by

Islam dan Asketisme Arief

-Profil-1,942 views

Oleh: Dr. Reni Marlinawati, Pengamat Pendidikan, Penulis buku Menguak Pendidikan yang Terkepung

KOPI, Jakarta – Pada Arief “Soe Hok Djin” Budiman mengalir darah Tionghoa asli. Karena ibu bapaknya, Nio Hoei An dan Soe Lie Piet, asli Tionghoa. Ini beda dengan kedua anak Arief, Adrian dan Santi. Darah mereka sudah bercampur dengan Indonesia. Maklumlah, istri Soe Hok Djin, Leila Chairani, wanita asli Minang. Karena budaya Islam Minang sangat kuat — tercermin dari fiasafah hidup orang Minang: adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah — Arief pun harus masuk Islam jika menikahi Leila. Tanpa itu, ninik mamak Leila niscaya menolak kehadiran Arief.

Yang menarik, keluarga Soe menerima Leila dengan senang hati. Bapak ibunya tak pernah campur tangan urusan cinta anak-anaknya. Bahkan kemudian Leila jadi kebanggaan keluarga Soe. Karena Lelia berpendidikan tinggi dan berasal dari keluarga terhormat di Minang. Di samping itu, Leila adalah wanita mandiri dan siap mendampingi Arief dalam kondisi apa pun. Kelak terbukti di saat ekonomi kritis, Leila yang mengatasinya dengan menjadi redaktur rubrik psikologi di koran Kompas Minggu.

Arief adalah orang yang lebih menentingkan ilmu ketimbang harta. Ia rajin membaca dan menuntut ilmu sampai mencapai gelar tertinggi di dunia akadamis: doktor. Doktornya dari salah satu universitas terbaik di dunia, Harvard University, Amerika. Universitas di mana Zuckerberg, pendiri Facebook dan istrinya Priscilla Chan menempuh pendidikannya.

Arief Budiman (Alm)

Meski Arief dan ibu bapaknya berdarah Tionghoa asli, jangan tanya nasionalismenya. Ayahnya Arief — terkenal sebagai penulis novel dengan nama pena Salam Sutrawan — sangat nasionalis. Begitu juga istri dan keluarga besar Soe — adalah orang-orang yang sangat mencintai Indonesia. Cinta Indonesia keluarga Soe bisa dilacak dari novel-novel Soe Lie Pet; Soe Hok Gie Catatan Seorang Demonstran; dan buku serta tulisan Arief yang bertebaran di mana-mana.

Namun demikian, salah satu aktivitas Arief yang sangat fenomenal adalah perlawanannya pada LEKRA — Lembaga Kebudayaan Rakyak milik PKI tahun 1963. Arief adalah salah satu konseptor MANIKEBU — Manifesto Kebudayaan, lembaga seni nasionalis tandingan LEKRA yang komunis. Dalam kegiatannya LEKRA di mana-mana menghina Tuhan dan Islam. Sedangkan MANIKEBU sebaliknya. Bagi MANIKEBU, Indonesia adalah negeri ber-Ketuhanan dimana Pancasila adalah landasan dasarnya. Sedangkan bagi muslim, mengutip istilah almarhum KH Maimoen Zubair — Islam dan Pancasila tidak bisa dipisahkan. Seperti dalam satu tarikan nafas manusia. Itulah salah satu sumbangsih Arif terhadap Indonesia dan Islam.

Arief tak hanya cinta mati kepada Leila. Tapi juga cinta mati kepada Indonesia. Bayangkan, usai meraih gelar doktor sosiologi dari universitas paling prestisius di dunia, Harvard University, tahun 1980, Arief pulang kampung dan sempat menganggur di Jakarta. Padahal kalau mau, Arief bisa bekerja sebagai dosen atau konsultan di luar negeri dengan gaji besar. Harvard University adalah jaminan kualitas intelektual Arief. Mungkin tak akan ada universitas besar di dunia yang menolak Arief untuk menjadi tenaga pengajarnya.

Faktanya? Semua universitas negeri dan swasta besar di Jakarta menolak lamaran kerja Arief. Mereka takut “ditekan” rejim Orde Baru. Ini karena Arief tidak berhenti mengritik kelakuan rejim Soeharto yang, menurutnya, otoriter dan korup. Akibatnya Arief pun jadi musuh Orde Baru. Jika sudah demikian, universitas negeri mana di Jakarta yang mau menerima Arief dengan konsekwensi institusinya dianggap mbalelo? Ingat di periode awal akhir 1970 dan awal 1980-an, Soeharto — pinjam Gus Dur — lebih berkuasa dari Tuhan.

Maka “terdamparlah” Arief di universitas ndeso, UKSW. Universitas Katholik Satya Wacana, Salatiga. Untuk beberapa saat Arief aman di kota kecil selatan Semarang itu. Tapi rupanya, rejim belum puas bila demonstran anti-Orde Baru itu hidup tenang. Dengan kebijakan titipan Jakarta, Arief pun ditendang dari UKSW. Kali lain, nasib baik berpihak pada Arief. Sosiolog Harvard itu diterima untuk nengajar di perguruan tinggi bergengsi, Melbourne University, Australia.

Diperlakukan seperti kriminal, pernahkah Arief membenci Indonesia? Never. And Never. Pun terhadap Soeharto secara pribadi. Arief tidak membenci “Anak Petani” dari Dusun Kemusuk, Bantul itu.

Yang Arief benci bukan pribadi. Tapi sistem. Sistem yang membuat Soeharto bersikap demikian. Dan sistem itu kapitalisme. Bukan kapitalisme murni yang dijalankan Amerika, tapi — pinjam Kunio Yoshihara dalam buku The Rise of Ersatz Capitalism in South-East Asia — kapitalisme semu. Atau ersatz capitalism. Di kapitalisme semu ini, lembaga pemerintah, termasuk militer ikut berbisnis. Bahkan anak-anak Soeharto pun ikut berbisnis.

Fenomena ini terjadi di negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Dampaknya, korupsi menyebar ke seluruh institusi negara. Bahkan bisnis keluarga. Mereka sukses berbisnis karena diberi peluang “mencuri” uang negara.

Dalam kondisi seperti itulah Arief melakukan “uzlah” — mengucilkan diri. Ia tak mau ikut bergabung di pemerintahan. Bahkan ketika ditawari jabatan eksekutif oleh rejim, ia menolak. Arief tak mau makan uang haram rejim yang berlumur korupsi. Arief meniru Imam Abu Hanifah (699-767 M) ketika menolak jabatan hakim agung dari Khalifah Abu Ja’far Al-Mansur yang berkuasa dari tahun 709-813 M. Akibatnya Imam Hanafi — salah seorang pendiri empat mazhab besar dalam Islam itu — dihukum rejim korup Bani Abbasiyah tersebut.

Tentu saja, alasan Arief menolak bergabung dengan rejim korup berbeda dari Imam Hanafi. Imam menolaknya dengan alasan fikih. Karena ia seorang fukaha. Sedangkan Arief menolaknya dengan alasan sosiologis. Karena ia sosiolog. Tapi ujungnya sama: Menolak jabatan dari rejim korup yang berlumur uang haram.

Sikap seperti Abu Hanifah tersebut sulit dilakukan orang awam, kecuali yang sanggup menjalankan asketisme. Atau laku sufisme.
Arief dalam perjalanan hidupnya — meski mungkin tak menyadari — telah menjalankan praktif asketisme. Mendahulukan kebahagiaan spiritual ketimbang kebahagiaan material. Itulah laku asketisme Arief. Seperti akhlak kaum sufi.

RIP for Arief Budiman — sosiolog yang selalu membela kebenaran. Al-Fatihah. Semoga ruhmu di sorga.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA