by

FaceApp

Cerpen Simon Syaefudin

KOPI, Bekasi – Gegara faceApp, mantan pacarku, Lusiana, keihatan cantik sekali. Lebih cantik dibanding tahun 1980-an. Imajinasiku jadi glantur.

Entah kenapa, Lusi sering kirim foto FaceAppnya ke WA-ku. Dan anehnya aku suka dengan foto-foto FaceAppnya . Soalnya lbh cantik.

Makanya aku jadi penasaran. Penasaran karena Lusi makin ngangeni. Dulu, waktu masih pacaran dgnku tahun 1980-an, kulitnya hitam manis. Di FaceApp jadi kuning. Rambutnya dulu item. Di FaceApp jadi coklat. Pokoknya Lusi makin cantik deh.

Gaya bicaranya kalau chatting di WA masih seperti dulu. Tulisan Chayank…masih sering dia pakai di WA. Kata Chayank ini ikonik untukku. Karena gak ada wanita lain yg menuliskan kata Chayank dalam suratnya seperti itu. Pacarku waktu SMA kalau nulis hanya sayang…biasa saja. Bukan Chayank dengn C besar, disambung huruf h dan akhiran nk. Ada tiga huruf yang diubah Lusi. S diganti Ch dan ng diganti nk. Kreatif, sekreatif Lusi kalau menggodaku. Lusi suka mijit mijit hidungku kalau sedang ngobrol di rumahnya di Krawang. Katanya hidungku mirip Roy Marten.

Aku dapat nomor hape dan WA Lusi dari teman WAGroupnya di PT Ontosoroh, Jakarta. Begitu aku kontak, langsung nyambung. Dia katanya masih belum bisa melupakan masa lalunya denganku, meski uda punya dua anak. Suaminya, uda meninggal dua tahun lalu. Dia ingin berteman denganku. Alasannya, tulisanku bagus kalau di FB. Lusi mengaku selalu baca tulisan-tulisanku di FB.

Meski menyukai trit-tritku di FB, Luci gak mau menganggu keluargaku.

“Janda dan cinta itu beda, Mas Roy,” katanya di WA. Banyak orang menganggap janda biang pelakor. Aku gak mau jadi janda seperti itu. Bagiku menjadi janda itu indah. Karena jadi wanita mandiri. Memang sih aku masih kangen sama Mas Roy. Tapi sekadar kangen aja. Seperti kangennya aku dengan Boni, adikku. Ujar Lusi.

Setelah sering chatting denganku di WA yg fotonya cantik pisan, aku jadi penasaran. Catat pembaca, ini penasaran aja. Bukan cinta yang bersemai kembali.

Lusi, ketemu yok? Ajakku via WA, membayangkan kecantikannya.

Oke, katanya. Siapa takut!, lanjutnya di WA.

Sip. Hatiku berbunga-bunga. Ketemu mantan yg uda 35 tahun gak jumpa. Aku pun memberitahu teman akrabku, Joni, di Tangerang yang sekantor dgn mantan. Nanti kau datang ke Senayan City ya, Jumat siang. Kataku. Aku mau bertemu Lusi. Joni sudah tahu siapa Lusi. Karena teman sekantornya.

Bgitu ketemu di cafe The Star, Senayan City, aku terperanjat. Ya Tuhan, Lusi memang tak berubah. Masih tetap cantik, batinku. Aku pun ngobrol ngalor ngidul hampir dua jam di cafe itu. Aku pesan kesukaan Lusi, roti bakar dan kopi Aceh. Sedangkan aku pesan kesukaanku, sop buntut dan teh tawar.

Selesai bertemu dan ngobrol dengan Lusi di cafe The Star, temanku yang nunggu di cafe lain, Joni, berbisik. Uda jelek ya Roy, mantanmu. Tuwek dan keriput. Gak kayak dulu.

Aku memang minta Joni nunggu di cafe Bengawan Solo, 20 meter dari Cafe The Star. Agar pertemuanku dengan Lusi spesial. Tak terganggu orang lain. Joni setuju.

Ah masih cantik kok, kataku. Aku tunjukkan fotonya di hapeku. Cantik kan?

Joni ngakak. Kalo foto ini mah emang cantik Roy. Gambar FaceApp.

La terus? Kan dia spti ini?

Joni tertawa. Sampai terbatuk-batuk.

Roy…Roy ..cinta memang buta. Wajah yg uda keriput masih saja dibilang cantik. Itu bukan Lusi, Roy. Itu wajah faceApp an. Wajah itu umur 20-an. Apalagi rambutnya coklat. Mantanmu kan rambutnya item. Terus liat hidungnya. Ini lancip. Mantanmu kan hidung Indonesia, bukan hidung Arab. Jauh Roy dari yang sebenarnya.

Hai…sadar Roy.. sadar…Joni menempelkan telapak tangannya di wajahku. Kamu linglung Roy, katanya sambil terbahak.

Aku diam. Ngucek-ngucek mata.
Aku jadi mikir. Iya tah? Kok dalam pandanganku, mantanku masih seperti dulu. Cantik. Seperti foto yang dia share ke WAku. Kata Joni uda beda jauh. Apa mataku kelilipan? Atau ini bukan pandangan mata, tapi imajinasiku yg nyrobot saraf mata?

Akhirnya aku sadar. Really Lusi memang sudah tak secantik dulu. Tapi imajinasiku bilang dia masih cantik. Terpengaruh FaceApp?😄 Ato kenangan masa lalu? Embuh. Gak penting itu. Yg penting aku masih merasakan getaran magnet di sekitarku ketika bertemu dengan Lusi.

Sampai Lusi pulang, aku masih terperangah. Ternyata kecantikan Lusi abadi. Batinku memujinya. Keriput di lehernya justru menambah kecantikannya

Tetiba aku jadi ingat istriku. Kalau di FaceApp, Dial, istriku, kayak gadis dua puluhan lagi. Padahal usianya uda hampir setengah abad.

Pah, liat aku cantik kan Pah? Kata istriku kalo lagi utak-atik FaceApp. Aku mirip Nia Ramadani kan? Aku hanya tersenyum mendengar imajinasi istriku. Coba Papah kasih tiket dan uang untk shopping ke Dubai, aku akan beli busana dan kosmetik seperti Nia Ramadani. Gak usah dua milyar. Setengah milyar saja cukup. Canda Dial.

Mah, ingat, Nia Ramadani itu kebablasan. Mosok di tengah pandemi corona yang memiskinkan rakyat, dia bilang sebulan habis dua milyar untuk merawat tubuhnya…kan itu keterlaluan. Ujarku.

Mamah jangan mengambil contoh Nia Ramadani deh. Ambil contoh nama orang yang sering Mamah nyanyikan saja? Lanjutku.

Apa itu? Tanya Dial kaget.

Itu lo, lagu manis yang sering Mamah nyanyikan di karaoke kamar tamu tiap malam.

Oh itu. Aisyah! Ujar Dial.

Lagu Aisyah, favoritku. Ulang Dial, matanya berbinar. Cantik sekali.

Ya itu aja contohnya. Kalau ada lagu berjudul Khadijah lebih baik lagi. Ujarku. Dial baru ngeh.

Iya deh Khadijah aja. Khadijah kan kaya. Aku ingin seperti Khadijah aja. Gak mau seperti Nia Ramadani.

Nah baru sip. Akhlaknya seperti Khadijah. Tapi cantiknya seperti Nia Ramadani. Selorohku. Dial tersenyum. Contoh yang cerdas, katanya sambil memicingkan mata.

FaceApp memang aplikasi yang bisa menyurut ke masa lalu sekaligus melompat ke masa depan. Joni yang ahli IT di kantornya mengingatkan aku jangan terbuai wajah FaceApp masa lalu.

Roy, kau bisa terpedaya hanya karena FaceApp. Kau harus ingat kalau umur itu bertambah, tak akan pernah berkurang — Joni mengingatkanku.

“Sini Roy. Aku baru saja mengutak-atik wajah mantanmu Lusi,” ujar Joni sambil menggeser kursinya ke arahku di meja cafe Bengawan Solo itu. Joni menunjukkan foto wanita tua di hapenya.

“Ini foto nenek keriput siapa? Kayak Mak Erot.” Kataku terkejut melihat foto nenek tua di hape Joni.

“Lupa ya Roy. Coba perhatikan wajahnya. Ayo siapa nenek tua mirip Mak Erot itu?”. Tanya Joni terbahak.

“Ya Tuhan. Itu kan mirip Lusi.” Aku kaget bukan main.

Itulah Roy. Lusi akan jadi seperti itu. Dia tak mungkin muda lagi. Dia akan jadi nenek. Itu pasti Roy. Lusi mustahil muda lagi. Ujar Joni sambil tersenyum.

“Kau sadar realita ‘kan?” ucap Joni.

Astaghfirullah! …aku tanpa sadar mengucapkan istighfar. Ampuni hambaMU, Tuhan. Hamba terbuai manipulasi wajah FaceApp

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA