran hanya satu. Tak ada yang lain! Itulah cara berpikir anarkis! Pikiran anarkis itu benihnya berasal dari anggapan, bahwa “agama”-ku yang benar! Yang lain salah.
Dari perspektif inilah sebetulnya, tak ada barrier antara “kebenaran” privat dan publik. Seperti halnya, tak ada barrier antara “anarki” privat dan publik.
Comment