by

Ramadhan Pantang Berduka

(Bunda NaRa)

Cerpen Esai oleh Seni Asiati

KOPI, Jakarta – Ramadahan kali ini berbeda dengan Ramadhan tahun-tahun sebelumnya. Keluarga kecil kami harus merasakan dampak pandemic covid 19. Semua sudah tak sama, bahkan untuk hidup sehari-hari kami saja sudah lama tak sama.

“Maaf lahir batin, ya Mak, Lebaran tahun ini Nuri tidak bisa pulang.”

“Kamu sudah tak sayang emak lagi, Ri?” suara emak di telepon membuatku menangis.

Mudik semuanya akan kita larang (1) kata-kata Presiden Jokowi di siaran berita masih terngiang.  Emak wanita desa tentang virus corona manalah emak mengerti. Virus yang meluluhlantakkan semua perekonomian dunia. Doa aku panjatkan untuk emak.

Kisah kami saja berawal dari seminggu sebelum Ramadhan.

Brukkk….

Mas Beng pulang dengan wajah yang kuyu dan dihempaskan tubuhnya yang besar dengan kasar ke sofa kami yang mulai reot.

“Maunya apa sih pemerintah bikin libur semua,” kata-kata kasar terdengar di rumah kami.

“Kenapa, Mas tidak ada penumpang lagi?” tanyaku sambil meletakkan teh hangat di atas meja.

“Pakai tanya lagi, sudah dua hari ada ga aku kasih kamu setoran!” dengan nada marah.

“ Pakai masker, Mas mungkin itu juga yang buat penumpang enggan,” kataku.

“Ah, aku ga sakit kok, ngapain pakai masker,” jawab Mas Beng.

“Masa ga merasakan sih, penumpang mulai enggan karena mereka tahun sesuai hasil penelitian masker kain dapat menangkal virus sebesar 70% dengan demikian masyarakat diharapkan untuk tetap jaga jarak saat berada di keramaian minimal 1 sampai 2 meter,” (2) lanjutku mengutip sebuah berita tentang masker. Seperti biasa Mas Beng mencemoohku.

Sudah dua hari tak ada uang yang disetorkan Mas Beng padaku. Dua hari ini aku tak menagih karena situasi dan kondisi Mas Beng yang selalu marah kalau pulang. Aku tak ingin bertengkar dan sudah malam pula. Energi harus dihemat katanya imun akan bekerja baik kalau pikiran dan hati kita tenang. Sudah dua minggu semenjak musibah pandemik yang katanya corona sebagian bilang covid 19 melanda Indonesia.

Tiga tahun yang lalu pemutusan hubungan kerja menyebabkan ia harus bekerja sebagai ojek online. Mulanya aman saja karena Mas Beng mencukupi dengan ojek online motor. Lowongan kerja untuk pekerja seusia Mas Beng yang sudah kepala 4 susah sekali. Adik Mas Beng sudah lebih dulu jadi ojek online. Tawaran itu menggiurkan, motor kami punya dan Mas Beng tinggal mendaftar.

Musim penghujanlah yang memicu Mas Beng selalu marah. Aku sudah biasa mendengar dia marah dari awal pernikahan. Entahlah mengapa aku mau dipersunting olehnya. Aku berpikir Mas Beng akan berubah karena aku tahu cintanya padaku luar biasa.

“Mah, kita ganti motor dengan mobil, lebih banyak penghasilannya,” diskusi kami malam itu. Hujan masih deras baju Mas Beng basah. Seperti biasa ia meruntuki hujan yang turun.

“Maksudnya bagaimana, Mas?” tanyaku sambil membereskan pakaian Mas Beng yang diletakkan begitu saja di lantai.

“Aku narik mobil, dan kita ambil mobil,” Mas Beng melanjutkan idenya.

“Harus pakai uang muka, Mas darimana,” tanyaku sambil tertunduk. Aku berharap Mas Beng tidak menanyakan uang tabungan kami untuk membeli rumah. Semenjak menikah aku berusaha irit dan membantunya bekerja setelah anak-anak bisa kutinggal mandiri. Si kecil sudah kelas 1 SMP aku mulai bekerja di sebuah pusat kebugaran merangkap salon. Penghasilanku lumayan apalagi kalau banyak pelanggan. Sedikit demi sedikit penghasilanku aku tabung.

“Ah, belagak bodoh Kau, mana buku tabunganmu,” yang kutakutkan terjadi Mas Beng minta buku tabunganku.

“Itu untuk membeli rumah, aku kerja supaya bisa menabung.” Aku masih memohon.

“Kau ga kasihan sama suamimu ini, hujan basah semua, panas luar biasa pening kepala, oh Kau mau bikin mati suami biar Kau bisa kawin lagi,” suara Mas Beng memuncak. Aku terdiam dan beranjak ke kamar kulihat anakku masih belajar dan menatapku sedih.

Aku bulatkan tekad mungkin ini rezeki keluarga kecil kami.

“Ini, Mas semoga cukup untuk uang muka,” aku sodorkan buku tabunganku.

“Nah, cukup ini ada tiga puluh lima juta,” suaranya tertawa senang. Ah seandainya sikapnya pun ramah dan menyenangkan, mungkin ada air sejuk setiap kali dia pulang.

Akhirnya si putih yang bukan mobil baru mejeng di halaman rumah kami. Rumah kontrakan yang kami tempati jadi penuh dengan hadirnya si putih.

“Mulai sekarang setoran aku naikkan ,Mah jadi dua ratus ribu rupiah,” kata Mas Beng dengan mantap.

Semenjak itu mulailah aktivitas Mas Beng dengan mobil barunya untuk mencari penumpang. Sebulan, dua bulan, tiga bulan setorang masih lancar saja. Aku bersyukur Mas Beng menepati janjinya. Belum dua bulan aku bisa bernapas lega. Datanglah musibah badai corona dalam kehidupan kami. Yah, Mas Beng sudah mengeluh tak ada penumpang. Setiap hari sudah dilakoni berkeliling dan hanya satu penumpang itupun tak bisa membelikan bensin yang dipakainya untuk berkeliling. Pembatasan penumpang juga apa yang harus diangkut. Ojek online dibatasi untuk pengantaran makanan dan obat-obatan, serta untuk bepergian yang sifatnya mendesak. (3) Selain kantor yang libur pembatasan itu juga jadi pemicu tak ada penumpang.

“Mah, kami libur diperpanjang,” kata anakku pagi itu.

“Bukan libur tapi belajar di rumah,” kataku.

“Iya, katanya jaga jarak jangan berkerumun, kenapa kok gitu, Mah?” tanya sulungku.

“Pembatasan sosial dilakukan oleh semua orang di wilayah yang diduga terinfeksi penyakit.

Hal itu disebabkan, virus Corona sangat mudah menular. Cara penularan utama penyakit ini adalah melalui tetesan kecil (droplet) yang dikeluarkan pada saat seseorang batuk atau bersin, (4) kalau kakak sekolah kan berkerumun, nanti ada yang sakit kita ga tahu bagaimana?

“Hehehehe enak, Mah libur,” anakku yang kecil malah tertawa senang. Aku yakin mereka akan bosan dan merindukan sekolahnya.

Hari itu di tempatku bekerja tak banyak yang datang, beberapa karyawan memang sudah dirumahkan. Tinggal aku dan beberapa karyawan yang masih ada. Besok sudah Ramadhan.

“ Nur, mulai besok You kerja di rumah sampai ada pemberitahuan,” akhirnya kalimat itu keluar juga dari mulut pemilik pusat kebugaran tempatku bekerja.

“Bagaimana dengan gaji saya Ci?” aku beranikan bertanya karena memang itu yang harus pasti.

“Bulan ini You masih dapat penuh, tapi bulan depan Cici potong 50%, kan You ga kerja, ga ada pelanggan kita, salon pasti ga ada yang mau datang, ga ada yang mau ngejim dulu,bagaimana?” aku hanya tertunduk dan menganggukkan kepala. Terbayang bagaimana membayar kontrakan dan makan kami nantinya. Memikirkan itu saja kepalaku sudah mulai pening.

“Baik, Ci jaga kesehatan ya Ci semoga badai ini berlalu dan kita bertemu sehat-sehat saja,” aku mengucapkan salam perpisahan pada Cici pemilik pusat kebugaran.

Selama ini dia selalu mendukungku dan sering menguatkan kalau aku ada masalah. Cici sendiri sudah tak bersuami ceritanya padaku, suaminya berselingkuh dengan sahabatnya dan melarikan semua uang dan perhiasan Cici. Untungnya keluarga Cici membantu dan memberikan modal untuk membangun bisnis pusat kebugaran, juga salon yang emmang sudah lebih dahulu ada. Nasihat Cici padaku kalau suami kasar selama dia tidak main perempuan yah dinikmati saja.

“Sudah, tak usah sedih-sedih, Cici jadi mau peluk kamu nanti, kita harus jaga jarak, You jaga kesehatan banyak minum vitamin,” kulihat butiran bening di mata Cici. Aku pamit membereskan barang-barangku. Kakiku meninggalkan pelataran kantor dengan mata berkaca. Kapan badai berlalu dan aku bisa bekerja lagi. Bekerja membuatku lupa akan masalah di rumah dan kekasaran suamiku.

 “Mas apa tidak lebih baik mobil kita jual, Mas, mobil juga tidak terpakai dan Mas bisa narik motor saja masih bisa kan?” semoga ideku bisa menjadi jalan keluar kami.

Mas Beng meninggalkan aku dan keluar melihat mobil kemudian pergi keluar tanpa berkata apa-apa lagi. Hingga malam Mas Beng belum kembali. Aku telepon tidak aktif. Anakku juga mencoba telepon tidak aktif. Malam semakin larut aku tertidur karena kelelahan. Besok sahur aku takut Mas beng tidak sahur.

 “Masyaallah, Mas kenapa minum-minuman lagi sih, kamu bukan meringankan bebanku malah membuatku bertambah susah, ingat ini Ramadhan Mas” aku tingalkan dia dan masuk ke dalam. Benar-benar sudah hilang akalnya bisa-bisanya Mas Beng berkelakuan di bulan Ramadhan ini. Belum habis rasa penasaranku aku menjerit.

“Mas, tega sekali kamu…” jeritanku membangunkan anak-anakku yang berhamburan keluar kamar.

“Ada apa, Mah,” tanya Lora dengan muka yang masih sembab.

Aku menangis di sofa aku tahu perbuatan Mas Beng dan mengapa tadi dia tersenyum.

“Ah, lebay mamah kalian, sudah diringankan bebannya malah menjerit, harusnya senang,” tanpa merasa berdosa Mas Beng berjalan ke kamar.

“Tunggu, Mas jangan lempar tanggung jawab, biar anak-anak dengar, Kau jual kemana motorku,” aku tarik tangannya dan minta jawaban. Pastinya sangat menyakitkan sekali, motor adikku yang dia berikan karena kakaknya susah untuk berangkat kerja sudah tidak ada. Bukannya menjawab, Mas Beng malah melemparkan uang kertas seratus ribu ke mukaku.

“Nih, bayar cicilan mobil dan bayar kontakan cukup ada empat juta,harusnya cuma laku tiga juta karena aku paksa mau deh dibeli empat juta, besok  aku janji bawa BPKB ingatkan aja, udah jangan nangis lagi,” kata-katanya justru membuat tangisku makin menjadi. Kedua anakku menenangkanku yang sudah mulai histeris.

“Bajingan kamu Mas, tak tahu diri, selama ini aku sabar, itu motor adikku bukan punya kamu, harusnya kamu cari solusi bukan menambah masalah baru,” aku sudah tak tahan dengan sikapnya.

“Mamah, istiqfar mamah puasa, kita cari jalan keluar ya, kita tanya bapak dengan siapa dijual motor tante Ita,” adikku bukan orang berada, tetapi dia punya dua motor, yang satu dipakai suaminya, karena Ita sedang mengandung dia tak boleh membawa motor. Ita memberi pinjaman motor bukan memberikan motor padaku. Rencananya hari ini aku akan memulangkan motornya karena aku sudah tidak bekerja. Salahnya aku STNK motor ada di dompet kunci motor.

Benar saja uang penjualan motor itu lima juta rupiah, dan pembelinya tidak mau dikembalikan uang. Kalaupun aku mau menarik lagi motornya aku harus membayar enam juta.

“Mas, mengapa kau membuat hidupku seperti di dalam neraka, bagaimana harus aku katakan pada adikku,” aku tak tahu darimana mencari uang dua juta di situasi seperti sekarang ini. Uang di tabunganku tidak lebih dari satu juta itupun masih kurang untuk membayar kontrakan kami yang tinggal dua minggu.

Kupandangi si putih yang masih berdiri angkuh seakan mengejek. Sisa-sisa keberanianlah yang membawaku untuk mengemudikan si putih dan membawanya ke dealer mobil bekas. Tanganku sudah mengenggam rupiah yang sebagian akan aku gunakan menebus motor adikku dan kontrakan yang akan kubayar tiga bulan ke depan. Sisanya aku pakai berdagang aku buat masker yang memang diminati. Tak akan aku biarkan virus yang saat ini heboh dan berasal dari Wuhan, Tiongkok yang namanya  keren novel coronavirus membuat kehidupan kami mati. Katanya virus ini merupakan jenis coronavirus baru yang sebelumnya belum pernah ditemukan. Virus ini datang dari hewan dan biasanya menular pada mereka yang bekerja di pasar hewan atau tempat penyembelihan hewan. (5)

Apapun namanya Ramadhan kami harus bermakna dengan semua kehidupan yang berubah mulai ibadah juga silaturahmi kami. Biarlah ditangani pemerintah, aku cukup menangani hidup keluarga kecilku. Aku harus bangkit musibah ini bukan aku saja yang menderita seluruh Indonesia ikut menderita.

“Nuri, setan Kau dasar istri ga tahu diri berani ambil keputsan sendiri,” sumpah serapah terdengar petang itu di rumah kecil kami. Aku sudah tulikan telingaku dengan sumpah serapahnya. Beberapa barang sudah mendarat di pelipis dan tanganku. Darah merah mengotori wajahku, aku tetap tegar harus berani melangkah. Tak kubiarkan Ramadhan keluarga kami basah air mata.

(Suken April 2020)

(1) https://travel.detik.com/travel-news/d-4990909/berita-populer-sepekan-jokowi-larang-mudik?_ga=2.163168508.1369086747.1587797413-170603213.1584515009

(2)  https://www.cnbcindonesia.com/news/20200406110226-4-149978/catat-ini-alasan-ri-wajibkan-pakai-masker-saat-keluar-rumah

(3) https://www.pikiran-rakyat.com/ekonomi/pr-01356450/ojek-online-tetap-beroperasi-di-pandemi-virus-corona-gojek-siapkan-berbagai-inisiatif

(4) https://www.liputan6.com/bola/read/4211246/alasan-social-distancing-saat-pandemi-virus-corona-covid-19-begitu-penting

(5) https://www.cigna.co.id/health-wellness/tentang-virus-corona

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA