by

Banjir Bandang Luwu dan Ekonomi Konservasi

Oleh Dr. HM Amir Uskara, Ketua Fraksi PPP DPR RI

KOPI, Jakarta – Banjir bandang di Kecamatan Masamba, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan sangat mengejutkan. Senin 13 Juli 2020, pukul 20.00 WITA (pukul 19.00 WIB), tiba-tiba datang deru air dari “atas” yang cepat dan menggilas apa pun yang dilewatinya. Sejumlah rumah dan fasiltas umum hancur. Ribuan rumah terendam, jalan raya rusak, dan public space hancur.

Basarnas Makasar mencatat hingga Rabu (15/7/2020), jumlah korban meninggal dunia mencapai 19 orang; 23 lainnya hilang, belum ketemu. Lebih dari 650 orang tinggal di pengungsian karena rumahnya hancur dan tertutup lumpur.

Korban tewas dan hilang, antara lain, karena tertimbun lumpur dan terjebak di dalam rumah yang runtuh tergilas banjir bandang. Ada juga yang terseret arus. Kata Kepala Kantor Basarnas Makassar, Mustari di Masamba, Luwu Timur. Yang menyedihkan, tambah Mustari, bencana ini terjadi saat pandemi corona. Sehingga butuh usaha esktra dan kehati-hatian tinggi dalam menyelamatkan korban. Jangan sampai korban terselamatkan, tapi Covid-19 kemudian mencengkeram.

Kenapa Terjadi?

Banjir bandang parah 13 Juli itu, sebetulnya merupakan rangkaian dari banjir- banjir sebelumnya di Kabupaten Luwu. Lima pekan sebelumnya, 6 Juni, banjir menerjang empat kecamatan (Suli, Suli Barat, Larompong, dan Larompong Selatan) di wilayah Sulawesi Selatan itu. Ribuan rumah warga terendam air. Ribuan penduduk mengungsi. Bila hujan terus mengguyur wilayah tersebut di bulan-bulan mendatang, banjir bandang dahsyat bisa terjadi lagi. Ini terjadi karena kerusakan alam, terutama di daerah pegunungan di wilayah tersebut. Yaitu Pegunungan Latimojang, sudah sangat parah.

Daerah Aliran Sungai (DAS) Suli yang membentang di wilayah tersebut, misalnya, ungkap Hasrul — Kepala Kesatuan Pengendali Hutan (KPH) Latimojang — sudah sangat kritis. Kata Hasrul, hulu sungai Suli berada di Desa Poringan dan Kaladi — dua desa yang seharusnya menjadi zona lindung untuk menghindari banjir. Tapi kenyataannya, zona lindung di Pegunungan Latimojang itu rusak. Zona lindung telah menjadi lahan pertanian dan pekjebunan.

Guru Besar Kehutanan Universitas Hasanudin, Prof. Ngakan Oka mengungkapkan, wilayah Latimojang seharusnya menjadi kawasan konservasi. Sayangnya, wikayah sekitar Latimojang — dataran tinggi dan bukit-bukit gunung tersebut — kini telah berubah menjadi kawasan pertanian, perkebunan, dan pariwisata. Akibatnya setiap tahun di musim hujan, empat kecamatan (Suli, Suli Barat, Larompong, dan Larompong Selatan) di “wilayah bawah” dilanda banjir. Banjir itu akibat luapan sungai yang berhulu di Pegunungan Latimojang. Banjir bandang tersebut di atas menandakan adanya kerusakan lingkungan dan hutan di Pegunungan Latimojang yang sudah sangat parah.

Menurut Ngakan Oka, karut marut tata kelola zona lindung di hulu, di sekitar Pegunungan Latimojang — yang sering menimbulkan konflik antara organisasi lingkungan dan warga, bahkan pemerintah setempat — merupakan pemicu berbagai tragedi banjir dan longsor di Luwu. Di pihak lain, ujarnya, pejabat daerah setingkat camat dan lurah nyaris tak pernah berusaha menghentikan deforestasi.

“Jika ingin selamat, Latimojang harus dijadikan kawasan konservasi, atau jadi taman nasional,” kata Guru Besar Kehutanan Universitas Hasanuddin itu.

Pegunungan Latimojang membentang dari mulai Kabupaten Sidenreng Rappang, Enrekang, Luwu, Palopo, Tana Toraja, dan Toraja Utara. Puncak tertinggi Latimojong adalah Rante Mario, mencapai 3.478 mdpl. Rante Mario merupakan puncak gunung tertinggi di Sulawesi Selatan. Gugusan Pegunungan Latimojong ini merupakan pengendali air sekaligus mata air; di mana mata airnya menghidupi enam kabupaten di sekitarnya. Salah satunya, sungai Suli di Kecamatan Suli. Sungai ini meliuk dari Desa Kaladi di Kecamatan Suli Barat, Kaki Latimojong, dan bermuara di Teluk Bone.

Batang sungai inilah yang pada 7 Mei 2020 meluap; membanjiri puluhan kampung dan ratusan hektar lahan pertanian. Hujan yang mengguyur kawasan itu sejak 5 Juni–6 Juni 2020, membuat air bergerak cepat. Hulu sungai yang seharusnya jadi penyangga dan pengendali air, tidak berfungsi. Ini terjadi karena kanopi hutan dengan status sebagai hutan lindung, telah lama menghilang. Telah berubah menjjadi perkebunan, terutama cengkih.

Hasrul menyatakan, cengkih memang tanaman bernilai ekonomi tinggi bagi warga. Pemerintah daerah, selama ini belum mendorong bercocok tanam dengan model agroforestry. “Kalau kami mengenalkan tanaman hutan, warga bilang itu hasilnya sedikit. Padahal untuk menanam cengkih, harus ada pembukaan lahan. Perkebunan cengkih supaya subur bagian bawahnya
harus bersih. Dampaknya, ia tidak tmampu menahan laju air.” Keluh Hasrul. Air terjun di Desa Kaladi, lanjut Hasrul, jadi magnet lain bagi publik dan wisatawan. Warga banyak mengunjungi air terjun itu, apalagi para pencinta motor trail. Dampaknya, terjadi kerusakan lingkungan parah di sana.

Wahana Lingkungan (Walhi) 2007, mencatat, pembukaan lahan perkebunan di bukit Latimojang sangat destruktif. Karena ada land clearing di kemiringan tanah 50 derajat. Akibatnya rawan longsor. Tragedi longsor 2007, sebut Walhi, akibat land clearing sembrono itu tadi. Begitu pula banjir dan banjir bandang dalam dua bulan terakhir.

Nilai Ekonomi Total (NET)

Sebandingkah kerugian masyarakat akibat banjir, banjir bandang, dan longsor dengan valuasi ekonomi dari land clearing dan deforestasi di Pegunungan Latimojang? Jawabannya panjang karena kita harus menghitungnya melalui pendekatan nilai ekonomi total (NET).

Parameter NET , sangat komorehensif; tidak hanya diukur dengan nilai finansial yang ada saat itu, tapi juga diukur dengan nilai ekonomi yang “tidak ada pada saat” itu. Parameter ekonomi yang “tidak ada pada saat itu” di antaranya adalah dampak lingkungan dan masa depan ekosistem akibat eksploitasi sumber daya alam tersebut.

Selama ini, konsep nilai ekonomi hanya berdasarkan teori ekonomi kesejahteraan neoklasik di mana akarnya adalah utilitarianisme. Dalam utilitarianisme, nilai ekonomi hanya menunjukkan tingkat sejauh mana sebuah benda atau sebuah pelayanan bisa memuaskan individu. Preferensinya dinyatakan dalam terma utilitas – yaitu sebuah kegunaan atau kemanfaatan suatu benda yang diukur dengan pertukaran nilai uang. Dengan demikian, nilai ekonomi diukur dari jumlah uang yang bisa diperoleh individu sebagai kompensasi kemanfaatan dan kegunaan benda tersebut.

Komponen pertukaran dan penentuan nilai benda tersebut dikenal dengan istilah direct-use value (nilai penggunaan langsung). Hampir semua transaksi di pasar–seperti jual-beli sandang, pangan, papan, dan kendaraan–pendekatannya adalah direct use.

Kondisi ini berbeda dalam transaksi sumber daya alam (SDA). Dalam transaksi SDA, ada keterkaitan pihak-pihak lain, seperti kondisi lingkungan dan ekosistem yang ada di sekelilingnya. Karena itu, pendekatan ekonomi direct use tidak bisa diterapkan dalam transaksi SDA. Penjualan kayu jati, lahan sawit, dan eksplorasi batu bara di tengah hutan, misalnya, tidak bisa memakai pendekatan direct use semata, tapi harus memakai pendekatan indirect use juga. Indirect use, misalnya, bisa dilihat dalam ekonomi taman wisata alam seperti kebun binatang atau kebun raya. Kebun Raya Bogor, misalnya, nilai direct use-nya bisa langsung terlihat karena keindahan alamnya bisa dijual kepada individu atau masyarakat untuk tempat rekreasi. Namun nilai indirect use-nya juga sangat besar, karena Kebun Raya Bogor merupakan tempat konservasi tanaman langka dan penyerap udara kotor sekaligus penyuplai oksigen untuk Kota Bogor dan sekitarnya.

NET berkembang ketika masyarakat internasional mulai merasakan timbulnya bahaya lingkungan akibat eksploitasi SDA secara berlebihan. Pada akhir 1960-an, masyarakat internasional belum merasakan dampak kerusakan hutan yang begitu masif terhadap perubahan cuaca. Kondisi itu berubah drastis sejak 1970-an, di mana dunia internasional sudah mulai merasakan munculnya berbagai anomali siklus alam akibat kerusakan hutan dan lingkungan. Anomali ini makin terasa di era 1980-an, ketika suhu bumi terasa makin panas dan ritual iklim berubah. Dengan melihat kondisi itulah, pendekatan NET dalam transaksi ekonomi SDA mulai menjadi perhatian pakar-pakar ekonomi dan lingkungan (Santoso, 2012).

Dari perspektif inilah kita seharusnya melihat fenomena banjir bandang di Luwu, Sulsel. Kerugian akibat deforestasi di pegunungan Latimojang, berdasarkan konsep NET, sangat sangat besar — jauh lebih besar ketimbang nilai finansialnya. Kerugian itu tidak hanya muncul akibat banjir dan longsor (yang merusak rumah dan fasilitas publik); tapi juga kerusakan atmosfir bumi, kenaikan suhu udara, hilangnya keanekaragaman jenis hayati (biodiversitas), dan berkurangnya oksigen di bumi.

Semua itu merupakan mata rantai kehidupan manusia dan makhluk lain di muka planet bumi. Jika hal itu dibiarkan, manusia dan keturunannya di masa depan akan punah. Sebuah kerugian yang amat besar, menyeluruh, dan akan memusnahkan semua spesies di Planet Biru ini. Karena itu solusi satu-satunya: selamatkan Latimojang dari deforestasi dan alih fungsi lahan. Kembalikan Latimojang menjadi kawasan lindung dan konservasi.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA