Cerpen esai oleh Imar Prastiani
KOPI, Cilegon – “Mas, bangun… lihat berita di tivi cepat…!” seru Lina tiba-tiba. Agaknya ada yang amat penting dari berita di televisi pagi ini. Namun, karena sedang nyaman menikmati tidur usai subuhan tadi, saya tidak terlalu menghiraukan panggilan istriku itu.
“Mass Barnoooo…. Cepat ke sini, lihat sini bentar…” suara Lina, mantan pacarku 10 tahun lalu itu, semakin keras memanggil. Tidak seperti panggilan pertama, kali ini suaranya kencang dan menyebut namaku, Barno. Seakan ingin memastikan bahwa aku tahu yang dipanggilnya itu adalah aku.
“Rupanya berita tivi pagi ini sangat urgent,” pikirku.
Aku segera bangkit dari tidur dan bergegas ke ruang keluarga dimana Lina sedang menyaksikan berita pagi dengan roman sangat serius. “Dia telah pergi Mas… sedih sekali hati ini, bagaimana mungkin ini bisa terjadi begitu mendadak?” ujar istriku memelas. Terlihat bulir bening membayang di sudut matanya.
Dengan masih agak malas-malasan, akupun mencoba mencermati berita yang telah mampu mengguncang hati Lina hingga ia terserang rasa sedih yang mendalam di pagi ini.
“Astagfirulah… innalillahi wa inna ilaihi rojiun…” tak sadar mulutku komat-kamit beristigfar. Ah, mustahil dia yang wafat itu. Mustahil! Batinku mencoba menolak kebenaran berita yang ditayangkan media tivi ini.
Aku mencermati lebih fokus lagi ke layar televisi 48-inch yang senantiasa menyajikan informasi bagi keluarga kami itu. Namanya jelas terpampang di layar kaca: DIDI KEMPOT TUTUP USIA (1).
Dasar aku punya sifat sedikit ndablek, tidak ingin percaya begitu saja sebuah berita, walaupun masuk dalam rubrik breaking news, aku coba ambil android dan membuka layar situs pencarian. Segera jemariku lincah mengetik kata kunci ‘Didi Kempot’. Dan, lagi-lagi bibirku berdesis, “Astagfirullah… Innalillahi wa inna ilahi rojiun…” Semua headlines media memberitakan tentang kabar duka di pagi ini. Didi Kempot benar-benar sudah berpulang.
Dalam sedih yang teramat sangat, dalam sisa penolakan batinku atas berita itu, tiada pilihan lain kecuali berucap, “Selamat jalan idolaku Didi Kempot, waktumu sudah selesai, engkau telah dipanggil menghadap-Nya, semoga husnul khotimah… Amin Ya Rabbal Alamin…” Tiada terasa, bayang bening di sudut mataku akhirnya jatuh membasahi pipiku.
“Mas… laptopnya,” sapaan Lina membuyarkan lamunan kesedihan yang larut dalam suasana batinku usai menyimak berita berpulangnya sang legenda musisi papan atas Indonesia Didi Kempot. “Dia mati muda ya Mas, tapi dia meninggal di Bulan Suci Ramadhan bulan penuh rahmat, barokah dan pengampunan. Seperti janji Allah, semoga almarhum diterima di sisi-Nya (2),” ujar istriku Lina menghibur hatiku.
Segera kuraih laptop yang disodorkan istriku. Ia sangat paham kebiasaanku, ketika suasana hati sedang tidak stabil begini, yang terpikirkan di benakku adalah menulis. Coretan yang terbentang di kepala ini harus dicurahkan dalam bentuk artikel, biasanya berupa catatan in memoriam seorang sahabat.
Secepat aliran sungai Bengawan Solo yang menjadi sumber kehidupan masyarakat Kota Solo, tempat kediaman Sang Idola Didi Kempot, saya dengan cepat mengetik artikel berjudul In Memoriam Selamat Jalan Didi Kempot. Tidak sampai sejam, tulisan sudah selesai dan segera dapat ditayangkan di berbagai media, terutama di situs Koran Online Pewarta Indonesia (KOPI) www.pewarta-indonesia.com (3), dan di akun facebook yang setia menampung tulisanku.
“Ma, aku mau ke Solo pagi ini,” kataku sekenanya kepada istriku yang sedang berpindah chanel ke siaran tivi kesukaannya, resep masakan berbuka puasa. Usai mengirimkan artikel yang barusan selesai ditulis ke facebook dan admin media online KOPI, rasa rindu menyerang tiba-tiba dan ingin sekali ke Solo.
“Ngapain?” tanya Lina sedikit curiga.
“Mau ngelayat… kalau terkejar bisa ikut ke pemakaman almarhum Didi Kempot,” kataku menjelaskan.
“Udah pikun ya Mas… hehe,” balas istriku sambil terkekeh ringan.
“Kenapa emangnya?” aku balik bertanya.
“Mas mau pakai apa ke Solo, mau jalan kaki apa…? Khan penerbangan dihentikan (4),” jawab istriku. Aku tersadar. Oya, sekarang zaman Corona, kotaku termasuk zona merah dan karenanya sedang diberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) (5). Aku kembali terpekur dalam sedih, hilang sudah kesempatan terakhir melihat sosok idolaku yang sangat fenomenal itu.
“Mas Didi Kempot orang baik, yang disukai begitu banyak orang. Mengapa orang baik selalu dipanggil begitu cepat ya…? (6)” batinku berontak-bertanya.
Didi Kempot yang bernama asli Dionisius Prasetyo lahir di Surakarta pada 31 Desember 1966. Di usianya yang baru masuk 53 tahun, ia sudah berpulang akibat serangan jantung (7). Ia yang dikenal juga dengan panggilan Godfather of Broken-heart itu adalah seorang penyanyi serta pencipta lagu campursari dan kroncong dangdut dari Surakarta, Solo. Didi Kempot memang lahir dari keluarga seniman, ayahnya seniman tradisional terkenal, Ranto Edi Gudel, dan merupakan adik kandung dari Mamiek Prakoso, pelawak senior Srimulat.
“Mas…” panggilan istri kembali membuyarkan lamunanku.
“Yaa…” jawabku kurang bersemangat.
“Ingat nggak waktu kita nonton konser Didi Kempot kemarin, heboh banget yaa…” sambung Lina seakan tidak perduli bahwa suaminya tidak fokus menyimak ceritanya.
“Hebat ya idola Mas itu. Padahal konsernya dari rumah loh. Tapi bisa sukses dan menghebohkan seluruh jagat nusantara ya. Bayangkan, ini hanya konser amal, konser sosial yang banyak orang sering pandang enteng. Tapi oleh Mas Didi Kempot bisa menghadirkan suasana konser yang mengundang decak kagum semua penonton. Apalagi tuh, sobat ambyar, para fans berat Didi Kempot. Luar biasa yaa musisi yang satu ini,” beber Lina menerangkan panjang lebar.
“Tahu nggak Mas berapa donasi yang terkumpul saat konser amal mendiang lalu?” tiba-tiba istriku mengajukan pertanyaan agar aku memberi perhatian pada luncuran ceritanya. “Nggak ingat,” jawabku singkat.
“Mas ini… pura-pura lupa yaa… masak jadi fans berat Didi Kempot tapi tidak ingat karya-karyanya selama hidup,” ujar Lina dengan mimik mengejekku.
“Oh iya, kalau tidak salah sih 7,6 miliar yaa…” jawabku setelah berpikir sejenak.
Konser amal yang diadakan Didi Kempot bekerjasama dengan Kompas TV pada 11 April 2020 lalu memang luar biasa sukses (8). Saya dan Lina menonton acara berdurasi 2 jam penuh ini dari awal hingga akhir. Penampilan sang maestro musik dan pencipta lagu itu benar-benar cemerlang. Akan dicatat sejarah sebagai konser amal online pertama di Indonesia yang sukses luar biasa.
“Mas Barno, titip doakan almarhum Mas Didi Kempot ya usai tarawih nanti,” kata istriku Lina sesaat setelah kami selesai Sholat Maghrib. “Iya…” aku mengiyakan.
Sejak kepergian Didi Kempot yang mendadak tadi pagi itu, hatiku gundah gulana hingga malam hari tiba. Kepergiannya yang begitu cepat membuat aku, dan banyak orang lainnya lagi, sangat kehilangan. Bagaimana tidak, Didi adalah sosok musisi yang amat cerdas memotret suasana batin rakyat jelata di negeri ini. Lagu-lagunya selalu tepat menggambarkan kehidupan masyarakatnya. Bahkan, beberapa tembang campursari gubahan sang seniman rakyat itu menembus batas-batas budaya dan kebangsaan. Kepergiannya juga ditangisi berbagai bangsa di belahan dunia lainnya. Di Suriname, yang dikenal sebagai The Second Javanese Community, menyebutkan bahwa kepergian Didi Kempot merupakan kerugian besar (9).
Berbagai kalangan terkaget-kaget mendapatkan berita wafatnya sang musisi lagu-lagu Jawa legendaris yang sungguh sulit dicari bandingannya itu. Tidak hanya kalangan rakyat kebanyakan, para menteri dan pejabat juga turut berduka dan menyampaikan ucapan belasungkawa. Bahkan, Presiden RI Joko Widodo, menyempatkan diri untuk menyampaikan rasa simpati dan dukacitanya kepada keluarga yang ditinggalkan.
“Pagi ini saya dengar mas Didi Kempot telah berpulang. Innalillahi wa innaillaihi rajiun. Duka cita saya yang dalam kepada segenap keluarga besar Mas Didi Kempot, kepada para insan musik Indonesia, juga kepada seluruh Sobat Ambyar di mana pun berada.” Demikian tulis Presiden di akun instagramnya (10).
“Ayo Mas, kita makan malam dulu sebelum Sholat Isya ya… Biar semangat nanti Sholat Tarawihnya. Kita khan mau doakan Mas Didi,” ajak istriku makan malam bersama kedua anakku, Marlan dan Rafi.
“Oh, iya… ayuk,” jawabku sambil bergerak mendekat ke meja makan bergabung bersama Lina, Marlan dan si bungsu Rafi.
“Usai makan malam, kita Sholat Tarawih bersama di rumah ya. Pesan Mas Didi Kempot, kita tidak usah mudik, di rumah saja, ibadah di rumah saja. Usai tarawih, kita doa bersama untuk mendiang Mas Didi Kempot ya…” kataku berpesan sambil menunggu Lina menyendokkan nasi untukku. (*)
Catatan
(1) Tayangan berita Didi Kempot Tutup Usia di sebuah stasiun televisi swasta. https://www.youtube.com/watch?v=eLILwlTtyVk
(2) Ini Keutamaan Seseorang yang Meninggal di Bulan Ramadan. https://www.liputan6.com/ramadan/read/2987309/ini-keutamaan-seseorang-yang-meninggal-di-bulan-ramadan
(3) In Memoriam: Selamat Jalan Didi Kempot. https://pewarta-indonesia.com/2020/05/in-memoriam-selamat-jalan-didi-kempot/
(4) Semua Penerbangan di 19 Bandara Dihentikan, Ada Pengecualian. https://www.jpnn.com/news/semua-penerbangan-di-19-bandara-dihentikan-ada-pengecualian
(5) PSBB Jakarta Resmi Diperpanjang 28 Hari hingga 22 Mei 2020. https://megapolitan.kompas.com/read/2020/04/22/18150051/psbb-jakarta-resmi-diperpanjang-28-hari-hingga-22-mei-2020
(6) Mengapa orang baik usianya lebih pendek? https://akungibnu.wordpress.com/2012/10/25/mengapa-orang-baik-usianya-lebih-pendek/
(7) Berikut Penjelasan Dokter Soal Kronologi Hingga Penyebab Kematian Didi Kempot. https://wartakota.tribunnews.com/2020/05/05/berikut-penjelasan-dokter-soal-kronologi-hingga-penyebab-kematian-didi-kempot?page=all
(8) Berjiwa Sosial, Didi Kempot Tak Pernah Perhitungan Membantu Orang Lain. https://www.kompas.com/hype/read/2020/05/05/170315866/berjiwa-sosial-didi-kempot-tak-pernah-perhitungan-membantu-orang-lain?page=all
(9) Disiarkan mancanegara, warga asing: Meninggalnya Didi Kempot kerugian besar! https://www.hops.id/disiarkan-mancanegara-warga-suriname-meninggalnya-didi-kempot-kerugian-besar/
(10) Presiden Jokowi Turut Berduka Atas Meninggalnya Didi Kempot. https://republika.co.id/berita/q9ul2a377/presiden-jokowi-turut-berduka-atas-meninggalnya-didi-kempot
Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org
Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini
Comment