by

Wilson Lalengke: Media Online Menggebrak, Media Cetak dan TV Merengek

KOPI, Jakarta – Perusahaan pers mainstream bersama organisasi pers konstituen Dewan Pers baru-baru ini beraudiensi dengan pemerintah, menyampaikan keluhan mereka terkait kinerja perusahaan yang sedang megap-megap akibat bencana Virus Corona. Di bawah komandannya, Ketua DP, M. Nuh, didampingi Menteri Komunikasi dan Informatika dan Ketua Komisi I DPR RI, team pers konvensional itu bertemu Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto, pada Sabtu, 11 April 2020.

Menurut berita yang dilansir inews.id, hadir dalam pertemuan team DP dengan Menko Airlangga via teleconference, selain Ketua Komisi I DPR RI, Meutya Hafidz, juga terlihat para konstituen DP, yakni Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Serikat Perusahaan Pers (SPS), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Serikat Media Siber Indonesia, Pewarta Foto Indonesia dan Forum Pemred.

Mewakili kelompok yang diklaim sebagai ‘kalangan pekerja pers Indonesia’ itu, Ketua DP M. Nuh menyampaikan uneg-uneg perusahaan dan pekerja pers disertai permintaan agar pemerintah turun tangan membantu mengatasi kesulitan keuangan yang dihadapi ‘dunia pers’ saat ini. M. Nuh juga menyampaikan sejumlah usulan mengenai perlunya perlindungan dari pemerintah terhadap keberlangsungan Pers Nasional di masa pandemi Virus Corona atau Covid-19.

Tidak tanggung-tanggung, ada sembilan poin usulan DP kepada Pemerintah RI melalui Menko Airlangga. Usulan itu mulai dari penghapusan kewajiban pembayaran pajak perusahaan pers, penangguhan pembayaran denda-denda pajak terhutang, pembayaran premi BPJS, dan subsidi listrik. Bahkan, DP juga meminta pemerintah membantu biaya pengadaan kertas koran dan subsidi paket internet murah.

Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA menyatakan keprihatinannya yang amat mendalam atas kekerdilan dan kesesatan pikir para perusahaan pers, pekerja pers, dan organisasi pers bersama pembinanya, Dewan Pers, itu. “Pertama, saya menampaikan rasa prihatin kepada kawan-kawan pekerja pers bersama induk semangnya, para pengusaha pers. Juga rasa prihatin saya kepada teman-teman organisasi pers binaan Dewan Pers. Saya sangat prihatin karena pola pikir mereka yang kerdil dan sesat dalam menghadapi bencana Covid-19 ini,” ujar Wilson yang merupakan Alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 itu.

Menurut tokoh pers nasional yang getol membela wartawan dan masyarakat yang terzolimi akibat pemberitaan di negeri ini, DP dan kawan-kawannya itu semestinya menyadari bahwa dunia pers sekarang sudah mengalami loncatan perubahan yang sangat jauh, ibarat dari bumi meloncat ke langit. Wilson menjelaskan bahwa dalam kondisi rakyat yang terlunta akibat bencana Virus Corona saat ini, negara harus prioritas fokus membantu rakyat, termasuk di dalamnya para wartawan. Rakyat butuh makan untuk dapat bertahan hidup di tengah pandemic Covid-19.

Nah, agar uang rakyat dapat dikelola tepat sasaran, kata Wilson, negara harus fokuskan bantuan ke rakyat, bukan perusahaan pers. “Perusahaan pers itu adalah entitas bisnis, prinsip mereka adalah hukum ekonomi, dengan modal sekecil-kecilnya meraih untung sebesar-besarnya. Pemerintah tidak boleh bantu mereka, apalagi dalam kondisi begini, keuangan negara menipis, kebutuhan rakyat menggunung. Seharusnya perusahaan-perusahaan itu yang bantu negara,” tegas lulusan program pasca sarjana Global Ethics dari Birmingham University, Inggris, itu.

Lebih jauh, Wilson menyindir kelakuan Dewan Pers bersama para underbow-nya tersebut  terkait independensi pers yang selama ini menjadi jargon pers nasional Indonesia. “Miris sekali, dengan terpaan bencana virus Covid-19, Anda sudah merengek-rengek menyerahkan leher independensi Anda untuk ditebas oleh pihak pemerintah. Kelompok pers apa Anda itu, jika bukan pecundang! Buang ke laut saja baju independensi pers Anda dan balik kampung cangkul kebun, lebih bermakna hidupmu,” ujar Wilson yang dalam beberapa tahun terakhir ini mengkritik kinerja Dewan Pers yang masih memelihara pola pikir dunia pers kolot bin jadul.

Tidak hanya sampai di situ, Wilson juga mengatakan bahwa ia sedih ketika melihat Ketua Dewan Pers tidak cerdas dalam mengelola dunia pers di tanah air. “Tapi lebih menyedihkan lagi melihat kawan-kawan konstituen dewan pers yang memilih dia sebagai Ketua Dewan Pers. Dunia pendidikan saja amburadul saat dia jadi menteri pendidikan, lah sekarang diambil jadi komandan dunia pers Indonesia, yaa hancurlah kita semua,” jelas Wilson yang merupakan salah satu pendiri SMA Plus Provinsi Riau dan pemilik SMK Kansai Pekanbaru ini.

Sesungguhnya, tambah Wilson, perkara kesulitan yang dihadapi dunia pers saat ini dapat disiasati melalui berbagai strategi tanpa harus membebani pemerintah. Bahkan, menurut dia, dunia pers dapat membantu pemerintah, tidak hanya dalam bentuk pemberitaan dan dukungan sosial, tapi bisa dalam bentuk dana untuk mengisi kas negara.

“Pers, dalam hal ini perusahaan pers bersama pekerja pers dan berbagai pihak terkait pers, sesungguhnya bisa bantu negara ini. Bukan hanya bantu pemberitaan dan dukungan sosial-politik agar keadaan bangsa ini kondusif, stabil dan aman, tapi juga bisa bantu dana ke pemerintah. Jadi, kalau kawan-kawan itu mengemis bantuan uang ke pemerintah, itu salah besar dan memalukan,” urai Wilson yang juga menyelesaikan studi pasca sarjananya di Utrecht University Belanda dan Linkoping University Swedia dalam bidang Applied Ethics itu.

Salah satu cara mengatasi masalah keuangan perusahaan pers yang menjelang kolaps itu, saran Wilson, adalah dengan membangun atau mengalihkan sistim publikasi dari konvensional ke fully-digitalized publication. “Sederhananya, hentikan dunia cetak sekarang juga, bangun media online yang benar-benar modern, profesional, canggih, dan terpercaya serta massif. Media online itu 1000 kali lebih murah dibandingkan versi cetak yang coba dipertahankan Dewan Pers dengan mengemis kertas ke Airlangga itu. Cobalah hitung dengan baik dan jujur, jika Anda berpindah dari konvensional ke full digital atau dalam jaringan (daring), dana operasional bulanan akan berlebih, dan itu bisa kalian sumbangkan ke negara,” urai Wilson panjang lebar.

Menurut mantan dosen paruh waktu Universitas Bina Nusantara Jakarta ini, PPWI sebagai organisasi yang kecil saja bisa galang dana bagi membantu sesama warga yang kesulitan hidup akibat bencana Corona yang melanda dunia ini. “Walau kecil dana yang terkumpul melalui kegiatan Diklat Jurnalistik Corona yang sedang kita jalankan saat ini, tapi ini adalah fakta bahwa jika pers mau melakukan penggalangan dana dengan cara yang cerdas, masalah keuangan pers dapat diatasi. Memang tidak mudah, tapi bisa dilakukan tanpa harus mengemis ke pemerintah,” cetus Wilson yang juga merupakan Ketua Persaudaraan Indonesia Sahara Maroko (Persisma) ini yakin.

Pada kesempatan yang sama, Wilson juga menyentil Ketua Komisi I DPR RI, Meutya Hafidz yang menurutnya 11-12 (sama – red) dengan Ketua DP. “Saya heran, Meutya Hafidz itu orang pers yang duduk di lembaga terhormat DPR RI, tapi pola pikirnya masih jadul dan wawasan kurang. Saya menonton acara sidang Komisi I yang dipimpin Meutya membahas kisruh Dirut TVRI beberapa waktu lalu melalui streaming audio visual Facebook. Bagus dan genuine. Kita setiap hari bisa menonton kegiatan apa saja dari belahan dunia manapun melalui internet. Sekarang peredaran informasi jauh lebih massif di media online, serta media dan jejaring sosial dibandingkan televisi, apalagi media cetak. Artinya, dengan memanfaatkan sumber daya media publikasi yang super duper murah, kegiatan inseminasi program pemerintah dan pihak manapun bisa dilakukan dengan lancar dan nyaman. Tidak perlu minta dana inseminasi program dari pemerintah seperti yang dilakukan M. Nuh dan didukung Meutya itu,” imbuh Wilson.

Untuk itu, Wilson menyerukan kepada semua pihak agar bekerjalah dengan cerdas dalam menyikapi situasi sulit bangsa ini. Pers harus berupaya menemukan dan melakukan langkah-langkah inovatif yang solutif dalam mengembangkan dunia pers nasional yang maju, cerdas, bermanfaat, dan paling penting tetap menjaga independensi pers itu sendiri.

“Kepada Pemerintah, saya sarankan, jangan penuhi rengekan Dewan Pers dan para underbow-nya itu. Mereka tidak lebih dari rombongan wabah parasit yang menggerogoti keuangan negar yang sangat dibutuhkan rakyat dalam kondisi bencana Corona hari-hari ini,” pungkas Wilson Lalengke yang juga adalah anggota JICA Alumni Association of Indonesia (JAAI) itu. (APL/Red)

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA