by

Aku, 61 Tahun Sudah (1)

Memoar Anak Kampung

KOPI, Bekasi – Jam dua belas tadi malam, tiba tiba istri dan empat anakku ramai ramai membuat kejutan. Mereka membawa Kue Ultah ke-61. Luar biasa, karena aku sendiri lupa. Terimakasih sayangku semua.

Di usiaku yang ke-61, rasanya aku belum berbuat banyak untuk kemanusiaan. Dalam hati aku bertanya, Hai Kang Udin (panggilan akrab adik-adikku yg kini masih 9 orang), apa yang telah kau perbuat untuk manusia dan lingkungan hidupnya di rentang umur sepanjang itu?

Aku hanya diam, teringat gadis kecil tetanggaku yang jantungnya bocor, dulu, tahun 1980-an. Saat itu aku masih mahasiswa di Yogya. Aku buatkan surat untuk Yayasan Jantung Jakarta dan minta agar gadis kecil itu dioperasi karena ia dari keluarga miskin. Ternyata, sampai ia meninggal tak ada berita dari Yayasan tersebut. Konon, dalam sakaratul maut gadis kecil itu — kata ibunya — ia memanggil-manggil namaku. Kapan jantungnya dioperasi? Ia ingin hidup. Semangat hidupnya tinggi.

Setelah beberapa bulan ia meninggal, aku dapat kabar, bahwa ada surat dari Jakarta untukku, tapi tertumpuk di kotak desa. Saat itu aku tak ada di rumah Tegalgubug, tapi di Yogya. Setelah dibuka beberapa hari kemudian, ternyata surat dari Yayasan Jantung Jakarta yng bersedia untuk mengoperasi jantung si gadis kecil itu. Sayang, surat terlambat dibuka. Sang gadis keburu meninggal. Duh Gusti, ampuni aku yang tak mampu menyelamatkan nyawa hambaMU terkasih itu.

Aku kini 61 tahun. Jika saja ia hidup, mungkin usianya sama dengan istriku, 49 tahun. Ia bisa menjadi adikku. Saudara dari keluarga besar Bani Sukarto (nama ayahku orang Kaluwulu, Plered, Cirebon) yg berputra 11 dan kini jumlahnya (anak cucu menantu) sekitar 40 orang. Di WAGroup Bani Sukarto, aku adalah yang tertua.

Tadi pagi kami ngobrol dgn adik-adikku via zoom, curhat tentang adik bungsu kami yang membuat semua kakak-kakaknya menangis. Ya, ampun dari seluruh keluarga yang baik-baik, ternyata produk gagalnya ada di bungsu — kata Evi, sang juragan makanan instan.

Adik bungsuku seorang lawyer di Cirebon. Uda punya istri seorang notaris dan satu putra berusia lima tahun. Tapi kelakuannya membuat kakak kakaknya menangis. Ah, wong Cerbon, apalagi sih godaan terberat selain janda ganjen? Itulah yg membuat adik adikku menangis. Sedih kalau ingat istri dan anaknya. Adikku tak peduli, tujuh kakaknya semua perempuan yang pasti membela sesamanya. Itu sebabnya aku tak berani main api. Kalau adik adikku yang perempuan tahu, aku bakal dilabrak habis. Ngeri! Mereka galaknya luar biasa. Ampun deh. Marahnya kompak kalau lihat saudara laki-lakinya main api.

Aku kadang senyum sendiri melihat perkembangan adik-adikku yang keleleran waktu kecil. Tidur di mana saja karena tak ada kamar untuk anak-anak di rumah. Keluargaku sampai mama dan mimi wafat tak punya rumah. Tinggalnya di rumah keluarga besar nenek dan buyut. Di rumah, waktu aku kecil, di samping ada keluarga mama dan mimi yang anaknya 11, juga ada kakek nenek serta seorang buyut yang sudah tua sekali. Buyut ini ibu dari nenekku yang anaknya hanya satu: ibuku. Ya ibuku anak tunggal. Putih, tinggi, dan cantik. Kembang desa. Itulah sebabnya ibuku dapat suami guru SD, lulusan SMAN Cirebon, dari Kaliwulu. Mamaku eh ayahku orang kota. Kaliwulu waktu itu terbilang kota karena dekat jalan besar Cirebon-Bandung. Ibuku eh mimi orang desa klutuk. Tegalgubug saat itu jauh dari mana mana. Kampung njripung. Adanya cuma pesantren yang santrinya kotor dan cangkrangen (penyakit kulit seperti koreng khas santri kampung karena tidur di kamar kotor dan mandi di sungai). Karena cantik, ibuku dapat pemuda ganteng lulusan SMA dari Kaliwulu, Plered. Orang kampungku ngeper, tak berani mendekati ibuku yang cantik itu (diem ya…cantiknya ibuku nurun semua ke aku lo…makanya kata orang aku paling ganteng di keluarga Bani Sukarto…ngalem dewek Jeh😄😄😄).

Aku sendiri tidurnya di bilik pondok pesantren, kadang di emperan tajug, yg letaknya hanya beberapa langkah dari rumah. Aku mandi di balong pondok yang airnya hijau. Kadang di sungai Ciwaringin sambil menyibak benda warna kuning yang terbawa arus sungai.

Ayahku guru SD dan ibuku buta huruf, memenej gaji seuprit utk 11 anak. Luar biasa. Aku anak pertama dan bisa kuliah di UGM, sesuai imajinasiku setelah membaca novel Cintaku di Kampus Biru (CBK) yng dibawa Mama (panggilan ayah di Plered) entah dari mana. Novel itu sangat membekas di otakku sehingga aku bertekad untuk bisa kuliah di UGM apa pun resikonya. Aku ingin seperti Anton, tokoh novel CKB yang ganteng, pinter, dan disuka gadis-gadis. Nanti aku ceritain bagaimana aku sekolah di SD, madrasah, SMP, SMA yg lucu lucu.

Di tajug aku sering ngobrol dengan teman teman santri, ingin kuliah di Yogya dan pergi ke Amerika. Aku dicemooh, dasar Udin pelad suka mimpi, kata teman teman. Aku dijuluki Pelad karena cedal. Tak bisa menyebut huruf R …seperti orang Cina.

Aku ingat sahabat kecilku waktu SD. Namanya Muhaimin. Dia kalau ke sekolah bawa tas bertuliskan Thai Airways. Aku dan teman-teman suka mengolok-olok tasnya. Kamu itu tai. Muhemin tai! Muhaimin menangis karena kesal dibilang tasnya tai. Saat itu, kami tidak tahu apa itu Thai Airways. Thai ya tai. (bersambung)

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA