by

Terjebak di Dalam Terowongan

Cerpen Esai oleh Alem Savero Reyhan

KOPI, Semarang – “Hati-hati ya, Nita. Semoga Tuhan melindungimu. Semoga lancar segalanya,” kata ibu ketika aku pamit melalui whatsapp untuk berangkat bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit Semarang.

Sejak berkutat dengan pasien corona, aku tidak lagi pulang ke rumah. Aku harus melakukan isolasi mandiri di sebuah hotel yang disediakan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah (1). Untunglah aku masih lajang. Namun, sesungguhnya berat juga menanggung rasa kangen terhadap ibu dan dua adikku.

Aku segera menuju garasi hotel. Memakai jaket dan helm. Mengenakan masker. Menghidupkan mesin motor. Menaikinya. Melambaikan tangan kepada satpam yang berdiri di pintu pagar. Motor pun meluncur ke jalan raya. Menembus keramaian lalu lintas pagi itu. Pagi yang cerah di bulan Ramadan. Sesekali kubunyikan klakson.

Kata-kata ibu ketika kupamiti agar aku hati-hati sesungguhnya adalah kata-kata rutin. Hampir setiap aku pamit untuk berangkat kerja kata-kata itu selalu kudengar. Namun, hari ini, entah kenapa, kata-kata itu terasa lain bagiku. Apalagi dini hari tadi, sehabis sahur, ibu menelepon dengan suara gemetar, mengkhawatirkan diriku karena tiap hari berjibaku dengan pasien corona.

Tiap ada berita tentang perawat meninggal karena terpapar virus corona ibu memang mencemaskanku.  Bahkan ibu ikut emosional ketika ada jenazah perawat kolegaku yang meninggal akibat virus corona ditolak jenazahnya oleh Ketua RT setempat (2).

“Itu RT apaan sih. Baru jadi Ketua RT saja sombongnya kayak begitu,” ujar ibu seraya menyebutkan ada pula seorang bidan yang mengusir sejumlah perawat dari tempat kosnya.

Setelah memarkir motor, aku bergegas ke Ruang Intensive Care Unit (ICU). Aku memang bertugas di sana setiap harinya. Merawat pasien corona yang membutuhkan alat bantu napas seperti ventilator.

“Ibu selalu berdoa untukmu, Nita. Corona virus yang berbahaya. Itu di Wuhan banyak sekali yang meninggal, termasuk para perawat,” terngiang kata-kata ibu.

“Jangan cemas, bu,” aku mencoba menenangkan perasaannya, meskipun aku sendiri sesungguhnya tidak sepenuhnya tenang.

“Penyakit ini kan new emerging. Aku sendiri sudah terbiasa merawat pasien. Aku sudah tahu prosedur seperti apa kalau menerima pasien seperti itu,” kataku lagi.

Pagi ini aku mengecek informasi dari perawat yang bertugas semalam. Beragam pasien corona terbaring di ruang ICU ini. Ada lelaki tua, perempuan tua, namun ada juga yang masih muda, usia produktif. Semalam ada pasien yang baru masuk rumah sakit, lelaki muda, masih tampak sehat. Tapi ada beberapa pasien yang kondisinya sangat drop. Mereka kadar oksigen dalam tubuhnya sangat rendah, sehingga dokter akan melakukan intubasi. Mereka menggunakan ventilator. Kami para perawat memang harus benar-benar memantau bagaimana kadar oksigennya, apakah mencukupi atau tidak? Kami berupaya keras mempertahankan kondisi pasien sebaik mungkin agar tidak memburuk.

Memang sedih ketika melihat ada pasien harus memakai ventilator atau alat bantu pernapasan. Karena kondisi pasien tersebut bisa tiba-tiba drop. Meskipun ketika awal masuk ke ruang ICU masih sadar dan bisa diajak bicara. Bukan tidak mungkin pasien mengalami kondisi terburuknya, yaitu gagal napas akut, sehingga harus dilakukan intubasi.

Berada di ruang isolasi khusus pasien corona bagiku sungguh menggetarkan. Bagaimana tidak? Di dalam ruangan tersebut hanya boleh ada satu pasien dan satu perawat. Begitu juga di ruang ICU. Ini berarti, andaikata aku positif terpapar virus corona, penularnya kemungkinan besar pasienku. Dan aku pun tidak boleh pindah-pindah ke ruangan pasien lain. Karena begitu masuk ke ruang isolasi aku harus stay terus di situ. Namun, kalau memang harus pindah ke pasien lain aku harus mengganti semua APD (alat pelindung diri) yang kupakai.

Penularan virus corona memang cepat sekali (3). Kami, para anggota tim medis, sebenarnya rentan sekaligus riskan untuk terpapar virus itu. Apalagi kalau kondisi kurang fit, bukan tidak mungkin ikut terkena. Karena itu, pimpinan rumah sakit meminta kepada kami, agar kalau sedang kurang sehat jangan memaksakan diri untuk bekerja merawat pasien corona. Apalagi sudah pernah ada beberapa perawat yang terjangkit corona karena memaksakan diri bekerja, padahal kondisi kesehatannya sedang tidak memungkinkan. Bahkan ada yang sempat masuk ruang ICU. Perawat pun bisa rentan terkena virus kalau imunnya menurun (4).

Aku ingat bagaimana persiapan penanganan pasien corona sesungguhnya telah dilakukan sejak awal tahun ini di rumah sakit tempatku bekerja. Awal penanganan pasien dimulai Maret 2020.  Kami melayani sesuai SOP yang telah ditetapkan dalam penanganan sejumlah pasien dalam pengawasan. Kami berharap agar nanti hasilnya negatif. Namun rupanya hasil uji laboratorium terhadap sejumlah pasien itu ada yang dinyatakan positif.

Ketika tahu ada satu pasien positif virus corona, banyak perawat menangis. Karena ini adalah kasus pertama yang kami tangani. Mereka down, rasa takut pun menghantui, karena banyak tenaga medis yang sudah meninggal karena terjangkit. Untunglah salah seorang perawat paling senior di antara kami memberikan semangat, agar tetap mengikuti prosedur penangan pasien. Sepanjang prosedur yang ada dilakukan, virus corona dari pasien bisa dihindari. Meskipun sesungguhnya ada saat paling rentan, yaitu ketika membuka APD. Prosedur membuka APD ini harus benar-benar sesuai SOP dan penuh kehati-hatian karena alat yang kita kenakan itu bersentuhan langsung dengan pasien.

Banyak orang menyebut kami pahlawan (5), namun aku sama sekali tidak merasa seperti itu. Sebagai perawat di rumah sakit menangani pasien positif virus corona memang sudah menjadi tugas kami. Tugas dan panggilan kemanusiaan.

Dalam dua bulan terakhir ini aku memang bekerja secara shift selama 6 jam. Begitu juga rekan-rekanku. Namun, meskipun kami adalah profesional, tetapi sebagai manusia bisa kelelahan juga. Di saat-saat demikian, kami saling menyemangati, agar tidak tertekan dan sedih.

“Kita harus saling memberi semangat ya. Kita harus saling menguatkan,” kata Sari, temanku sesame perawat.

“Ya, mbak. Semoga kita bisa melewati situasi penuh ketakpastian ini,” jawabku.

Di tengah tugasku aku suka mengambil foto. Aku memutuskan untuk mendokumentasikan situasi suram di dalam unit perawatan intensif. Betapapun hal ini merupakan sejarah, karena selama hidupku sampai saat ini baru sekarang wabah virus corona terjadi. Aku tidak pernah ingin melupakan peristiwa ini. Foto-fotoku akan menjadi kenangan, lebih kuat katimbang sekadar kata-kata. Dalam foto itu, ia ingin pula menunjukkan kekuatan rekan-rekan, sekaligus juga kerapuhan mereka

Suatu hari aku memotret salah seorang kolega yang mendadak mulai berteriak dan melompat-lompat di koridor. Dia telah diuji virus corona, dia baru saja tahu bahwa dia tidak terinfeksi. Padahal dia biasanya sangat tenang, tetapi ternyata dia takut juga. Oleh karena itu, dia tidak bisa menahan rasa lega dan gembira ketika ternyata tak terinfeksi. Apa yang dia lakukan tentunya sangat manusiawi. Perawat bukanlah malaikat.

Hari-hari ini adalah masa yang sangat sulit bagiku dan teman-teman. Namun, kami bersatu dan saling membantu. Kami saling bekerja sama dan gotong royong. Memang, kadang-kadang sebagian dari kami merasa “hancur”. Kami merasa putus asa. Kami menangis, karena merasa tidak berdaya ketika kondisi pasien kami tidak juga membaik.

Banyak orang tewas di Indonesia akibat pandemi yang sedang terjadi. Kami, para perawat, bersama para dokter, berjuang untuk menghadapinya. Selama enam tahun menjadi perawat, aku telah terbiasa melihat banyak orang mati. Tetapi apa yang kulihat sekarang, selama pandemi ini, sungguh menyayat hati. Aku menyaksikan begitu banyak orang mati sendirian, kesepian, dalam sunyi. Padahal biasanya, ketika ada pasien meninggal di unit perawatan intensif, mereka dikelilingi oleh keluarga, berdoa dan membaca ayat-ayat Alquran. Ada martabat dalam kematian mereka. 

Setiap ada pasien corona yang meninggal, hatiku hancur berkeping-keping. Rasa sedih dan duka itu terbawa sampai aku pulang ke kamar isolasi mandiri di hotel di akhir shift. Namun tidurku selalu gelisah. Aku terbangun beberapa kali di malam hari. Ternyata sebagian besar rekan kerjaku mengalami hal yang sama.

Satu-satunya hal yang membuatku terus bersemangat adalah adrenalin. Tetapi situasi ini mulai memakan banyak korban, dan aku merasa lebih lelah setiap hari.

Memang, aku tak terlalu memikirkan virus corona ketika sedang bekerja merawat pasien. Mungkin ini semacam mekanisme pertahanan diri yang kuciptakan untuk menyesuaikan diri dengan situasi.  Namun, ketika giliran kerja berakhir, mekanisme ini “berhenti” dan aku mulai berpikir tentang risiko yang harus kuhadapi setiap hari. Tentu saja aku sangat takut kemungkinan melihat diriku suatu hari sama seperti pasien-pasienku. Itu memang bisa saja terjadi.

Sepulang kerja, aku mencopot segala sesuatu yang berhubungan dengan rumah sakit, lalu ke kamar mandi dan membersihkan semuanya.  Aku tinggal sendirian, mengisolasi diri dari keluarga yang tinggal bersamaku untuk mengurangi risiko infeksi.

Hubungan dengan pasien pun jadi berbeda. Biasanya aku tinggal lebih lama dan berbincang dengan pasien untuk menjalin keakraban. Namun, sekarang tak bisa lagi. Pasien tak bisa mendengar karena suara oksigen keras sekali. Kami pun tak mau tinggal lebih lama kalau tidak terpaksa. Selain itu, rasanya gerah sekali terbungkus plastik seperti ini.

Yang paling menyedihkan adalah ketika seorang rekanku harus menjadi korban (6). Ia bahkan tidak memberitahu anaknya bahwa ia terinfeksi virus corona. Ia selalu bilang, “Mama harus bekerja keras untuk menyelamatkan orang sakit.”

Padahal yang sebetulnya terjadi temanku itu harus bertarung nyawa di rumah sakit dalam kondisi lemah karena demam dan napas yang berat. Hanya dalam hitungan pekan, posisinya berubah dari yang tadinya adalah petugas medis sebagai garda terdepan dalam memerangi wabah corona, menjadi pasien dalam kondisi kritis.

Ketika virus baru itu muncul di Semarang, temanku itu mulai bekerja lembur, merawat dan menangani pasien yang terus berdatangan. Ia, seperti halnya rekan-rekan perawat lain, sudah membekali diri dengan perlengkapan untuk perlindungan. Tapi ia akhirnya tertular. Virus itu masuk ke dalam paru-paru, menimbulkan demam, dan pneumonia.

“Astaghfirullah,” aku mendesah.

Aku merasa seakan terjebak di dalam sebuah terowongan kelam. Namun, aku belum melihat adanya kemungkinan muncul cahaya di ujung terowongan untuk saat ini. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Suasana Ramadan kali ini memang terasa lebih khusyuk bagiku. Aku hanya bisa berharap, agar semua ini segera berakhir.

Semarang, 8 Mei 2020

1. Sebanyak 46 tenaga medis dari RSUP dr Kariadi Semarang terinfeksi virus Korona dari pasien yang dirawat, dan saat ini sedang menjalani isolasi mandiri di Hotel Kesambi Hijau milik Pemprov Jawa Tengah. Sebagian dari tenaga medis yang positif COVID-19 itu, merupakan dokter spesialis di RSUP dr Kariadi. https://www.radioidola.com/2020/46-tenaga-medis-rsup-dr-kariadi-terpapar-covid-19-jalani-isolasi-mandiri-di-hotel-milik-pemprov-jateng/

2. Polisi telah menangkap tiga provokator penolakan pemakaman jenazah perawat di Ungaran, Jawa Tengah. Mereka ditangkap polisi pada Sabtu (11/4/2020) sekitar 12.30 WIB. Tiga pria yang ditetapkan tersangka tersebut diketahui merupakan tokoh masyarakat di Desa Sewakul, Ungaran Barat, Kabupaten Semarang yakni THP (31), BSS (54), dan S (60). https://www.teropongsenayan.com/111383-penolakan-pemakaman-jenazah-perawat-justru-didalangi-tokoh-masyarakat-setempat-polisi-tangkap-tiga-orang

3. Peneliti penyakit menular di The University of Texas menyatakan waktu antara kasus dalam rantai penularan virus corona Covid-19 cukup cepat, yakni kurang dari satu minggu. Peneliti juga menemukan bahwa lebih dari 10 persen pasien terinfeksi corona disebabkan oleh seseorang yang memiliki virus tetapi belum memiliki gejala. https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20200323123839-199-486016/ahli-rantai-penularan-covid-19-cepat-sulit-dihentikan

4. Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Kariadi Semarang, Jawa Tengah mencatat ada 57 tenaga medis yang terpapar virus corona atau Covid-19.  Direktur utama RSUP Kariadi, Agus Suryanto mengatakan ke-57 tenaga medis yang positif corona tersebut sembilan di antaranya dinyatakan sembuh. Kemudian 34 lainnya, berdasarkan hasil swab terakhir tanggal 14 April 2020 dinyatakan positif corona. https://www.vivanews.com/berita/nasional/45835-57-tenaga-medis-terpapar-corona-di-rsup-kariadi-semarang?medium=autonext

5. Para dokter dan pekerja medis yang berjibaku merawat dan berusaha menyembuhkan pasien penderita corona adalah pahlawan. Meski sudah menjadi tugas dan kewajiban dalam keseharian, menangani pasien corona saat ini sama dengan terjun ke medan laga. Risiko ada di depan mata, yakni ikut terpapar dan bahkan meninggal. https://www.beritasatu.com/tajuk/6675/pahlawan-di-medan-perang-wabah-corona

6. Seorang perawat RSUP dr. Kariadi Semarang meninggal dunia, Kamis (9/4/2020). Tenaga medis asal Kabupaten Semarang berjenis kelamin perempuan itu meninggal dunia setelah dinyatakan positif virus corona jenis baru atau Covid-19. Humas Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kabupaten Semarang, Alexander Gunawan, membenarkan informasi terkait meninggalnya perawat RSUP dr. Kariadi asal Kabupaten Semarang itu. https://jateng.suara.com/read/2020/04/10/083434/innalillahi-satu-perawat-rsup-kariadi-semarang-meninggal-karena-corona

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA