by

Hijrah dan Kehidupan

Oleh: Dr. K.H. Amidhan Shaberah, Ketua MUI 1995-2015/Komnas HAM 2002-2007

KOPI, Jakarta – Hijrah adalah dinamika. Dan dinamika adalah hukum kehidupan. Ibarat air yang bergerak dan dinamis, ia makin bening karena oksigen yang berada di dalamnya makin banyak. Air yang diam dan statis makin keruh karena oksigennya makin sedikit. Dalam air yang oksigennya makin sedikit, bakteri anaerob makin banyak. Akibatnya air menjadi keruh, kotor, dan banyak kuman.

Begitu pula dalam kehidupan manusia. Hijrah merupakan keniscayaan bila manusia ingin memperbaiki kehidupannya. Hijrah dalam perspektif ini bersifat multidimensi — bisa dalam bentuk hijrah pemikiran, hijrah keimanan, hijrah pengetahuan, hijrah keduniaan, dan macam-macam. Semua bentuk hijrah itu inti tujuannya sama. Untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Kehidupan yang diteladankan Rasulullah.

Dalam Islam, kata salaha, artinya memperbaiki diri. Dan orang yang terus menerus memperbaiki diri niscaya akan melakukan hijrah yang penuh dinamika. Dengan demikian, menjadi orang salih, seperti cita cita semua umat beragama, adalah menjadi manusia yang terus menerus hijrah. Yaitu hijrah dari yang buruk menjadi yang baik. Dan hijrah dari yang baik menjadi yang lebih baik. Seterusnya, dari yang lebih baik menjadi yang jauh lebih baik lagi. Karena itu, kesalihan identik dengan everlasting improvement.

Jadi, dalam konsep kesalihan — pinjam Dr. Muhammad Nursamad Kamba — tidak ada puncak kebaikan. Karena kebaikan dalam kesalihan adalah kebaikan yang terus menerus memperbaiki diri. Sedemikian rupa hingga manusia mencapai kebaikan yang mencitrakan kebaikan Allah. Yaitu kebaikan yang Sempurna. Karena itu, yang namanya insanul kamil, adalah manusia yang akhlaknya — pinjam istilah Sir Mohamad Iqbal, filsuf Pakistan — seperti akhlak Allah. Untuk mencapai kesempurnaan hidup, Rasulullah Muhammad menyatakan, Takhallaqu biakhlaaqillah. Berakhlaklah seperti akhlak Allah.

Bagaimana akhlak Allah itu? Akhlak Allah, tulis Sir Muhamad Iqbal, tertera dalam kata basmalah. Yaitu Maha Rahman dan Maha Rahim. Hijrah manusia paripurna adalah perjalanan menuju sifat Rahman dan Rahim tersebut.

Dengan sifat Rahman dan Rahim Allah, alam ini tercipta. Penciptaan alam adalah kreasi Allah untuk menunjukkan sifat Rahman dan RahimNya. Bayangkan, semua ciptaann Allah, dari yang paling sederhana — yaitu mikroorganisma bersel satu sampai hewan bersel banyak yang sangat kompleks; dari elektron yang ukurannya amat kecil hingga matahari dan bintang-bintang di galaksi yang ukurannya super-duper gigantik — semuanya berada dalam “Kasih Sayang” Allah. Bentuk kasih sayang Allah tersebut berupa hukum alam yang terintegarasi sempurna. Semua ciptaan Allah itu bergerak dalam dinamika yang teratur dan terstruktur indah. Dan mereka selalu bergerak mengikuti tarian-tarian natural laws di jagat raya.

Ketika Rasul hijrah dari Mekah ke Madinah, esensinya, adalah migrasi dinamis dari keterpurukan menjadi kebangkitan. Dari keburukan menjadi kebaikan. Dari kezaliman menjadi keadilan. Dalam bahasa Qur’an, manusia diminta Allah untuk berjalan-jalan di muka bumi, mengamati pasang surutnya peradaban manusia yang selalu hijrah dari suatu tempat ke tempat lain; dari satu pemikiran ke pemikiran lain; dari satu keyakinan ke keyakinan lain. Ujung dari hijrah itu adalah sebuah pembentukan etika kehidupan yang bersumber dari sifat Rahman dan Rahim Allah.

Allah berfirman: “Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (Qs. 29:20). Ayat ini tafsirnya luas sekali. Allah menyuruh manusia “berjalan” di muka bumi untuk memperhatikan proses penciptaan makhluk di alam yang penuh dinamika sehingga terbentuk peradaban yang silih berganti.

Umat Islam, selalu memperingati “awal tahun Hijriyah”. Peringatan tahun Hijriyah ini hendaknya menjadi pemicu kebangkitan elan vital Islam yang Rahman dan Rahim. Islam di masa lalu, berkembang pesat bukan karena peperangan, tapi karena kasih sayang yang diajarkan Nabi Muhammad. Selanjutnya dari rasa kasih sayang itu, muncullah kegairahan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Melalui ilmu pengetahuan inilah, implementasi sifat rahman dan rahim makin luas.

Rasul Muhammad diutus ke dunia oleh Allah semata mata untuk memperbaiki akhlak manusia. Kenapa? Kekacauan di muka bumi ini karena kekacauan akhlak manusia. Dalam konteks inilah peringatan Hijriyah mempunyai makna besar. Yaitu hijrah dari akhlak yang buruk menuju akhlak yang baik. Dari akhlak yang baik menuju akhlak yang lebih baik. Puncaknya hijrah menuju akhlak yang — tulis Sir Muhamad Iqbal — seperti akhlak Allah. Yaitu akhlak yang Maha Rahman dan Maha Rahim.

This image has an empty alt attribute; its file name is madu_banner_PERSISMA.jpg

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA