by

Kapitalis vs Sosialis dalam Per-film-an PLTN dan Covid-19

Oleh: Dr. Geni Rina Sunaryo, Alumnus Tokyo University, Jepang

KOPI, Jakarta – Negara Kapitalis lamban tangani wabah Covid-19! Benarkah?

Kapitalisme dan sosialisme merupakan dua istilah paham perekonomian yang marak didengungkan setelah Perang Dunia Kedua. Perbedaannya terletak pada bagaimana mengelola sumber daya ekonomi dan mengatur sarana produksi agar menjadi sejahtera. Siapa yang sejahtera? Bagaimana strategi pengimplementasiannya, disinilah perbedaannya.

Kapitalisme cenderung menerapkan sistem ekonomi di mana perdagangan, industri dan alat-alat produksi dikendalikan oleh pemilik SWASTA. Sehingga terpecah antara pemodal dan pekerja. Prinsip bekerjanya berbasis pada mendapatkan keuntungan dalam ekonomi pasar. Pemilik modal berusaha meraih keuntungan sebesar-besarnya. Maka jurang kesenjangan antara si kaya dan miskinlah yang akan menjadi dominan.

Sosialisme secara garis besar menganut pada serangkaian sistem ekonomi dan sosial, yang ditandai dengan kepemilikan sosial sebagai kepemilikan negara, kolektif, koperasi, atau ekuitas. Walaupun begitu banyak varian sosialisme itu sendiri, sehingga tidak ada definisi tunggal apa itu sosialisme.

Adu unjuk kekuatan cengkeraman dan popularitas dalam mengatur ekonomi antara kedua paham ini terus berlangsung. Tak pernah henti. Dan ini selalu menjadi menarik untuk dikaitkan dengan topik apapun yang menjadi trend.

Sebelum masuk kedalam analisa terkait wabah Covid-19, kita lihat keseteruan kedua paham itu di dunia nuklir. Sepertinya menarik. Mengapa? Mempunyai PLTN identik dengan kibaran bendera penguasaan teknologi tinggi. Tanpa perlu berteriak, ‘jegreg’nya PLTN dalam suatu negara langsung meningkatkan ke’kereng’an suatu bangsa. Mengoperasikan sebuah PLTN adalah ibarat – sekali mendayung terlampaui dua tiga pulau. Karena ada bonus yang melekat, secara otomatis, dalam peningkatan ketahanan pertahanan negara. Karena menguasai teknologi PLTN berarti sangat paham teknologi pembuatan senjata nuklir. Tetapi, jangan cemas, implementasi nuklir di Indonesia hanya untuk kesejahteraan masyarakat. Bukan senjata nuklir.

Negara kapitalis yang mempunyai Produk Domestik Bruto (penghasilan per kapita) nya tinggi seperti Amerika, Jepang, Jerman dan Inggris. Tidak satupun dari mereka yang tidak menggunakan jasa PLTN. Amerika dengan 104 PLTN, Perancis 59 dan Jepang 55. Bagaimana dengan negara yang dianggap sosialis? Kita lihat Russia dan China, sebagai negara tandingannya Amerika, Rusia mempunyai 37 PLTN dan China lebih dari 46. Sebagai catatan, Jerman saat ini, tidak mengoperasikan PLTN, tetapi membeli listrik dari Perancis yang notabene juga dari PLTN. Dan China tidak sepenuhnya sosialis, sejak masa pemerintahan Deng Xiaoping.

Fakta diatas telah berbicara bahwa PLTN adalah pembangkit listrik yang dipakai oleh kapitalis maupun sosialis. Ini bukti nyata, bahwa PLTN menguntungkan dan sarana penyedia kebutuhan listrik masyarakat. PLTN ekonomis dan dapat men sejahterakan. Teknologi PLTN ‘mengena’ di pola pikir kedua paham pengelolaan ekonomi dunia tersebut. Selain dapat ber skala besar hingga 1400 MW, pengoperasiannya mudah dan bebas polusi.

Lalu bagaimana dengan kepiawaian kedua paham tersebut menyediakan sarana dan prasarana terkait Kesehatan dalam penanganan Covid-19? Perbedaan Pola pikir kapitalis dan Sosialis memberikan imbaskah? Menjadi semakin tinggi atau rendahkah angka kejangkitan, kematian dan kesembuhan dari penderita Covid-19? Mana yang lebih cekatan dan jitu?

Seperti halnya PLTN, keterkaitan kedua paham ini terhadap wabah Covid-19 juga menarik untuk dianalisis dan disimak!

Negara kapitalis, sering mendapat tudingan negatif dan lamban. Karena untung rugi dari sisi ekonomi selalu menjadi pertimbangan teratas. Mbulet! Akhirnya butuh waktu yang lebih panjang dalam mengambil suatu keputusan. Padahal penanganan wabah Covid-19 harus gerak cepat, penyebaran virus bergerak terus. Taruhannya adalah nyawa manusia. Naiknya angka kematian tidak bisa dihadang.

Jadi benarkah tudingan itu? Mari kita analisis berbasis pada data terkini. Walaupun belum akurat, karena data masih terus bergerak. Wabah Covid-19 belum selesai, apalagi di Indonesia per tanggal 24 April angka kematian bertambah 42 orang dari total 34 provinsi, sehingga merambah naik menjadi 689.

Parameter kesuksesan penangan pandemi korona dapat dilihat dari angka manusia yang terjangkit, kematian dan kesembuhan. Dimana ketiga parameter itu mengindikasi sejauh mana kepiawaian menghentikan penyebaran dan kecanggihan ilmu kedokteran dalam penyembuhan. Tingginya angka kejangkitan dan kematian mengindikasikan kelambanan dan ketidakpiawaian dalam mengambil tindakan. Ada parameter tambahan yang juga penting yaitu durasi penuntasan wabah. Semakin pendek durasi penuntasan wabah, semakin banyak acungan jempol.

Kita lihat dahulu peringkat negara yang mempunyai skala terbesar sebagai negara kapitalis yang dibuat oleh American Heritage Foundation. Ada 180 negara. Kemudian data tersebut dihubungkan dengan peringkat kepiawaian dalam menangani krisis Covid-19 yang dibuat Heritage Foundation.

Dari 5 peringkat utama negara kapitalis, didapat sederet nama negara. Mulai dari yang tertinggi ke terendah, yaitu 1-Singapura (8), diikuti oleh 2-Hong Kong (10), 3-Selandia Baru (6), 4-Australia (4) dan 5-Swiss (11). Peringkat kepiawaian dalam menangani Covid-19 ditulis dalam tanda kurung. Singapura dengan sebagai negara kapitalis urutan pertama masuk dalam peringkat no 8 dalam penangan wabah Covid-19. Australia sebagai negara kapitalis rangking 4 adalah juga urutan ke 4 dalam ke-handalannya menangani krisis Covid-19. Ke 5 negara kapitalis tulen itu masuk dalam 11 besar negara yang cerdas dalam penanganan pandemik Covid-19.

Dari kedua agensi pengkoleksi data diatas, menunjukkan bahwa dari 40 negara yang dianggap terbaik dalam penanganan krisis korona, 90% nya penganut ekonomi pasar bebas (kapitalis). Dimana 17% nya negara dengan derajat kebebasan kapitalis terkuat. Perlu ditambahkan sbahwa perangkingan negara kapitalis ini berbasis pada penilaian kekuatan sistim supremasi hukum, ukuran pemerintah, efisiensi pengaturan dan pasar terbuka. Kesemua parameter tersebut ecara garis besar memberi kemudahan warga dalam memperoleh Kesehatan, pendidikan, karir, tempat tinggal, listrik, makanan sehat, air minum, keamanan dan lain sebagainya, juga ketegasan hukum.

Jadi, tudingan bahwa kapitalis adalah lamban dalam menangani krisis tidak sepenuhnya benar.

Data diatas sama sekali tidak menunjukkan korelasi sebab akibat yang kuat antara derajat pasar bebas dan perlindungan masyarakat terhadap virus corona. Contohnya Inggris yang berada pada peringkat ke-7 dalam indeks Heritage Foundation, tetapi tidak termasuk di antara 40 negara yang memberikan perlindungan terbaik terhadap COVID-19 bagi warganya. Amerika juga. Kedua negara tersebut terlalu banyak menyita waktunya untuk tidak mengutamakan memerangi krisis secara cepat. Sehingga berada pada peringkat teratas dalam angka kejangkitan dan kematian. Amerika meraup sepertiga angka kematian dari total angka dunia. Sangat tragis.

Terlepas dari kenyataan bahwa Peringkat kepiawaian suatu negara dalam menangani COVID-19 adalah penilaian sementara, tetapi satu hal yang bisa diangkat dengan jelas bahwa analisis ini telah membawa pada suatu penganuliran branding bahwa negara berpaham “pasar bebas” atau “kapitalisme”, bukanlah negara yang sepenuhnya lamban dalam memerangi korona. Data ini telah meruntuhkan tesis intelektual sayap kiri yang mengadvokasi kapitalis, dalam banyak artikelnya.

Bagaimana dengan Korea Utara? Penganut paham kediktatoran yang super rigid. Seolah tidak pernah terjadi kejahatan dan juga zero angka pengangguran. Tidak ada kelaparan dan kemiskinan. Juga berada pada derajat kebebasan ekonomi yang rendah. Negara ini tidak masuk dalam seretan 40 negara yang bagus dalam menangani Covid-19. Karena sama sekali tidak memiliki satu kasus resmi terkait virus korona.

Venezuela? Urutan 179 dalam pasar bebas. Tidak masuk dalam list negara piawai memerangi virus korona. Sistem kesehatannya sangat sulit dimasukkan kategori baik. Hanya tersedia 46 rumah sakit dengan total 206 tempat tidur untuk perawatan intensif, dan 102 ventilator. Secara prosentase adalah kurang dari 10% kesiapannya. Tambahan pula, ketersediaan listrik, air, obat-obatan, dan peralatan pelindung diberitakan sangat minim.

Bagaimana dengan negara tercinta Indonesia? Miripkan Indonesia dengan Venezuela dalam menangani pandemik? Atau lebih parah? Indonesia masuk dalam urutan ke 68 dari 180 negara kapitalis. Tetapi penanganan krisis Covid-19 nya kepontalan. Masuk dalam peringkat teratas angka kematian di asia tenggara. Mendekati 10%. Menerapkan pembatasan sosial skala besar, menjadi bukan pilihan. Karena butuh dana besar untuk supplai kebutuhan pangan. Akhirnya, kalah piawai dengan Vietnam yang sudah mulai melepas instruksi ‘pembatasan sosial skala besar’. Sungguh sangat mengkhawatirkan. Jika Indonesia tidak lebih cerdas dan cekatan lagi dalam mengambil tindakan, entah kapan kasus ini akan berakhir. Yang jelas akan berimbas pada segala hal termasuk kemungkinan pen screening-an ketat penduduk Indonesia untuk masuk ke negara tetangga. Ujung imbasnya akan ke ekonomi juga.

Penjelasan diatas telah membawa pada suatu pemikiran bahwa, terlepas dari kapitalis maupun sosialis, faktor ‘nilai manusia’ atau ‘nilai akhlak’ sebagai pelaku ekonomi sangat memegang peranan penting. Harus memiliki nilai akhlak yang tinggi. Harus mempunyai nilai emosi ‘talikasih antar sesama’ yang tinggi. Walaupun sifat ‘tamak’ yang dimiliki manusia itu pasti ada, dan diprediksi akan terakselerasi di sistim kapitalis, yang tidak bisa dihindari. Tingginya ‘nilai akhlak’, ‘talikasih’, akan membawa si pelaku bisnis kedua paham ekonomi, pada keberhasilan dalam menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan masyarakat nya. Nilai akhlak dan rasa kasih yang tinggilah yang telah membawa pada kepiawaian menetapkan strategi yang jitu dalam memerangi Covid-19.

Jangan egois. Mari bantu diri sendiri, keluarga dan Indonesia untuk menjadi pemenang dalam memerangi wabah Covid-19. Patuhi protokol yang digariskan pemerintah. Jaga KEBERSIHAN diri dan lingkungan. Serta, JAGA JARAK biar AMAN.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA