Oleh: Dr. KH. Amidhan, Ketua MUI 1995-015/Komnas HAM (2002-07)
KOPI, Jakarta – Kerusuhan rasisme di Amerika sejak tewasnya George Floyd 25 Mei 2020 lalu (akibat lehernya ditekan dengkul polisi kulit putih), masih terus berlangsung sampai hari ini. Hampir seluruh kota besar di Amerika dilanda kerusuhan imbas dari kematian Floyd.
Kasus Floyd benar-benar menyadarkan publik dunia bahwa rasisme memang ada dan nyata. Bahkan di negeri yang konon kampiun demokrasi dunia.
Meski pernah punya punya presiden kulit hitam, Barack Obama (2009-2017), rasisme tetap bercokol di AS. Aktivis anti-rasisme Michelle Alexander menyatakan, rasisme di Amerika sulit dihilangkan. Rasisme sepertinya sudah menjadi bagian hidup masyarakat Amerika. Karena itu butuh usaha keras dan kesadaran tinggi untuk melenyapkan sikap rasisme di negeri Uncle Sam. Itu pun jika terjadi sesuatu yang mendesak, karakter rasisme orang Amerika mudah sekali muncul. Kenapa hal itu terjadi?
Jawabnya: struktur dasar masyarakat kapitalisme Amerika memang “membutuhkan” rasisme. Ini terjadi karena semangat kapitalisme di Amerika dulunya bersifat eksploitatif — untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecinya.
Karena rasisme merupakan basis struktur kapitalisme, maka ia sulit dihapuskan. Jika pun ada UU penghapusan rasisme, pelaksanaannya di lapangan menemui kendala. Sampai tokoh sekaliber Obama sekali pun tak mampu melenyapkan rasisme di negaranya.
Sejarah memperlihatkan ekonomi kapitalisme Amerika dibangun oleh buruh-buruh ladang gandum dan peternakan di Selatan. Di Utara, kapitalisme ditopang buruh-buruh murah industri, bahkan lebih parah ketimbang kuli pertanian dan peternakan di Selatan. Saat itu, Washington butuh buruh murah untuk membangun Amerika yang kapitalistik. Solusinya adalah menciptakan struktur kelas berbasis warna kulit dan etnis.
Sebagai negeri yang penduduknya melting pot of races and ethnics; lalu dibangun atas dasar kapitalisme — maka struktur kelas berbasis warna kulit dan etnis untuk mendapatkan buruh murah, sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan publik AS. Undang-undang perburuhan dan undang-undang anti-rasisme di Amerika tampaknya tidak cukup kuat untuk menggusur ide supremasi kulit putih Anglo Saxon Protestan asal Inggris atas warna kulit hitam dan etnis lain.
Betul, rasisme telah digusur melalui UU non-diskriminatif di AS yang idel. Tapi arketip rasisme yang ada di otak warga kulit putih Amerika yang merasa unggul dari kulit hitam sulit terhapus. Ini sudah bersifat kultural. Itulah sebabnya banyak orang yang pesimis, rasisme akan hilang di AS pasca kerusuhan kasus Floyd. Karena sebelum kasus Floyd pun kerusuhan rasisme di AS sudah sering kali terjadi. Dan hasilnya seperti orang sakit kanker diberi obat puyer.
Sebetulnya, kalau kita jujur, rasisme masih bercokol kuat di dunia. Di AS, misalnya, rasisme itu tak hanya berbasis warna kulit. Tapi juga etnis dan agamis.
Orang kulit putih berdarah Amerika Latin (Hispanik), misalnya, diperlakukan buruk dalam sistem pengupahan. Upah mereka di industri hampir separuh dibandingkan buruh kulit putih Anglo Saxon. Demikian juga orang nonkristen, terutama Islam, mendapatkan perlakuan diskriminatif di AS. Gallup, lembaga polling terkenal di AS, mencatat: Dari 10 orang kulit putih Amerika, 8 di antaranya, tidak menyukai Islam. Kondisi ini pun berdampak pada perilaku dunia bisnis Amerika yang mempekerjakan orang Islam.
Saat ini, fenomena rasisme, justru menguat di berbagai belahan dunia. Di Israel, misalnya, orang non-Yahudi — khususnya Arab Palestina yang menjadi penduduk resmi negeri itu diperlakukan diskriminatif. Padahal mereka lahir dan besar di Israel. Tragisnya, diskriminasi itu mendapat dukungan partai berkuasa di parlemen, Likud.
Di India, negeri demokrasi terbesar di dunia, diskriminasi — terutama terhadap penduduk beragama Islam — kini mendapat dukungan politik partai berkuasa Bharatiya Janata (BJP). Kerusuhan akibat undang-undang diskrimantif terhadap imigran Muslim akhir tahun 2019, justru dipicu keputusan politik PM Narendra Modi. Kini India sedang menuju kebangkrutan demokrasi akibat berkuasanya BJP, partai berbasis agama (Hindu).
Benih-benih perusakan demokrasi yang memicu tumbuhnya rasisme akibat berkuasanya partai-partai anarkis dan radikal kini bermunculan di berbagai kawasan. Di Jerman, misalnya, partai AFD yg dituduh NeoNazi, dalam Pemilu 2017, mendapat suara 13,5 persen. Peningkatannya luar biasa dibanding pemilu-pemilu sebelumnya. Di Israel, partai Yahudi radikal, Likud, terus berkuasa dan makin kuat di parlemen (knesset). Di Belanda partai PVV pimpinan Geert Wilders yang mengusung sentimen anti-imigran muslim, makin populer dan disukai generasi muda.
Di Indonesia pun bukan tidak mungkin ‘fenomena India’ akan muncul. Partai berbasis ideologi tertentu — entah agama atau nasionalisme sumbu pendek — jika dieksploitasi elit-elit partai politik tertentu yang haus kekuasaan, bisa berubah menjadi sumber rasisme.
Partai politik pada tahap tertentu bisa berubah menjadi institusi oligarkis yang amat berbahaya. Indonesia misalnya — meski tidak separah India di era kekuasaan BJP saat ini — pernah punya pengalaman ditekuk partai politik yang oligarkis di zaman orde baru. Atmosfir demokrasi pun memanas sampai akhirnya rakyat mendobrak oligarki politik tersebut. Kerusuhan dalam proses pergantian rezim (orde baru) menuju rezim reformasi tak terhindarkan.
Pertanyaan berikutnya, apakah rejim refornasi mampu memelihara demokasi yang berbasis keadilan, kemanusiaan, dan kesetaraan? Ini tantangan serius generasi muda mendatang. Jangan sampai demokrasi yang didirikan para founding fathers Indonesia dipelintir hanya sekadar untuk memperkuat kekuasaan parpol yang suaranya mayoritas di parlemen. Bila hal terakhir terjadi niscaya kerusuhan rasial akan muncul kembali.
Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org
Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini
Comment