Oleh: Denny JA
Puisi segera menjadi mahluk langka. Siapa yang membunuh puisi?
Washington Post lima tahun lalu, 2015, menurunkan reportase yang memberi pesan itu. Puisi dalam bentuknya yang sekarang semakin ditinggalkan. Yang pernah membaca minimal satu puisi saja tahun itu, di Amerika Serikat, merosot dari 19.2 persen (1992) menjadi tinggal 6.7 persen (2012).
Tanpa ada inovasi yang nyata dari masyarakat pecinta, puisi segera menjadi hobi unik yang beredar di kalangan sangat sedikit manusia saja.
Hasil riset inilah yang terkenang kembali ketika ada kebutuhan saya menjelaskan background lahirnya puisi esai, puisi esai mini, dan terakhir: meme berpuisi.
-000-
Media online Cakra Dunia, terbit hari ini (25/4, 2020) menerbitkan puisi yang tak biasa. Redaksi mengantar karya itu dengan sebutan Meme Bepuisi.
Maka muncullah lima judul puisi. Semua bertema virus corona. Semua puisi didahului oleh dua sampai tiga meme. Setiap meme menampilkan berita terbaru drama di sekitar pandemik. Setelah meme, menyusul ekspresi populer dalam larik puisi.
Lima meme berpuisi ini diambil dari medsos Denny JA (saya sendiri). Sejak 40 hari sebelumnya, saya merekam perkembangan mutakhir pandemik dalam aneka meme plus ekspresi kata kata.
Aneka drama bersumber dari berita. Misalnya, kisah negara paling kuasa Amerika Serikat. Tapi di era virus corona, negara itu berbalik menjadi paling tak berdaya.
Terlepas dari senjata nuklir mereka yang paling canggih, tapi warga Amerika Serikat yang paling banyak terpapar. Juga yang paling banyak mati.
Ada kisah rumah ibadah yang kosong. Kabah, Mesjidil Haram, Basilika Santa Petrus, Vihara, Sinagog, semua ditutup, tak dikunjungi. Betapa para pendeta, ulama, biksu tak berdaya. Tak ada yang bisa mereka lakukan untuk memusnahkan virus. Tak ada yang bisa mereka rujuk dari kitan suci untuk menciptakan vaksin itu.
Para pemuka agama itu berbaris di belakang ilmuwan di labolatoriun. Satu satunya obat pemusnah akan datang dari vaksin. Ibu kandung vaksi itu adalah labolatorium. Kini ilmuwan di labolatorium menjadi panglima perang melawan virus.
Setiap hari soal virus corona ada isu baru. Perkembangan histeri dunia, drama di 200 negara, rasa resah 7 milyar manusia, makin hari makin bervariasi. Unik.
Jurnalisme menangkap momen itu menjadi berita. Tapi perlu ada medium lain yang cepat memotretnya menjadi cerita. Medium itu dapat dibuat cepat, disebarkan juga cepat. Ia juga dapat dibaca dan dinikmati cepat.
Dunia digital sudah menemukan medium itu: meme.
Tapi segala hal berevolusi. Termasuk meme. Saya tambahkan dalam meme itu, satu untaian kata. Jadilah ia Meme plus untaian kata. Lebih indah menyebutnya meme berpuisi.
Meme berpuisi ini bisa disebut sebuah fast food dunia sastra. Ia jenis puisi cepat saji. Ia untaian kata yang dibuat cepat. Ia dibaca dan mudah dimengerti dengan cepat. Ia juga bisa disebar cepat di era media sosial.
Meme berpuisi itu tidak dibuat untuk para penikmat sastra serius. Tentu saja. Ia melayani segmen pembaca umum yang perlu update cepat perkembangan setiap hari, bahkan setiap jam.
-000-
Mengapa harus ada meme berpuisi? Bukankah sudah ada banyak jenis puisi? Bukankah sudah ada pula puisi esai, puisi esai mini?
Lain momen, lain ekspresi. Beda kebutuhan, beda jenis tulisan.
Data dari National Survey of Public Participation in the Arts (SPPA) sudah bercerira banyak. Sejak tahun 1992 hingga 2012, konsisten trend data itu. Puisi dalam bentuknya yang lama segera menjadi mahluk langka.
Di tahun 2012, tersisa hanya 6.7 persen penduduk Amerika Serikat yang membaca minimal satu puisi satu tahun.
Data LSI 2018 lebih jauh lagi. Bahkan pembaca sastra pada umumnya di Indonesia bersisa 6,2 persen.
Pembaca puisi tersisa hanya 2.5 persen yang mengklaim membaca minimal satu puisi dan bisa menyebutkan judul puisi serta nama pengarang dengan benar.
Mengapa puisi jenis lama semakin ditinggalkan? Dua hal menjadi penyebab.
Pertama, bahasa puisi jenis lama adalah bahasa yang umumnya kenyal, padat, multi tafsir dan juga gelap. Bahasa jenis ini hanya dinikmati oleh komunitas yang memilki pengalaman literer saja. Jumlah komunitas ini kian hari kian kecil.
Masyarakat banyak, bahkan kalangan terpelajar banyak tak mengerti bahasa puisi itu. Mereka semakin tak bisa menikmatinya.
Kedua, isu yang ditulis umumnya para penyair adalah isu yang mengendap lama. Umumnya itu suasana psikologis para penyair. Isi puisi semakin berjarak dengan isu sentral yang sedang bergetar di masyarakat.
Bukan masyarakat yang meninggalkan puisi. Tapi pertama- tama, oleh penyairnya, puisi itu terlebih dahulu yang meninggalkan masyarakat.
-000-
Sebuah ikhtiar perlu dibuat. Perlu ada pilihan bertutur lain yang juga mengadopsi perkembangan zaman.
Meme plus untaian kata atau meme berpuisi adalah ikhtiar itu. Grafis meme itu tentu saja makin lama makin bisa dibuat berseni. Untaikan kata yang menyertainya, makin lama tentu saja makin bisa dibuat mendalam.
Tapi bentuk meme berpuisi sudah ditemukan.
Tentu saja jangan berharap sajian fine dining ketika kita membeli fast food. Sebagaimana jangan berharap kedalaman sastrawi ketika kita membaca meme berpuisi.
Dari begitu banyak wisata kuliner, ada KFC dan McDonald sebagai fast food. Dari begitu banyak ragam bacaan, ada meme berpuisi sebagai fast food sastra.
Biarkan seribu bunga berkembang. Karena di taman itu hidup jutaan kupu kupu yang juga mempunyai seribu selera.*
April 2020
Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org
Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini
Comment