by

Tuhan yang Telanjang

KOPI, Bekasi – Setiap tertera nama Sri Utami di halaman FB, aku kok deg degan. What’s wrong?

Kali ini, menjelang tidur nama Sri muncul lagi di laman FBku. Setelah kuintip wajah dan identitasnya, ternyata bukan dia. Apakah dia sudah hilang dari bumi? Atau bereinkarnasi jadi bidadari? Aku tak tahu. Yang jelas nama Sri Utami begitu lekat di hatiku.

Sri. Sri. Sri. Penasaran, kupanggil dia tiga kali menjelang tudurku. Eh tanpa kusadari, dia ternyata datang. Telanjang tanpa penutup tubuh sedikit pun.

“Sri, kau telanjang?”

“Telanjang lebih sehat mas,” jawabnya.

“Kenapa?”

“Dengan telanjang fisik dan psikisku bebas. Alam tahu kondisi lahir batinku. Dengan telanjang alam melimpahkan seluruh rahmah dan anugerahnya padaku. Tidak hanya vitamin D yang meluruh ke dalam tubuhku, tapi juga vitamin X dan Y,” tambahnya.

“Apa itu vitamin X dan Y,” sergahku.

“Suatu ketika manusia akan tahu. Vitamin X dan Y adalah suatu elemen yang muncul dari mantra dan zikir. Elemen itu dapat memperkuat iman kepada Tuhan dan menyehatkan spiritual. Sekarang manusia belum memikirkannya. Tapi tak lama lagi manusia akan mendeteksinya. Orang atheis di Rusia yang akan menemukannya. Bukan orang Arab yang paling merasa memiliki iman.”

Ha? Sri makin pinter di alam sana. Tapi juga makin liberal seperti Ulil Abshar Abdalla dan Jalaludin Rumi.

“Apakah mas bernafsu dan syahwatnya naik melihatku telanjang?” tanya Sri

“Tidak. Aku hanya penasaran melihat betapa indah tubuhmu. Kulitmu kuning bening, halus, tanpa keriput, hidungmu bangir, bibirmu indah — membuatku takjub kepada sang intelelejen desainer agung,” jawabku.

Sri tersenyum. Manis sekali. Rasanya ingin kucubit pipinya.

“Jadi mas lebih percaya Tillich daripada Dawkins yang menyatakan alam ini terjadi dengan sendirinya tanpa disainer agung?”

“Duh, Sri kok tahu aku sedang membaca buku Masa Depan Tuhan karya Armstrong.”

“Mas, manusia itu punya kecenderungan beriman kepada Tuhan bukan karena mutasi gen yang salah seperti dikatakan Dawkins. Tapi itu rancangan sang disainer agung.”

“Jadi aku tidak bersalah kalau masih percaya Tuhan?”

“Tidak bersalah. Karena itu aku ingin melihatmu telanjang,” kata Sri.

“Waduh. Sri Utami ini aneh-aneh aja,” batinku.

“Apa? Aku telanjang? Sekarang?”

“Ya mas. Aku ingin tahu apa kata-katamu jujur. Dengan melihatmu telanjang aku tahu semua isi hatimu. Jangan ngibul seperti Surya Paloh di Kongres Nasdem.”

Kok Sri bawa-bawa nama Nasdem dan Surya Paloh. Aneh, kata batinku.

“Baik Sri, kalau itu permintaanmu, aku mau telanjang.”

Begitu aku telanjang, Sri lenyap dari pandanganku.

“Mas aku terpaksa masuk hologram kegelapan agar kau tidak malu telanjang. Tapi maaf mas, sebelum mas telanjang aku sebenarnya sudah lihat seluruh tubuhmu itu sudah telanjang.”

“Apa maksudmu dengan semua ini?”

“Manusia di planet bumi ini spesies bodoh. Ia tak tahu bahwa aku saja melihat manusia itu telanjang. Mau pakai cadar, jilbab, kebaya, rok panjang, baju kurung, rok mini, cawat, di mataku semuanya telanjang. Apalagi Tuhan bila melihat manusia.”

“Apakah Tuhan juga telanjang?” tanyaku sekenanya.

“Ya. Kalau Tuhan tidak telanjang, cahayaNya terhalang. Padahal cahaya itulah yang menerangi seluruh jagad raya.”

“Aku kaget sekali. Kenapa Sri bilang begitu?”

Sri. Sri, aku memanggilnya.
Tapi ia tak menjawab.

Rupanya ia sudah lenyap sama sekali. Bau farfumnya juga telah hilang. Bau badan dan keringatnya juga sudah tak terendus lagi. Tapi begitu aku membereskan bantal, ada selembar kertas merah jambu.

“Sayang. Aku tetap menyintaimu. Pengalaman kita menikmati indahnya syahwat di Ancol, di hotel Santika, di Pantai Cilamanya adalah prolog dari kenikmatan yang ada di surga. Tapi kenikmatan tertinggi di surga adalah melihat Tuhan yang telanjang.”

Ha? Lagi-lagi aku kaget bukan main. Kubalik kertas surat itu. Ternyata masih ada tulisan Sri lagi.

“Manusia itu aneh. Kenapa di dunia yang pendek ini waktunya dihabiskan untuk mempermasalahkan busana. Tak ada gunanya mas. Yang dilihat Tuhan itu bukan busana. Tapi hati manusia. Mau telanjang sekalipun kalau hatinya sabar, ikhlas, helpful, cinta manusia, dan cinta alam semesta, Tuhan akan menghargainya. Di mata Tuhan semuanya telanjang.”

Aku tertegun. Mimpikah aku? Kukucek-kucek mataku. Aku tidak mimpi. Astaghfirullah. Dari mulutku tanpa sadar terucap:

Sri. Thank you. Kau telah menyadarkan aku tentang makna kehidupan. Makna ketelanjangan.

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA