by

Manusia dan Agama Baru Berbasis AI (Review buku Spirituality of Happiness, Denny JA, 2020)

Oleh: Syaefudin Simon, Wartawan/Kolumnis

KOPI, Bekasi – Mungkinkah agama, spiritualitas, dan sains bergandengan tangan? Jawabnya ada di buku berjudul Spirituality of Happiness, Spiritualitas Baru Abad 21 Narasi Ilmu Pengetahuan, karya Denny JA (DJA). Tidak seperti Richard Dawkins yang menolak keberadaan Tuhan secara mutlak dalam bukunya The God Delusion, DJA dalam bukunya, Spirituality of Happiness (SOH) tetap mempercayai eksistensi Tuhan, tapi dalam format baru yang impersonal dan rasional. Lalu, DJA pun memperkenalkan konsep spiritualitas baru — menggantikan bentuk penghayatan iman konvensional agar hidup indah dan bahagia, seperti dipromosikan agama-agama homo sapiens. Ia menyebutnya, Spiritualitas Baru Abad 21.

Spiritulitas Baru Abad 21, yang merupakan inti dari ajaran “agama” masa depan, menurut DJA, tidak akan menggusur agama formal yang mempunya banyak wajah. Tapi melengkapinya dengan pendekatan sains yang terverifikasi. Karenanya, semua konten kitab suci agama konvensional, tulis DJA, harus ditafsir ulang mengikuti pendekatan sains atau ilmu pengetahuan. Ini karena Spiritualitas Baru Abad 21 — sepenuhnya berbasis sains; berbasis riset psikologi dan neuroscience yang terverifikasi dan valid.

DJA memulai pendekatan terhadap “agama masa depan dan Spiritulitas Baru Abad 21-nya” dengan menelusuri sejarah evolusi homo sapiens — satu-satunya spesies “kerabat manusia modern” yang masih eksis hingga saat ini. Ya, manusia sekarang ini adalah hasil evolusi homo sapiens yang hidup 200.000 tahun lalu.

Spesies kerabat manusia modern yang lain, di luar homo sapiens, seperti homo heidelbergensis, homo rhodesiensis, homo erectus (fosilnya, ada yang ditemukan di Pulau Jawa), dan homo neanderthal sudah punah karena tidak mampu mempertahankan hidupnya menghadapi perubahan alam (konsekuensi teori Darwin, survival of the fittest).

Salah satu “agama” kuno pada komunitas homo sapiens, tulis DJA, adalah tentang misteri kematian. Hal itu terlacak dari berbagai temuan arkeologis di situs-situs di mana fosil manusia purba berada. Para arkeolog mencatat, agama homo sapiens paling awal adalah animisme. Mereka menyembah burung, ular, buaya, matahari, gunung, pohon, dan lain-lain.

Seiring kemajuan peradaban homo sapiens — keberagamaan pun mengalami evolusi. Dari animisme, lanjut ke politheisme, dan berujung — ke monotheisme. Meski demikian, ketiga isme tersebut tidak berproses linier. Artinya monotheisme bukan ujung dari proses pencarian Tuhan. Karena, kini muncul teologi new animism. Para ilmuan dan selebriti di Barat justru sekarang banyak yang mengikuti agama new animism, dengan pendekatan baru. Batuan, hewan, dan pepohonan mereka “hormati dan dipertuhankan” dalam kerangka “oneness” atau keasaan seluruh entitas di universe. Mungkin mirip dengan konsep ketuhanannya Syekh Siti Jenar di Jawa atau Al Hallaj di Iran.

Saat ini, dengan iman versi baru, tujuh milyar homo sapiens yang ada di muka bumi, tulis DJA, menganut 4300 macam agama yang berbeda. Luar biasa banyak. Hanya dengan sains, pemahaman homo sapiens tentang tuhan dan spiritualitas yang beraneka macam itu, akan dapat “dipersatukan.” Ini karena sains bisa diverifikasi dan diuji validitasnya dengan riset dan eksperimen.

Yang paling menarik — mungkin ini sangat mengejutkan — bahwa kita, manusia sekarang ini, tulis DJA, segera menjadi generasi terakhir homo sapiens. Ini artinya, peradaban generasi homo sapiens yang telah berlangsung 200.000 tahun, sejak zaman batu hingga zaman internet for everything (IFE) segera berakhir dan punah. Setelah itu, muncul spesies manusia baru, yang otaknya terdiri atas artificial intelligence (AI), dan tubuhnya tesusun dari sel biologis dan sel elektronis dengan tulang silikon dan logam-logam lain yang kuat dan tahan panas.

Gambaran DJA di buku SOH ini, terutama tentang punahnya homo sapiens, sangat imajinatif, tapi secara rasional cukup predictable. Saya membayangkan, peradaban macam apa yang muncul bila spesies homo sapiens yang saat ini menghuni planet bumi itu punah?

Mungkinkah setelah punahmya homo sapiens, muncul manusia baru semacam “robotic human” di film The Terminator, Robocop, atau Justice League? Mereka adalah kombinasi manusia dan mesin elektronik. Mereka bertubuh organik sekaligus biomekatronik. Manfred Clynes dan Nathal S Kline menyebut spesies macam itu sebagai cyborg, singkatan dari cybernetic organism. Sangat mungkin, cyborg adalah spesies masa depan pasca homo sapiens yang disebutkan DJA tadi.
DJA mengungkapkan dalam buku SOH: Abad 21 akan menjadi akhir dari evolusi homo sapiens. Mencermati kemajuan sains teknologi yang demikian dahsyat, pasca punahnya spesies homo sapiens, di bumi niscaya akan muncul spesies kreasi manusia yang berotak artificial intelegent (AI). Yaitu otak elektronik buatan manusia yang niscaya lebih cerdas dari otak homo sapiens.

Spesies ini mampu bekerja cepat, cermat, cerdas, dan kuat karena tubuh dan otaknya merupakam gabungan sel-sel biologis dan sel-sel elektronik. Manusia jenis ini, jelas adalah cyborg. Untuk sementara, kita sebut saja, ia spesies homo scientificus. Yaitu spesies homo sapiens yang di otaknya sudah dibenamkan AI dan tubuhnya terdisi dari sel biologis dan elektronis. Spesies “manusia baru” ini — selain mempunyai karakter manusia — juga berpikir dan bergerak berdasarkan program-program yang telah diinstall di otak AI-nya.

Tidak seperti homo sapiens yang membutuhkan ratusan ribu tahun untuk mencapai peradaban modern seperti sekarang ini — homo scientificus bisa menciptakan peradaban baru hanya dalam waktu ratusan tahun, bahkan puluhan tahun. Tentu saja untuk sementara waktu, terdapat periode yang sama, di mana homo sapiens hidup “berdampingan” dengam homo scientificus. Seperti kebersamaan hidup homo sapiens dengan homo neanderthal selama 160.000 tahun. Sebelum spesies neanderthal itu punah untuk selamanya.

Jika planet bumi dihuni spesies cyborg cerdas dan kuat semacam itu, apa yang diprediksi Freeman J, Dyson — fisikawan dari Princeton University, AS — akan jadi kenyataan. Yaitu, spesies manusia unggul yang hidup abadi di planet-planet jauh, yang berada di antara bintang-bintang dan galaksi. Homo sapiens super dan cyborg ini, seperti halnya makhluk UFO (unidentified flying obeject atau piring terbang) telah memiliki fasilitas transportasi publik luar angkasa antarplanet dengan menggunakan energi abadi yang disemburkan bintang-bintang di angkasa luar. Dyson memprediksi fenomena seperti itu akan terjadi pada peradaban ketiga homo sapiens super, atau cyborg, ribuan tahun akan datang. Saat ini, homo sapiens masih berada dalam peradaban tipe nol. Peradaban tipe nol, menyandarkan kebutuhan energinya pada bio fuel, energi surya, dan sedikit energi nuklir.

Homo scientificus ini, jelas berbeda sama sekali dengan homo sapiens yang sudah ada sebelumnya. Homo sapiens, saat itu, karena masih punya unsur cabon, kalsium, posfor, dan zat-zat kimia yang mudah terbakar, niscaya akan punah seperti diprediksi DJA, ketika bumi makin panas akibat menipusnya lapisan ozon di atmosfir. Homo sapiens juga tak akan bisa bertahan hidup di planet yang dekat matahari karena suhunya amat tinggi. Ini berbeda dengan cyborg yang telah dirancang sedemikian rupa tubuh dan otaknya, sehingga mampu bertahan di suhu tinggi dan minim, bahkan nihil air.

Sementara itu, generasi cyborg makin lama fisik dan otaknya makin kuat dan cerdas. Kelak, menurut Neale Donald Walsch, manusi baru tersebut, mampu mengendalikan kematian. Ini terjadi karena teknologi rekayasa ruh sudah ditemukan. Hidup dan mati, kelak, adalah pilihan manusia. Bukan takdir Tuhan lagi. Kematian adalah sebuah rekreasi di dunia astral di kala manusia merasa bosan hidup di planet bumi. Setelah bosan berpetualang di dunia astral, ruh pun bisa kembali ke tubuh homo scientificus; lalu super human tersebut hidup lagi di planet bumi atau planet lain yang jadi habitatnya.

Dalam kondisi seperti itulah, kita melihat masa depan agama- agama. Dapatkah agama-agama konvensional seperti Yahudi, Kristen, Islam, Budha, Hindu, dan lain-lain mempertahankan eksistensinya? Barangkali, saat itu, kitab suci agama-agama tradisional sudah dianggap kumpulan dongeng semata. Kitab suci hanya dipelajari generasi cyborg untuk memgetahui proses tumbuh kembangnya agama-agama tradisional dalam riset antoropologi dan arkeologi.

Kitab-kitab suci agama tradisional di zaman cyborg, kelak, dianggap tak lebih dari lembar-lembar kertas atau buku digital yang berisi narasi dongeng antropologis yang jadi panduan moral homo sapiens. Spesies Cyborg atau homo scientificus tidak memerlukan kitab suci lagi. Ini karena dalam sel-sel tubuh biologis dan elektroniknya sudah tidak ada lagi code gen tuhan. Kode gen tuhan sudah hilang dalam DNA sel tubuhnya akibat revolusi spesies homo scientificus yang ekstrim. Sehingga perasaan relijiusitas yang tumbuh bersamaan dengan misteri kematian seperti pernah terjadi pada zaman homo sapiens, sudah tidak ada lagi.

Jika sudah demikian, apa makna agama di zaman pasca homo sapiens? Sayang, deskripsi DJA terhadap agama tradisional di buku SOH, masih ambivalen. Di satu sisi, DJA mendestruksi keberadaan dan konten kitab-kitab suci tradisional, tak lebih dari buku putih yang mengadopsi dongeng-dongeng zaman Assyria, 2500 SM di Mesopotamia. Tapi di sisi lain, DJA masih memprediksi agama-agama tradisional tidak akan mati karena punya seribu wajah, meski basisnya hanya dongeng dan mitologi.

DJA, misalnya, merujuk hasil temuan pecahan puing-puing prasasti kuno oleh Hormudz Rassam (2826-1910), ahli arkeologi Irak tahun 1852 di situs kota kuno Niniveh, Babilonia. Temuan Rassam ini, kemudian diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh George Smith, ahli bahasa kuno Assyria, dari British Museum, Inggris.

Dari artefak arkeologis yang ditemukan di situs kota kuno Niniveh, Mesopotamia (sekarang Irak) bertahun 2500 SM itu, terkuaklah fakta historis: bahwa banjir besar yang menenggelamkan bumi zaman Nabi Nuh seperti tertulis di kitab-kitab suci adalah mitos belaka. Jika banjir itu terjadi, itu hanya banjir besar akibat luapan sungai Tigris yang merendam wilayah kerajaan Mesopotamia.
Banjir inilah yang kemudian dimitologikan sedemikian rupa, sehingga tertera dalam kitab-kitab suci agama Semit (Yahudi, Nasrani, dan Islam) yang lahir ribuan tahun kemudian. Dari lanjutan penelitian itu pula, para ahli arkeologi sampai pada kesimpulan: tokoh Nabi Musa yang banyak ditulis kitab-kitab suci adalah fiktif. Tidak ada preseden historisnya; juga tidak ada artefak arkeologisnya yang membuktikan keberadaan Musa, baik Palestina maupun Mesir.

Di pihak lain, DJA masih tetap menganggap penting keberadaan kitab-kitab suci sebagai panduan moral homo sapies dan spesies sesudahnya. Paling tidak, melalui kitab-kitab suci itu, ungkap DJA, ada moral guidence untuk super human, meski dalam bentuk dongeng atau puisi esai. Ini ironis, karena DJA sebelumnya menyatakan bahwa peradaban pasca kepunahan homo sapiens adalah peradaban sains mutlak. Yaitu sebuah peradaban sains yang sepenuhnya diusung kaum super human yang berotak AI dengan tubuh penuh chips dan nano mesin.

Lantas, spiritualitas macam apa yang bisa membahagiakan homo scientificus ini? Dengan otak dan saraf yang sudah terprogram sepenuhnya melalui AI, masihkah mereka mempunyai hormon dopamin, serotonin, eksitosin, dan endorfin yang berperan dalam mengembangkan spiritulitas baru? Sayang, jawaban DJA masih belum konsisten di buku SOH ini.

Meski demikian, buku SOH, membuka wawasan kita untuk menatap masa depan kehidupan dan keagamaan baru yang sungguh berbeda dengan peradaban homo sapiens sekarang ini. Kepunahan peradaban homo sapiens karena diserbu generasi cyborg, yang kemudian memunculkan peradaban homo scientificus dengan Spiritualitas Baru Abad 21 (versi DJA) — seperti diprediksi Dyson dan Michio Kaku — bukan fiksi lagi. Tapi sebuah keniscayaan. Film-film Hlllywood dan para seniman sudah mengimajinasikannya melalui layar lebar dan lukisan besar. Merujuk pada pernyataan pelukis Picasso bahwa apa yang bisa dibayangkan manusia adalah niscaya faktual, maka peradaban pasca homo sapiens pun niscaya akan benar benar ada di kemudian hari. Kapan? Tinggal menunggu waktu!

DJA, melalui buku SOH yang tipis (150 halaman) ini — terlepas akurat atau tidak prediksinya — kelak akan menjadi salah seorang tokoh legendaris peramal masa depan seperti Joyoboyo, Dyson, dan Kaku. DJA, melalui buku SOH, tercatat telah memprediksi munculnya manusia baru dan agama baru berbasis sains, yang sama sekali berbeda dengan manusia dan agama yang ada saat ini. Bravo!


NB. Buku dalam pdf bisa diunduh di https://drive.google.com/file/d/1GLI2nU_ktp0ragIu7xij-TMxDNrh8Czf/view

This image has an empty alt attribute; its file name is madu_banner_PERSISMA.jpg

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA