Oleh: Wilson Lalengke, Ketua Umum PPWI, mantan Pimred KabarIndonesia.com
KOPI, Jakarta – Hari itu sangat cerah. Bahkan boleh dikata, siang itu sedang panas menyengat. Matahari di atas Jakarta seakan menyirami bumi dengan sinarnya yang terkenal panas itu. Suhu udara ibukota di atas rata-rata.
Di siang hari yang terik itu, saya amat beruntung diberi kesempatan oleh yang empunya hidup – Tuhan Yang Maha Kuasa – boleh bertemu dan berbincang wawancara dengan salah satu petinggi militer Indonesia, Jenderal TNI (Purn) Djoko Santoso. Seingat saya, itu hari Senin, tanggal 3 September 2007. Kurang-lebih 2 bulan sebelum deklarasi pendirian PPWI. Saya bersama team (Ruslan Andy Chandra dan Aldy Majid, dan 2 orang kawan lagi) bertemu Djoko Santoso dalam rangka penyusunan artikel profil pribadi beliau sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat (Kasad).
Kami bisa bertemu dan diberi kesempatan wawancara tidak lain karena jasa baik dari Bapak Mayjen TNI (Purn) Ricardo Siagian yang saat itu menjabat sebagai Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat (Kadispenad). Pak Ricardo Siagian ini merupakan salah satu sahabat baik dari Pak Robert Nio atau lebih dikenal dengan nama Mang Ucup, pendiri dan pemilik media online jurnalisme warga pertama di Indonesia, berpusat di Belanda, yakni www.kabarindonesia.com. Di tahun 2007-2008 itu, saya menjabat sebagai Pemimpin Redaksi media online Kabar Indonesia. Dalam kapasitas inilah saya berkesempatan bertemu Jenderal Djoko Santoso.
Sebagai orang baru di Jakarta, pertemuan dengan orang nomor satu di jajaran TNI Angkatan Darat tentulah merupakan sesuatu yang amat istimewa bagi saya, juga teman-teman team waktu itu. Betapa tidak, saya dan kawan-kawan yang umumnya adalah jurnalis warga di media Kabar Indonesia yang baru berusia seumur jagung saat itu, diberikan kesempatan wawancara dengan tokoh elit militer tingkat nasional. Ini bukan hanya sebuah keberuntungan, namun juga merupakan rahmat dan berkat luar biasa bagi kami, khususnya bagi saya pribadi.
Setelah berpindah dari satu ruang tunggu (tamu umum) ke ruang tunggu lainnya (tamu khusus), akhirnya kami berempat dipersilahkan masuk ke ruang kerja Kasad Jenderal Djoko Santoso. Sebelum masuk ruangan Kasad, kami mendapat beberapa arahan dari Kadispenad terkait hal-hal yang perlu diperhatikan saat berada dan berbincang dengan pimpinan tertinggi TNI Angkatan Darat itu.
Sehari sebelumnya, di hari Minggu, 2 September 2007, saya sudah mempersiapkan diri sebaik mungkin. Membaca draft atau catatan wawancara yang sudah dibuat dan telah pula dikirimkan ke Mabesad (Markas Besar Angkatan Darat). Saya bahkan berupaya menghapalnya dan berlatih melafalkan poin-poin wawancara itu, agar esoknya dapat tampil prima. Tidak malu-maluin kata orang Jakarta.
Peralatan rekaman yakni tape recorder kecil khusus untuk wawancara sudah dipersiapkan dengan baik. Kaset kosong untuk perekaman suara juga sudah disiapkan. Pena dan buku catatan tidak luput saya persiapkan dengan baik. Semua full-ready for action. Malamnya, saya tidak bisa tidur. Pikiran penuh bayangan tentang kejadian esok hari, sambil berdoa semoga tidak ada aral melintang yang menghambat pertemuan wawancara.
Temu ramah dan wawancara dijadwalkan siang hari, pukul 13.00 wib. Saya dan team sudah bersiap-siap sejak pukul 09.00 pagi. Setelah kami kumpul bersama di Hotel Ibis Slipi, tempat saya menginap – saat itu saya masih berdomisili tetap di Pekanbaru, Riau – saya bersama kawan-kawan melaju ke Gedung Mabesad Jl. Veteran No. 5, Jakarta Pusat. Tiba di sana sekira pukul 11.00 wib.
Cukup lama menunggu. Namun, saya berprinsip lebih baik saya menunggu daripada orang lain susah karena menunggu saya yang datang terlambat. Lagi, sudah menjadi kebiasaan saya untuk datang lebih awal, terutama di tempat-tempat yang baru dikunjungi. Hal ini bertujuan agar saya mempunyai cukup banyak waktu untuk mengenali lingkungan sekitar. Buat saya, penyesuaian lingkungan sangat penting dalam rangka meminimalisir kesalahan yang tidak perlu saat berada di tempat tersebut. Datang lebih awal juga selalu memberikan kepercayaan diri yang lebih baik sebagai hasil kenal-lingkungan yang baru dilakukan.
Tiba saatnya kami masuk ke ruang kerja orang nomor 1 di jajaran TNI Angkatan Darat. Sejenak saya terkesima melihat ruangan yang cukup luas didominasi warga hijau tua, khas tentara. Tidak banyak ornamen atau gambar/foto di dinding ruangan. Hanya ada satu foto yang cukup besar dan hampir pasti menarik perhatian awal para tamu yang baru pertama kali masuk ruangan tersebut.
Foto itu menggambarkan seorang cewek berbaju putih dan memakai rok selutut warna senada, putih. Rambut gadis muda belia itu terurai panjang lebat melewati bahunya. Ia terlihat gusar dan gelisah sambil memegang setangkai bunga berwarna merah. Rupanya, sang cewek di foto itu sedang melepas pacarnya, seorang tentara, hendak pergi tugas untuk waktu tertentu.
Saya terhenti segera dalam kesima yang menghanyutkan itu, ketika Pak Ricardo Siagian mempersilahkan saya duduk di tempat yang sudah disediakan. Dalam ruangan yang diperuntukan untuk menerima tamu dengan jumlah maksimal – perkiraan saya – 10 orang itu, disediakan kursi khusus di bagian depan bagi ketua rombongan dan Pak Kasad – sebagai tuan rumah. Jadi, saya duduk bersebelahan dengan Kasad Djoko Santoso dengan diantarai satu meja kecil.
Ucapan selamat datang, terima kasih, dan kalimat-kalimat silahturami lainnya yang saling berbalas antara saya dan Pak Djoko, berlalu lancar. Selanjutnya, sambil melihat berkas semacam buletin tentang media KabarIndonesia.Com, saya memberikan penjelasan singkat tentang media jurnalisme warga yang mulai berkembang pesat dengan ribuan penulisnya itu. Sambil manggut-manggut, Jenderal Djoko Santoso terlihat cukup antusias menanggapi kehadiran saya dan kawan-kawan di ruangan beliau.
Kini, giliran wawancara akan dilakukan. Saya ambil rekaman dan buku catatan dari dalam tas. Wawancara kemudian dimulai.
OMG! Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Walaupun persiapan sudah demikian matang, ada saja yang tidak berjalan semestinya saat ‘in action’. Pena yang saya pakai, tiba-tiba hilang tintanya alias habis tinta. Saya baru menulis dua-tiga kata, pena sudah kehilangan tintanya. Kebingungan menyerang. Namun, the show must go on! Wawancara yang baru dimulai ini harus terus berlanjut dan selesai dengan sukses.
Situasi lapangan sering tidak dapat kita kendalikan, tapi keberuntungan juga tidak jarang menyertai. Untung tape recorder bisa berfungsi saat itu. Biasanya, justru peralatan elektronik yang sering rewel di saat-saat seperti ini. Walaupun di bagian akhir rekaman agak serak-serak suara tape recordernya karena ternyata baterai tape recordernya soak alias low-batt, tapi hasil rekamannya cukup bagus dan jadi pedoman utama dalam penyusunan naskah profilnya.
Agar tidak ketinggalan momen pembicaraan penting, saya sekali-sekali memaksakan si pena untuk menulis walau hasilnya hanya dalam bentuk goresan yang hampir tidak jelas. Saya kemudian fokus untuk memaksa memori otak bekerja lebih keras agar dapat mengingat kalimat-kalimat penting yang keluar dari mulut Jenderal Djoko Santoso. Mata saya juga sesekali ke tape recorder, memastikan bahwa si alat rekam ini tidak macet di tengah jalan.
Prosesi wawancara akhirnya selesai. Waktu menunjukkan hampir 16.00 wib. Cukup lama rupanya di ruangan Pak Kasad tadi. Untuk keperluan dokumentasi foto, Pak Jenderal mengajak kami berfoto di luar ruangan, di depan papan besar yang berisi daftar Kasad dan Wakasad dari awal hingga di periode sebelum Djoko Santoso.
Hasil wawancara itu kemudian dipublikasikan di media online www.kabarindonesia.com, yang kemudian disadur dan dipublikasikan di situs resmi TNI-AD www.tniad.mil.id pada kolom Profil Kasad. Artikel hasil wawancara itu nagkring di situs TNI-AD hingga berakhirnya masa jabatan Jenderal Djoko Santoso sebagai Kasad. Sebagaimana kita ketahui, pada 28 Desember 2007, Jenderal kelahiran Surakarta, Jawa Tengah, itu dilantik menjadi Panglima TNI menggantikan Marsekal Djoko Suyanto.
Artikel hasil wawancara lengkap dengan Jenderal TNI Djoko Santoso dapat diakses di sini: JENDERAL TNI DJOKO SANTOSO: Saya Dilahirkan untuk Berjuang
Bagi saya, momentum temu-ramah dengan Jenderal Djoko Santoso pada awal September 2007 itu tidak hanya sebatas pertemuan wawancara belaka, ia memiliki nilai historis yang tiada dapat dilepaskan dari sejarah perkembangan jurnalisme warga di tanah air. Pertemuan di Mabesad itu merupakan awal dari perjalanan ‘karir’ para jurnalis warga melahirkan organisasi Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI). Penerimaan sang Jenderal atas kehadiran saya dan kawan-kawan yang notabene sebagai jurnalis warga yang saat itu belum dikenal orang, bahkan tidak dianggap sebagai bagian dari pelakon jurnalistik, telah memberi semangat dan keberanian luar biasa bagi kita untuk bergerak maju, mengaktualisasikan ide-ide jurnalisme warga, yang wujudnya melalui deklarasi pendirian PPWI pada 11 November 2007.
Kini, Sang Jenderal telah berpulang di usianya yang ke-67 tahun. Tugas duniawi almarhum telah tuntas ditunaikan. Pengabdian tertinggi bagi bangsa dan negara Indonesia sudah dilaksanakan dengan baik. PPWI sangat berterima kasih atas semua perjumpaan, komunikasi, kolaborasi dan kerjasama berkelanjutan yang terbina sejak awal-awal hingga hari ini. Kita berdoa, semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan tempat terbaik bagi almarhum di sisi-Nya. Aminnn…
Selamat jalan Jenderal Djoko Santoso. (*)
Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org
Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini
Comment