by

Kejatuhan Orde Baru dan Huru-hara di Sekitarnya

Oleh: Anick HT

KOPI, Jakarta – Sahabat, peristiwa 1998 adalah titik awal terpenting dalam bangunan tata kelola negara Indonesia yang demokratis. Jatuhnya rezim otoriter Suharto mengawali masuknya Indonesia ke dalam masa transisi menuju demokrasi.

Ini adalah sejarah besar. Dalam kurun 1997-1998, telah terjadi 1.702 peristiwa protes, unjuk rasa, atau demonstrasi yang berbeda-beda, dan melibatkan puluhan juta orang. Lalu Senin, 18 Mei 1998, ribuan mahasiswa berhasil menguasai dan menduduki gedung DPR.

Tak ada orang yang percaya sebelumnya bahwa tiga hari kemudian, Suharto, penguasa otoriter lebih dari 30 tahun, mengundurkan diri dari kursi presiden.

Perubahan rezim karena aktor non-elite masih jarang sekali dilihat oleh para peneliti transisi demokrasi. Selama lebih dari tiga dekade, para teoritisi transisi menuju demokrasi telah mengeksplorasi berbagai hal variabel untuk menjelaskan perubahan rezim.

Ahli teori politik di Indonesia tahun 1950-an dan 1960-an memiliki kecenderungan untuk lebih menggunakan variabel makro-struktural seperti pembangunan ekonomi dan budaya politik. Sejak 1970-an, teori dominan telah bergeser dan lebih melihat peran agensi manusia, peran elite, atau keahlian kepemimpinan.

Namun, kasus Indonesia 1997-1998 adalah kasus yang dilihat dengan pendekatan lain. Peran aktor non-elite sangat signifikan dalam perubahan itu. Demonstrasi dan pengerahan massa, terutama mahasiswa, menjadi faktor penting runtuhnya rezim Suharto.

Dalam kerangka itu, buku Denny JA ini secara khusus membedah aktor non elite ini; seberapa besar demonstrasi yang terjadi, seberapa kuat faktor krisis ekonomi sebagai trigger yang memicu protes panjang dan kerusuhan di banyak tempat itu, dan seberapa kuat aktor-aktor elite memengaruhi konstalasi politik saat itu.

Buku yang berbasis disertasi doktoral Denny JA di Ohio State University, Columbus, AS ini adalah catatan sejarah yang penting dan cukup detail mengenai apa yang terjadi pada masa-masa runtuhnya Orde Baru itu.

Lima Gagasan Utama

  1. PROTES DAN DEMONSTRASI MENJELANG DAN PASCA KERUNTUHAN SUHARTO
  2. EKONOMI SEBAGAI TRIGGER
  3. PARA AKTOR DAN AGEN PERUBAHAN REZIM
  4. KERUSUHAN DAN ELEMEN KEKERASAN
  5. PELAJARAN BERHARGA DARI PERUBAHAN REZIM INDONESIA
  6. REFLEKSI

SATU

Demonstrasi yang akhirnya menjatuhkan Suharto pada 1998, dan kemudian berlanjut saat BJ Habibie menggantikannya menjadi presiden adalah demonstrasi yang luar biasa besar.

Riset ini menghitung jumlah demonstrasi di 27 provinsi sejak September 1997 hingga Agustus 1998 (1 tahun). Selama kurun itu, terjadi 1.702 kali demonstrasi dan melibatkan 10,7 juta peserta.

Jika dirata-rata, setiap hari ada 5 kali demonstrasi yang melibatkan 30.000 orang dalam sekali demonstrasi. Puncak protes terjadi di bulan Mei 1998, yang mencatat 15 kali demonstrasi per hari dengan rata-rata 150.000 peserta per hari.

Meski demikian, jika dilihat lebih jauh memang mayoritas demonstrasi terjadi di 5 provinsi di Jawa, di mana 86% peristiwa demonstrasi diselenggarakan.

Sementara, isu yang diangkat dalam demonstrasi, utamanya adalah tuntutan reformasi politik, termasuk demokratisasi dan hak asasi manusia.

Tiga isu lainnya yang muncul adalah: masalah ekonomi terkait krisis moneter. Termasuk di dalamnya adalah kesejahteraan buruh, tuntutan penurunan harga bahan pokok, dan ancaman PHK karena krisis moneter.

Isu berikutnya adalah terkait kebencian dan konflik SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan/kelas). Isu yang tidak masuk kategori tiga isu di atas, dalam riset ini digolongkan ke dalam isu lainnya.

Di dalamnya termasuk isu lingkungan, lokalisasi, atau masalah yang tidak dilaporkan secara jelas oleh media.

Bagian ini juga memetakan yang disebut sebagai aktor non-elite yang terlibat dalam demonstrasi-demonstrasi yang ada, lalu pengaruh dan dampak dari demonstrasi tersebut terhadap perubahan konstalasi elite politik, serta capaian-capaian dari serangkaian demonstrasi itu.

Di akhir bab ini juga dipaparkan kerangka teori untuk membaca gerakan protes yang terjadi, apa yang membuat masyarakat biasa tiba-tiba tergalang dan bersatu hingga meruntuhkan rezim yang sangat berkuasa saat itu, dan bagaimana menjelaskan peran kelompok kelas menengah yang mampu mengorganisasikan gerakan yang sedemikian besar.

DUA

Banyak faktor yang memengaruhi runtuhnya Suharto. Salah satunya adalah faktor krisis ekonomi yang menjadi trigger penting munculnya ketidakpuasan publik. Meski ujung dari serial demonstrasi adalah isu pembaruan politik, namun krisis ekonomi ini juga menjadi pemicu penting.

Ada beberapa alasan yang dijelaskan dalam bagian ini. Pertama, krisis ekonomi Indonesia yang luas dan mendalam menciptakan peluang bagi demonstrasi itu untuk muncul dan tumbuh dengan cepat.

Hanya dalam konteks krisis nasional yang dapat membuat orang yang tidak berdaya mengubah diri mereka sendiri, hampir bersamaan di seluruh wilayah, melawan penindasan negara dan ketakutan pribadi, menjadi mesin yang kuat.

Alasan kedua, sebagian besar peristiwa politik terjadi sebagai respons terhadap krisis ekonomi. Setelah berbulan-bulan protes, fokus beralih dari masalah perubahan ekonomi ke masalah reformasi politik karena pengunjuk rasa percaya bahwa solusi untuk krisis ekonomi terletak pada reformasi politik.

Krisis ekonomi di Indonesia jauh lebih buruk daripada krisis di Thailand dan Korea Selatan. Tragisnya, para ahli ekonomi domestik atau lembaga dan dewan internasional tidak dapat memprediksi krisis. Ironisnya, lembaga keuangan terbesar seperti IMF dan Bank Dunia telah menilai secara positif kinerja ekonomi Indonesia, baik melalui pernyataan publik atau komentar tertutup hingga paruh pertama tahun 1997.

Buku ini menyajikan data tentang kedalaman krisis ekonomi di Indonesia dan komentar umum mengapa hal itu terjadi, juga menjelaskan dampak politik dari krisis ekonomi pada berbagai segmen masyarakat. Lalu ditelusuri pula hubungan antara krisis ekonomi dengan bangkit dan meluasnya demonstrasi.

Namun, meski krisis ekonomi ini memicu munculnya demonstrasi, krisis ekonomi saja tidak mampu menjelaskan tingkat mobilisasi tersebut. Logika teori deprivasi adalah bahwa semakin buruk krisis ekonomi, semakin tinggi tingkat mobilisasi peristiwa demonstrasi.

Ini tidak terjadi di Indonesia. Beberapa provinsi yang mengalami krisis ekonomi terburuk memiliki tingkat mobilisasi demonstrasi terendah. Provinsi lain memiliki tingkat krisis ekonomi yang sama, lebih atau kurang, tetapi berbeda secara signifikan dalam tingkat mobilisasi peristiwa demonstrasi.

Ini menunjukkan pentingnya melihat variabel-variabel lain di luar krisis ekonomi.

TIGA

Peristiwa protes dan demonstrasi tidak hanya akibat dari kondisi tertentu, tetapi juga hasil dari tindakan berbagai aktor atau agen. Peran agensi penting tidak hanya dalam memobilisasi sumber daya, tetapi juga dalam mencerahkan kesadaran orang terhadap realitas.

Dalam hal ini, yang disebut agen-agen gerakan tidak selalu merupakan individu yang berani atau sekelompok pemimpin. Organisasi juga memainkan peran penting dalam memobilisasi gerakan protes atau demonstrasi.

Di antara agen-agen tersebut kemudian ada yang disebut sebagai pengusaha politik (political entrepreneur).

Bagian ini menjelaskan peran berbagai agen dalam memobilisasi acara protes dan demonstrasi di Indonesia, terutama di 5 ibu kota provinsi: Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Semarang. Bagian pertama merinci apa yang dilakukan berbagai agen tersebut dan siapa mereka.

Bagian kedua bab ini menggambarkan apa yang disebut sebagai pengusaha politik: siapa mereka dan apa yang mereka lakukan.
Untuk melihat peta agen-agen tersebut, buku ini membagi serial demonstrasi ini menjadi tiga tahap kronologis.

Tahap pertama adalah September 1997-Februari 1998. Tahap kedua adalah Maret-Mei 1998. Lalu tahap ketiga adalah Juni-Agustus 1998.

Yang menarik adalah bagian ini menyajikan data yang merinci setiap agen yang terlibat dalam demonstrasi sejak awal, baik dari kalangan organisasi mahasiswa, maupun organisasi di luar mahasiswa yang kemudian bergabung dan memperbesar eskalasi.

Agen-agen ini termasuk akademisi, ibu rumah tangga, pengusaha, seniman, profesional, pensiunan tentara militer, politisi tua, partai politik, serikat buruh, dan individu-individu.

Dan tentu saja, di akhir secara khusus dijelaskan tentang pengusaha politik dan peran mereka terhadap perubahan politik di tingkat elite, maupun pengaruhnya terhadap eskalasi demonstrasi di lapangan.

EMPAT

Bagian ini menjelaskan isu yang tak kalah penting sebagai bagian dari akibat krisis ekonomi yang akut. Di tengah masyarakat yang sangat beragam, krisis ekonomi juga memicu pertentangan yang menambah kompleksitas masalah, yakni kebencian berlatar budaya, agama, dan etnisitas, yang diperparah oleh penggunaan kekerasan.

Di satu sisi, demonstrasi berkontribusi signifikan terhadap pembelahan elite yang berkuasa, jatuhnya otoritarianisme, dan transisi menuju demokrasi. Namun di sisi lain, keriuhan demonstrasi ini juga secara substansial berkontribusi terhadap munculnya kebencian budaya, etnis, dan agama.

Kerusuhan berdarah dan konflik berdarah didasarkan pada kebencian dan sentimen agama, seperti antara muslim-Kristen, atau kebencian antar etnis, atau antara imigran versus penduduk asli di kota-kota tertentu.

Dan ini menyebar dari barat ke Indonesia timur. Kejadian-kejadian kekerasan ini mengancam pelembagaan demokrasi, karena mereka membahayakan pluralisme dan negosiasi damai.

Bagian ini menjelaskan tiga hal. Pertama, gambaran umum tentang masyarakat Indonesia yang terpecah, dan bagaimana masyarakat berbeda dalam hal latar belakang budaya. Kedua, menjelaskan tiga kasus spesifik dalam konflik sipil; konflik antara kelompok sosial dalam suatu masyarakat.

Kasus-kasus ini adalah konflik etnis antara Tionghoa-Indonesia versus Indonesia asli, konflik agama antara Muslim versus Kristen, baik Protestan atau Katolik atau keduanya, dan konflik antara kelompok imigran versus kelompok masyarakat adat. Bagian ketiga berkaitan dengan konflik yang digambarkan dengan transisi menuju demokrasi di Indonesia.

Ironisnya, masalah reformasi politik yang menjadi tuntutan utama gerakan demonstrasi, sebagian besar, adalah fokus pada protes damai dan bisa dikategorikan sebagai konflik vertikal. Sementara, masalah kebencian agama dan etnis mengambil bentuk tindakan kekerasan, kerusuhan, dan “perang sipil” berdarah. Ini lebih berbentuk konflik horisontal.

Konflik vertikal biasanya positif untuk demokrasi, tetapi konflik horizontal negatif untuk demokrasi.

Dalam kondisi Indonesia saat ini, peristiwa protes dan demonstrasi massa adalah sumber daya politik yang kuat. Setiap kelompok dapat memobilisasi sumber daya politik ini.

Para pendukung demokrasi akan menggunakannya untuk meng-install demokrasi. Orang-orang fanatik dan penentang demokrasi liberal akan menggunakannya untuk menghancurkan nilai-nilai demokrasi.

LIMA

Pada bagian ini, setelah menganalisis berbagai protes, demonstrasi, dan konflik yang terjadi di seputar kerntuhan rezim Suharto dan transisi menuju demokrasi, buku ini menyimpulkan beberapa hal yang bisa dijadikan pelajaran penting, terutama untuk melihat pola transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi.

Kasus Indonesia, bagi Denny JA, secara khusus berkontribusi secara teoretis bahwa proses transisi tidak selamanya dipengaruhi oleh aktor elite semata.

Perubahan Indonesia menuju pemerintahan demokratis membantah teori transisi konvensional yang didukung oleh Guillermo O’Donnell dan para pendukungnya.

Menurut O’Donnell dan Philippe Schmitter (1986), transisi semacam ini biasanya dimulai dengan pergulatan politik oleh kelompok garis keras dan garis lunak di dalam partai-partai petahana dan oposisi yang berusaha menjatuhkan penguasa otoriter. Menurut klaim ini, dorongan menuju demokrasi dimulai dengan politik elite.

Pelajaran berikutnya, kasus transisi Indonesia tidak bisa dilihat dengan teori yang tunggal seperti teori perampasan, teori mobilisasi sumber daya, dan teori struktur peluang politik. Namun, kombinasi ketiga teori tersebut dapat diterapkan pada situasi Indonesia yang kompleks.

Kasus Indonesia meniscayakan penjelasan yang lebih komprehensif.
Pelajaran penting lainnya adalah, bahwa dalam kasus transisi Indonesia, ada dua aspek yang saling bertentangan, sebagai akibat dari beragamnya basis masyarakat Indonesia.

Proses ini memicu gerakan politik damai yang menjadi investasi demokrasi, namun di sisi lain juga memicu konflik horisontal yang berdarah-darah. Konflik ini menjadi batu sandungan bagi pembentukan kepercayaan sosial dan demokrasi damai.

REFLEKSI

Transisi Indonesia menuju demokrasi mencatatkan sejarah penting bagi perkembangan demokrasi modern.
Dan saat ini, Indonesia adalah negara demokrasi dengan penduduk muslim terbesar di dunia.

Di antara 60 negara muslim, Democracy Index 2019 mencatat hanya 3 negara berada pada kualitas flawed democracy. Indonesia salah satunya. Meski bukan level demokrasi tertinggi, tapi untuk Dunia Muslim, flawed democracy adalah level tertinggi.

Meskipun di level ini ada Malaysia dan Tunisia, Indonesia lebih teruji karena terjadi perubahan kekuasaan berkali-kali melalui pemilu yang relatif damai. Tak pernah ada kasus pemenang pemilu ingin menghentikan pemilu berikutnya. Ini adalah capaian luar biasa dalam konteks demokrasi modern.

Di luar capaian itu, proses transisi dari pemerintahan otoriter menuju pemerintahan demokratis di Indonesia mencatatkan banyak peristiwa menarik yang di kemudian hari menjadi pelajaran penting bagi kita maupun bagi negara-negara lain.

Proses reformasi yang telah berlangsung 22 tahun ini juga tak lepas dari titik pijak sejarah, di mana kita memulainya.

Buku ini memberi gambaran detail penting yang mengingatkan kepada kita bahwa proses yang kita lalui sangat kompleks, dan seringkali tujuan digulirkannya gerakan reformasi tahun 1998 itu harus kita putar ulang dalam memori kita. Capaian demokrasi kita, meski sudah pada posisi yang signifikan, masih meninggalkan pekerjaan rumah yang tak sedikit.*

Judul: Democratization from Below
Tahun: October, 2015
Tebal: 382 halaman
Penulis: Denny JA
Penerbit: Jakarta, Inspirasi.co
 
-000-

Buku/disertasi itu bisa dibaca, diunduh dan dicetak bebas melalui link:

https://www.facebook.com/groups/970024043185698/permalink/1401896223331809/

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA