by

Corona, Manusia, dan Semesta

Oleh: Syaefudin Simon, Freelance Journalist

KOPI, Bekasi – KH Aqil Siraj, Ketua PBNU dalam acara Jendela Ramadan-nya Dedi Corbuzier di NetTV Jumat dini hari lalu menyatakan: pandemi corona adalah peristiwa alam. Bukan bencana non-alam seperti dalam UU Kebencanaan.

Saya setuju. Kenapa pandemi ini dahsyat? Kita ingat hukum aksi-reaksi dari Newton. Juga hukum keseimbangan kimia Lavoisier.

Setiap ada aksi pasti ada reaksi. Reaksi itu terjadi untuk nencari keseimbangan baru. Pandemi corona yang dahsyat adalah sebuah reaksi dari aksi yang dahsyat tadi.

Pencemaran lingkungan (darat, udara, laut), hancurnya hutan, rusaknya biodiversitas; ditambah keserakahan manusia dan eksploitasi alam berlebihan, menyebabkan virus corona yang semula “tidur” di habitat (reservoir)-nya tiba-tiba terbangun. Ketamakan manusia yang membangunkan “virus corona ganas” ini dari kenyamanan tidurnya. Di tubuh kelelawar, kalong, dan binatang liar lainnya.

Ketika corona terbangun, koloni corona pun mencari tumpangan (inang) untuk hidup. Akibat kerusakan hutan dan polusi, inang-inangnya — makhluk liar di alam bebas — banyak yang mati. Gantinya, manusialah jadi sasarannya. Dijadikan inang.

Tak seperti kelalawar, tubuh manusia bereaksi keras ketika jadi inang corona. Apa yang disebut pandemi sebetulnya reaksi corona akibat ulah manusia yang merusak habitatnya.

Itulah mekanisme hukum alam. Aksi terhadap alam yang sudah rusak menjadikan reaksi alam pun demikian dahsyat. Solusinya, tak cukup sekadar social distancing. Tapi juga natural conserving. Kembalikan koloni corona pada habitat alamnya.

Tanami aneka pohon setiap jengkal tanah kosong. Biarkan organisme tumbuh di pohon-pohon yang menghijau di lingkungan itu.

Dalam sekala besar, hutankan kembali lahan-lahan yang rusak. Hijaukan bukit-bukit yang gersang. Bangunlah tempat-tempat yang nyaman untuk koloni corona.

Di sanalah koloni corona akan tertidur. Tak mengganggu manusia. Istilah Pakde Jokowi, berdamailah dengan corona. Corona akan nyaman di habitatnya. Manusia pun nyaman di habitatnya.

Jika sudah berdamai, niscaya pandemi tak ada lagi. Masing-masing spesies hidup di dunianya yang asyik dan spesifik.

Ingat: semesta corona dan manusia berbeda. Naturally, tidak saling mengganggu. Masing-masing hidup di alamnya. Dengan hukum-hukum alam yang menyertainya.

Bencana akan terjadi jika dua spesies itu — homo sapiens dan virus corona “berinteraksi” di alam yang “lain”. Manusia menyebutnya, perang melawan corona. Sedangkan corona, tak tahu, apa itu perang. Ia sekadar ingin survive.

Mereka sekadar mencari habitat untuk mempertahankan hidupnya. Mereka juga tak tahu kalau manusia menderita karena keberadaan koloni di saluran pernafasannya. Maklumlah, hanya di tempat itulah corona bisa mempertahankan hidupnya. Tak ada tempat lain. Sedangkan manusia bisa hidup di spektrum alam yang beragam. Makan segala macam. Jauh lebih rakus dan serakah dari Corona.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA