KOPI, JAKARTA– Di tengah isu kesenjangan dan ketimpangan ekonomi serta lambatnya laju pertumbuhan ekonomi sejak Tahun 2014-2019, dan merebaknya pandemik covid 19 diawal Tahun 2020, pemerintahan Presiden Joko Widodo kembali berutang dengan menerbitkan “Pandemik Bond”. Sementara itu, Bank Indonesia (BI) sebagai the last of lending resort memperoleh kucuran melalui Repo Line sejumlah US$60 Miliar dari The Fed of USA. Apakah memang tidak ada cara lain untuk mengatasi permasalahan keuangan negara dalam menghadapi pandemik covid 19 yang berdampak pada perekonomian nasional selain daripada mengajukan tambahan utang baru?
Realokasi Dan Efisiensi
Pembangunan infrastruktur telah dijadikan prioritas sejak Presiden Joko Widodo menjabat berpasangan dengan Wakil Presiden M. Jusuf Kalla, dan untuk menopangnya, anggaran bagi pembangunan infrastruktur terus dinaikkan setiap tahun. Pada Tahun 2014 alokasi untuk pembangunan infrastruktur didalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) baru sejumlah Rp154,7 Triliun. Namun, pada Tahun 2015 alokasi anggaran untuk infrastruktur meningkat menjadi Rp256,1 Triliun atau naik sebesar 39,6 persen. Alokasi anggaran terus bertambah pada Tahun 2016 menjadi Rp269,1 Triliun, sedangkan pada Tahun 2017 alokasi pembangunan infrastruktur mencapai Rp 387,7 Triliun, atau 18,6% dari total belanja APBN dan naik 22,3% dari APBN Tahun Anggaran (T.A) 2016. Sementara pada Tahun 2018 alokasinya kembali ditingkatkan menjadi Rp410,4 Triliun. Kemudian, dalam APBN T.A. 2019 pemerintah mengalokasikan dana Rp 415 Triliun untuk pembangunan infrastruktur. Jumlah tersebut meningkat Rp 4,6 triliun (1,1%) dari tahun sebelumnya (T.A. 2018). Dalam lima tahun terakhir anggaran infrastruktur terus naik, dan total alokasi anggaran yang telah dibelanjakan (2014-2019) berjumlah Rp1.893 Triliun.
Anggaran infrastruktur yang melalui belanja pusat mencapai Rp 173,8 triliun, adapun yang melalui Kementereian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Rp 108,2 triliun dan Kementerian Perhubungan Rp 38,1 triliun. Sementara yang melalui transfer Rp 196,2 triliun dan sisanya Rp 45 triliun melalui pembiayaan.
Sejak memimpin Indonesia, Oktober 2014, Presiden Jokowi sudah menancapkan tekad untuk membangun infrastruktur di seluruh pelosok negeri. Latar belakang kebijakannya disampaikan dengan analogi membangun rumah, infrastruktur adalah fondasi bagi pembangunan negara. Alasan lain adalah, setelah 69 tahun merdeka, 1945-2014, kondisi infrastruktur di Tanah Air belum memadai. Berbagai jenis infrastruktur di Indonesia, tertinggal dibanding negara lain, seperti Malaysia dan Thailand. Akibat minimnya pembangunan infrastruktur menyebabkan laju pertumbuhan ekonomi berjalan lambat dan pembangunan tidak merata. Mengutip Global Competitiveness Report (2016-2017), kondisi infrastruktur Indonesia berada di peringkat ke- 60 dari 138 negara. Indonesia berada di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand. Lima tahun sebelumnya, 2012-2013, kondisi infrastruktur Indonesia berada di peringkat ke-78. Jika akselerasi pembangunan infrastruktur terus dilaksanakan konsisten, peringkat infrastruktur Indonesia akan terus membaik. Benarkah logika pembangunan infrastruktur akan mengakselerasi pertumbuhan ekonomi, sementara faktanya terjadi perlambatan selama 5 tahun terakhir atau hanya tumbuh rata-rata 5 persen per tahun?
Pandemik covid 19 ini seharusnya menjadi hikmah bagi pemerintah untuk menghentikan pembangunan infrastruktur secara massif dan jor-joran dengan melakukan realokasi anggaran infrastruktur untuk penanganan wabah tersebut. Langkah lain yang harus ditempuh adalah melakukan efisiensi birokrasi melalui perampingan kabinet dengan menggabungkan beberapa kementerian atau lembaga yang selama ini tumpang tindih dan membebani keuangan negara. Skala prioritas pembangunan juga harus dirubah melalui momentum pandemik covid 19 yang berlangsung temporer dengan mengalokasikan porsi anggaran lebih besar untuk pembangunan pertanian dalam menggerakkan perekonomiian sebagian besar mata pencaharian masyarakat Indonesia serta memperkuat fundamental ekonomi bangsa. Dengan merubah skala prioritas tersebut, maka belajar dari pengalaman pemerintahan Presiden Soeharto dimasa Orde Baru, pertumbuhan ekonomi dapat dicapai 10,93 persen pada Tahun 1970, bahkan saat kondisi perekonomian Indonesia lebih buruk dibanding saat ini.
Jadi, sebenarnya tambahan utang baru yang diajukan ini akan disalurkan kepada siapa atas pelonggaran kewajiban pajak dan angsuran kredit untuk masyarakat? Benarkah stimulus ekonomi melalui penerbitan pandemik covid 19 (dengan alasan untuk penanganan wabah covid 19 dan dampak ekonominya) ini takkan mengulangi skema Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) saat Indonesia menghadapi krisis ekonomi dan politik Tahun 1998? Haruskah secara berkelanjutan mengulangi terus mengelola keuangan negara dengan cara besar pasak daripada tiang, lalu kapan kemandirian ekonomi itu terjadi?
*Opini oleh: Defiyan Cori- Penulis adalah Ekonom Konstitusi
Comment