by

Kehendak Tuhan di Balik Kebetulan

(Lanjutan Kisah Pak AR)

Oleh: Syaefudin Simon, Wartawan, anak kos di rumah Pak AR

KOPI, Bekasi – Adakah sebuah peristiwa terjadi karena kebetulan? Inilah kisahnya.

Dulu, tahun 1940-an, Pak Abdurrahman Baswedan—kakeknya Gubernur DKI Anies Baswedan—berniat menunaikan haji. Semua persiapan telah selesai. Acara syukuran dengan mengundang tetangga dan sahabat sudah dilaksanakan. Tinggal tunggu… tuing… tuing…. siap berangkat!

Tapi, beberapa jam sebelum detik H, Pak Baswedan terkena flu berat. Begitu petugas kesehatan haji mengetahui Pak Baswedan terkena influenza, beliau dilarang naik kapal. Pastilah Pak Baswedan kecewa berat karena batal menunaikan ibadah Haji. Kebayang, betapa sedihnya Pak Baswedan.

Persiapan telah beres, syukuran sudah kelar, semua warga masyarakat sudah mendoakan—tapi tiba-tiba gagal ke Makkah. Petugas kesehatan jelas tak bersalah. SOP-nya memang seperti itu. Orang punya penyakit menular tak boleh naik kapal. Kalau Pak Baswedan dibolehkan naik, ribuan jamaah haji di kapal itu tertular flu. Berbahaya sekali.

Kisah berikutnya, kematian tragis seorang konglomerat Saudi Arabia, Syaikh Muhammad, pemilik perusahaan konstruksi terbesar di Jazirah Arab, Bin Laden Corp. Syaikh Muhammad adalah imigran asal Yaman yang karena kepandaiannya bergaul bisa bersahabat dekat dengan Keluarga Kerajaan Saudi. Ia kemudian dipercaya merenovasi Masjidil Haram di Makkah dan merenovasi Masjid Nabawi di Madinah.

Pada suatu hari, Syaikh Muhammad hendak menjemput istri mudanya di Suriah menggunakan jet pribadi. Tiba-tiba badai hebat melibas pesawatnya. Syaikh Muhammad tewas. Jet mewahnya hancur di tengah gurun pasir.

Apakah dua peristriwa tragis itu tanpa campur tangan Tuhan? Betul, sepintas kedua peristiwa itu terjadi secara kebetulan. Tapi bagi Allah, tidak. Kedua peristiwa tersebut terjadi atas rekayasa-Nya. Di mata Allah, tak ada peristiwa yang terjadi secara kebetulan. Bahkan daun yang layu dan gugur pun hanya mungkin terjadi atas kehendak-Nya.

Itulah sebabnya, manusia tidak boleh sombong ketika sedang berlimpah harta. Dan sebaliknya, tak boleh sedih berlebihan ketika miskin harta. Sebab boleh jadi, di balik kemiskinan itu, Allah sedang merancang suatu kehormatan yang lebih besar kepada kita. Begitu juga ketika kaya raya, kita tak boleh sombong. Boleh jadi, dengan kekayaan itu, Allah sedang menguji, apakah hati kita “tunduk” atau “sombong” kepada Allah. Jika sombong niscaya hancur. Sebanyak apa pun kekayaannya.

Bahagia dan derita; kaya raya dan miskin harta; rezeki dan tragedi adalah persepsi manusia. Di mata Allah, semua itu sama. Semuanya adalah “kondisi terbaik” untuk mentransformasi manusia menjadi makhluk yang mulia. Jika transformasi itu gagal, Tuhan pun mempunyai metode lain yang lebih oke, untuk memperbaiki ciptaan-Nya tadi.

Dalam sebuah reaksi kimia yang kompleks, misalnya, ada sebuah kondisi “nascendi” dari suatu atom, di mana pada kondisi tersebut atom mudah sekali bereaksi. Kondisi nascendi inilah tampaknya yang sengaja dicobakan Allah kepada manusia agar ia mudah bereaksi menjadi sebuah molekul baru sesuai harapan-Nya. Miskin, derita, dan tragedi, misalnya, adalah kondisi nascendi yang ampuh untuk memperbaiki manusia yang terdegradasi imannya. Dalam dunia wayang, kondisi nascendi ini mirip dengan kawah candradimuka. Gatotkaca, misalnya, mempunyai otot kawat balung wesi, setelah dimasukkan ke kawah candradimuka.

Kebetulan adalah sebuah peristiwa yang tampak­nya terjadi secara instan. Kita tidak bisa menduganya kapan hal itu terjadi. Ini berbeda dengan peristiwa sehari-hari yang rutin, yang bisa kita rancang.

Dalam rancangan manusia, ada peristiwa masa lalu, masa sekarang, dan masa datang. Di sana ada dimensi waktu yang bisa diprediksi kapan terjadi. Dalam dimensi ruang dan waktu itulah rentetan kejadian saling susul-menyusul. Sampai tahapan itu, kehidupan berjalan linier. Prediksi berjalan logis dan rasional.

Dalam bahasa fisika, semuanya berjalan sesuai kaidah Newtonian. Waktu adalah dimensi pertama yang diketahui perubahannya oleh manusia yang menjelajah ruang. Dengan adanya transportasi dan komunikasi yang cepat, manusia segera bisa mengetahui perbedaan waktu antara satu tempat dan tempat lainnya.

Perbedaan waktu antara London dan Jakarta, misalnya, tujuh jam. Sedangkan New York dan Jakarta, 12 jam. Tapi kemudian, hukum-hukum fisika klasik Newton yang melihat waktu berjalan linier, mengalami revolusi setelah Einstein memperkenalkan teori relativitas pada tahun 1916 silam.

Henri Poincare, matematikus Perancis, jauh sebelum Einstein memperkenalkan teori relativitas (massa dan kala), pernah memprediksi bahwa hukum-hukum Newton akan berubah jika manusia menemukan batas sebuah kecepatan. Poincare meramalkan batas kecepatan itu adalah cahaya.

Apa yang diramalkan Poincare, kemudian berhasil diformulasikan Einstein dengan mengasumsikan bahwa cahaya adalah entitas kecepatan terbesar di jagat raya. Dengan teori Einstein yang revolusioner—relativitas massa dan kala—manusia mampu melihat waktu yang meliuk-liuk seperti roller coaster di Dufan, Ancol. Perjalanan waktu ternyata tidak linier lagi; bergelombang, melingkar, hiperbol, dan kadang eksponensial. Macam-macam.

Belakangan, gravitasi sebagai basis fundamental tera massa, diketahui bergelombang pula. Uniknya, Einstein yang mengasumsikan adanya gelombang gravitasi sebagai konsekuensi teori relativitas, tidak percaya bahwa manusia bisa membuktikan gelombang gravitasi itu.

Tapi seabad kemudian, tahun 2015, melalui riset panjang di laboratorium Laser Interferometer Gravitational-Wave Observatory (LIGO), Amerika Serikat, asumsi Einstein itu terbukti kebenarannya. Tiga ilmuwan—Rainers Weiss, Kip S. Thorne, dan Barry C Barish—berhasil menemukan gelombang gravitasi yang digambarkan Einstein.

Dunia ilmu pengetahuan pun terguncang, karena ternyata prediksi ‘musykil’ Einstein itu terbukti. Penemuan gelombang gravitasi ini jelas akan mengubah signifikan pandangan manusia terhadap dinamika kosmologi. Atas jasa-jasanya yang amat berharga dalam dunia sains, ketiga ilmuwan tersebut diganjar hadiah Nobel Fisika tahun 2017.

Seorang pilot yang mengemudikan pesawat super cepat dengan kecepatan mendekati cahaya, misalnya, mengalami sebuah perjalanan dengan rentang waktu yang berbeda antara apa yang dia ukur di pesawat dengan apa yang diukur orang lain di bumi. Begitu pula berat badan sang pilot mengalami perubahan, bertambah berat mengikuti kecepatan pesawat kilat itu.

Pilot jet berkecepatan cahaya mungkin merasa bepergian hanya beberapa jam saja, sementara orang yang di luar pesawat —misal yang menunggu di bumi—mencatat ia bepergian selama puluhan tahun. Fenomena ini—dalam bentuk lain— pernah terjadi dan Al-Quran mengungkapkannya dalam sejarah Ashabul Kahfi. Tujuh pemuda tertidur selama tiga ratus tahun di sebuah gua (menurut manusia di bumi yang mengamatinya berdasarkan hukum Newton). Padahal mereka merasa tertidur hanya beberapa jam saja (karena berlakunya hukum relativitas Einstein).

Dari kisah di atas, manusia harus menyadari bahwa dimensi waktu bersifat dinamis, bagaikan F(t) dalam persamaan matematik. Waktu adalah sebuah persamaan matematik dengan t pangkat sekian-sekian yang numerasinya unlimited. Karena sebuah persamaan matematik, maka waktu sangat dinamis dan merupakan satu kesatuan dari masa lalu, masa kini, dan masa datang (t1, t2, dan t3). Ketiganya berada dalam satu fungsi (persamaan matematik) di mana tiga nilai t yang berbeda bisa ditentukan bersamaan. Dengan demikian, jika Tuhan melihat waktu, maka masa lalu, masa kini, dan masa datang berada dalam “satu obyek”. Tidak terpisah-pisah.

Ini berbeda dengan pandangan manusia yang menganggap waktu berjalan linier dan Newtonian. Masa lalu, masa kini, dan masa depan terpisah secara locus dan timus. Ada space dan time yang berbeda di sana.

Karena itu, jika Tuhan menetapkan “suatu waktu” maka waktu yang akan dilalui manusia bisa masa lalu yang melompat; sekarang yang meregang; atau masa depan yang sekonyong-konyong datang. Juga sebaliknya, masa lalu yang merapat, sekarang yang numpang, dan masa datang yang meregang panjang.

Dengan konsep waktu Einstein ini, kita bisa memahami pernyataan Allah: Bahwa hari kiamat adalah sebuah kepastian dan waktunya sudah dekat. Kapan dekatnya? Hanya Allah yang tahu. Tapi kepastian itu niscaya datang! Untuk itu pula, kenapa Allah dalam Al-Quran menyuruh manusia untuk mengucapkan “Insya Allah” bila memberikan sebuah janji yang terkait waktu kepada manusia lain.

Dari aspek timing, insya Allah mempunyai makna scientific karena waktu mengalami transformasi yang tidak linier. Unlinieritas waktu, misalnya, terjadi pada peristiwa Ashabul Kahfi yang diceritakan Al-Quran tadi. Karena itu, perlu jembatan untuk menghubungkaan waktu yang tidak simetris antara insan dan Tuhan. Jembatannya: Insya Allah.

Rhoma Irama, raja dangdut, benar ketika menyatakan dalam lagu “Insya Allah” bahwa segala sesuatu terjadi atas izin Allah. Manusia berencana, Tuhan menentukan. Karena itu, kata Insya Allah adalah jembatan yang menghubungkan antara rencana manusia dengan ketentuan mutlak Tuhan.

Dalam konteks inilah, kita seharusnya memahami makna kebetulan. Kebetulan adalah sebuah ketentuan Allah sebagai ungkapan kasih sayang-Nya yang tiada terkira kepada manusia dalam dimensi waktu yang unik. Boleh jadi kebetulan itu terasa pahit kita rasakan, tapi percayalah, itulah ketentuan Allah yang terbaik untuk kita.

Dari perspektif inilah, pernyataan Allah dalam Al-Quran harus kita pahami. Boleh jadi, apa yang menurutmu buruk, bagi Allah adalah baik. Sebaliknya, boleh jadi apa yang menurutmu baik, bagi Allah adalah buruk (Qs 2: 216).

Allah sebagai Pencipta dimensi ruang dan waktu; massa dan energi; gravitasi dan levitasi; niscaya mengetahui semuanya. Allah mengetahui apa yang tidak diketahui manusia. Dari aspek inilah bagi orang beriman, apa pun yang ditentukan Allah, harus disyukuri. Karena, itulah jalan terbaik.

Pak AR, misalnya, pernah mencontohkannya secara ril bagaimana mentransendensikan sebuah peristiwa sehari-hari ke dalam dimensi uluhiyah. Suatu ketika, Pak AR bertamu ke rumah seorang pengurus cabang Muhammadiyah di Purwodadi. Setelah perjalanan cukup panjang, Pak AR yang kecapaian disuguhi minuman teh oleh tuan rumah. Secara kebetulan, air teh itu kurang manis. Merasa air teh yang disuguhkannya kurang manis, tuan rumah pun minta maaf kepada Pak AR.

“Maaf Pak AR, air tehnya kurang manis.”
“Justru aku bersyukur air tehnya tidak terlalu manis. Karena kalau terlalu manis, kata dokter bisa mengakibatkan penyakit diabetes,” jawab Pak AR menyenangkan tuan rumahnya.

Setelah itu, Pak AR shalat Magrib berjamaah di masjid. Pulang dari masjid, Pak AR diajak makan tuan rumah. Kebetulan sayurnya kurang garam. Tuan rumah pun minta maaf karena sayurnya terasa tawar.

“Tak apa-apa. Aku bersyukur sayurnya tidak terlalu asin. Kalau terlalu asin, kata dokter, akan terkena darah tinggi,” kata Pak AR menyenangkan tuan rumah.

Pengajian di ranting Muhammadiyah itu ber­langsung sampai tengah malam. Pak AR pun capek dan ingin istirahat tidur. Kebetulan di kamar yang tersisa, tak ada ranjang. Pak AR pun dipersilahkan tidur di lantai beralaskan tikar. Merasa kurang menghormati tamu, tuan rumah pun lagi-lagi minta maaf.

“Terimakasih. Justru aku senang tidur di lantai. Kalau tidur di ranjang, tubuh aku yang gemuk ini bisa repot. Kalau jatuh bisa sakit. Tidur di lantai tidak mungkin jatuh,” kata Pak AR dengan tetap mengucapkan syukur.

Kamar yang ditempati Pak AR kebetulan nyala listriknya tak bagus. Cahanya muram. Tuan rumah pun minta maaf karena nyala listriknya redup.

“Maaf Pak AR, lampu listriknya tidak menyala dengan baik. Cahayanya redup.”

“Justru nyala listrik yang redup ini aku senang karena bisa cepat tidur. Terimakasih dengan mem­berikan lampu listrik yang nyalanya redup,” kata Pak AR.

“Maaf Pak AR, semuanya terjadi tanpa sengaja. Semuanya kebetulan. Kurang ini dan kurang itu. Tapi aku malu karena Pak AR selalu bersyukur,” kata tuan rumah.

Kebetulan? Itulah cara Allah untuk memberikan “kebahagiaan” kepada Pak AR karena telah menjadi ‘tangan-Nya’ dalam menyebarluaskan kebaikan dan kebenaran. Allah paling tahu bagaimana menservis Pak AR yang tiada lelah menyebarluaskan firman-firman-Nya.

Bagi tuan rumah, mungkin terasa tidak enak karena memberikan suguhan air teh yang kurang gula; sayur yang hambar; tempat tidur beralaskan tikar; dan lampu kamar yang redup kepada tamu terhormatnya itu. Tapi Allah Yang Mahakasih tahu apa yang dibutuhkan Pak AR. Dan Pak AR pun menyadari, apa pun yang diterimanya dari tuan rumah, itulah yang terbaik untuknya. Allah telah memberikan yang terbaik untuk Pak AR, meski tuan rumah menyesal karena tidak menyiapkan penghormatan yang wajar untuk beliau.

Gambaran di atas adalah hikmah dari ‘kebetulan-kebetulan” yang terjadi pada Pak AR. Bagaimana dengan hikmah kebetulan yang terjadi pada Pak Baswedan dan Syaikh Muhammad?

************

Sepekan setelah keberangkatan kapal haji itu, Pak Baswedan mendengar siaran radio BBC London. Kapal haji yang urung dinaikinya terkena hantaman bom pesawat tempur Jepang di Samudera Hindia. Kapalnya tenggelam. Semua penumpang dan awak kapal tewas. Jepang mengira kapal haji itu adalah kapal militer Amerika.

Pak Baswedan pun sujud syukur, mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada Allah yang memberinya penyakit flu secara mendadak menjelang keberangkatan ke Makkah.

Sedangkan Syaikh Muhammad, seandainya hidup terus pasti menyesal karena putra kesayangannya, Osama bin Laden, menjadi teroris paling diburu agen-agen rahasia Amerika. Belum lagi kalau melihat fenomena terorisme yang berkembang di seluruh dunia saat ini, di mana semuanya menjadikan Osama sebagai tokoh ikoniknya.

Kematian Syaikh Muhammad yang tragis itu, ternyata rencana Allah yang terbaik untuk membalas kebaikan Syaikh Muhammad yang telah merenovasi Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Selalu saja ada hikmah terbaik di balik sebuah peristiwa tragis. Subhânallâh!

Itulah sebabnya kenapa Pak AR nrimo ing pandum. Pak AR selalu bersyukur atas semua kejadian yang dialaminya, baik atau buruk. Karena, semua peristiwa itu hakikatnya dari Allah untuk kebaikan hamba-hambanya yang saleh.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA