Oleh: Dr. Mun’im Sirry, Alumnus Ponpes Al-Amin Prenduan Madura/Dosen Studi Islam University of Chicago, USA
KOPI, Jakarta – “Ah, dia kurang piknik!” Kalimat itu sudah beberapa kali saya dengar sejak menginjakkan kaki di Tanah Air tercinta. Sebelumnya saya juga membaca ucapan itu di grup WhatsApp (WA). Tiba-tiba saya teringat sejumlah riwayat yang mengajarkan supaya kita beragama secara rileks. Islam gembira yang ramah piknik.
Belakangan, spirit beragama yang ramah hiburan dan suka-ria itu tergerus seiring merebaknya imajinasi kesalehan sebagai identik dengan bentuk-bentuk yang tidak rileks. Tasbih di tangan, zikir yang mengalir deras, serta simbol-simbol fisik, seperti jenggot dan pakaian.
Menariknya, tanda-tanda kesalehan itu dapat menghapus citra buruk dalam sekejap. Seorang yang disangkakan terlibat dalam chat berisi pornografi tiba-tiba muncul di hadapan publik dengan tasbih di tangan, mengenakan jilbab syar’i, sembari melafazkan kata-kata Arab. Pencitraan itu cukup berhasil. Terbukti, alih-alih dituduh mengganggu keluarga pihak lain, yang terjadi justru munculnya pembelaan. Diposisikan sebagai korban kriminalisasi.
Sebenarnya chat personal berkonten pornografi itu pun sebagiannya merupakan akibat dari kurangnya hiburan di ruang publik. Piknik dan hiburan dianggap la‘ibun wa lahwun (permainan dan kelalaian), yang dikecam al-Qur’an.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mendiskusikan kaitan chat pornografi dan hilangnya spirit Islam piknik. Saya hanya ingin menggarisbawahi beberapa riwayat yang mengindikasikan bahwa sikap Nabi Muhammad SAW terhadap hiburan dan bersuka-ria lebih terbuka daripada yang umumnya kita duga.
Aisyah dan Hiburan
Riwayat paling masyhur yang membolehkan hiburan dan bergembira-ria, termasuk bernyanyi dan berdendang, ialah terkait istri Nabi termuda, Aisyah. Disebutkan, sejumlah wanita Etiopia menyuguhkan hiburan di rumah Aisyah. Mereka bernyanyi dan berdansa. Nabi ikut hadir saat itu dan sama sekali tidak melarangnya.
Banyak riwayat lain mengisahkan penampilan orang-orang Etiopia, dan sebagian besarnya dikaitkan dengan kehadiran Aisyah. Abdurrazzaq (w. 211/827), dalam kitab Mushannaf, menyebutkan beberapa versi berbeda. Misalnya, hiburan berlangsung di kediaman Nabi, dan Aisyah dipersilakan untuk menontonnya. Bahkan, ada riwayat yang menyebutkan peristiwa itu terjadi di masjid Nabi.
Juga, diriwayatkan sahabat Umar bin Khattab sempat bereaksi keras terhadap penampilan wanita-wanita Etiopia di dalam masjid Nabi. Bukan hanya Umar ditegur oleh Nabi, beliau dikabarkan malah memberikan semangat kepada para penghibur tersebut.
Aisyah meriwayatkan, suatu saat ayahnya, Abu Bakar, memasuki kamar Aisyah dan menjumpai dua wanita yang sedang bernyanyi dan berdansa. “Siulan setan telah memenuhi rumah Nabi, dan di hari lebaran pula!” cegah Abu Bakar. Namun, Nabi bersabda, “Biarkan saja, Abu Bakar. Ini hari bersenang-senang. Setiap masyarakat punya hari khusus untuk makan-makan dan bersenang-senang.”
Dari aspek ilmu hadis, kisah-kisah di atas sulit untuk dibantah. Bahkan, muhadis terkemuka abad ke-20 Nasiruddin Albani membenarkan otentisitas hadis Aisyah tersebut. Karena itu, para ulama ortodoks mencari-cari alasan untuk membatasi bolehnya hiburan, nyanyian, dan berbagai bentuk penampilan artistik.
Misalnya, mereka berargumen bahwa dibolehkannya hiburan terbatas bagi anak-anak sebelum dewasa. Dalam tafsir mereka, usia Aisyah waktu itu masih sangat muda, dan para penyanyi dan penari pun terdiri dari anak-anak. Ada juga ulama ortodoks yang membatasi hiburan khusus pada hari lebaran.
Tentu saja tidak sulit untuk membantah argumen mereka. Walaupun usia Aisyah masih cukup muda, namun dia sudah resmi menjadi istri Nabi. Hadis-hadis Aisyah bersifat umum karena tidak disebutkan kapan persisnya peristiwa tersebut terjadi.
Bagi kaum Sufi, riwayat-riwayat Aisyah itu menjadi amunisi untuk membenarkan praktik bersenandung demi keintiman spiritual yang dikenal dengan sama’. Tarian Rumi yang dikenal dengan whirling Dervishes masih bisa disaksikan hingga sekarang.
Reaksi terhadap Yahudi dan Kristen
Menarik dicatat, Nabi memperkenalkan “Islam gembira” justru sebagai respons terhadap cara beragama Yahudi dan Kristen yang terlalu saklek. Dicatat oleh Ibnu Mandhur dalam karya monumentalnya, Lisan al-‘arab, bahwa saat para biduanita Etiopia sedang bernyanyi dan bersuka-ria, Nabi memberikan semangat, “Ayo lanjut terus, wahai bani arfida!” (dunakum ya bani arfida).
Pernyataan Nabi ini ditafsirkan oleh pensyarah hadis al-Munawi (w. 1031/1621) sebagai bukan sekadar penyemangat supaya mereka lebih bergelora. Dalam bukunya, Faidh al-qadir fi syarh al-jami‘ al-shaghir, Munawi mengaitkan sabda tersebut dengan “protes” Nabi atas kekakuan model keberagamaan orang-orang Yahudi dan Kristen.
Sayangnya, Muwani tidak menjelaskan di mana letak kekakuan komunitas agama sebelumnya, terutama Kristen. Dia hanya menjelaskan seruan Nabi dengan menyandingkan kebebasan rekreasi, piknik, dan bersuka-ria dalam Islam dengan pembatasan-pembatasan yang dilakukan orang-orang Yahudi dan Kristen terhadap diri mereka dikarenakan terlalu kaku dalam mengamalkan kewajiban agama (yusyaddiduna).
Menurut Munawi, ada bukti lain bahwa “Islam gembira” yang ditawarkan Nabi memang untuk membedakan dari Yahudi dan Kristen yang terkaku. Yakni, sabda Nabi, “Ulhu wa il’abu fa-inni akrahu an yura fi dinikum ghilza” (Bergembiralan dan bermain-mainlah! Saya tidak suka melihat kekakuan dalam agama kalian).
Sekarang kita dapat bertanya, siapakah yang menciptakan Islam saat ini sebagai agama yang kaku? Dulu baginda Nabi mengkritik rigiditas Kristen, tapi coba sekarang lihat agama mana yang lebih rigid?
Masih menurut Munawi, sabda Nabi itu juga mengandung makna dorongan bagi umat Muslim sendiri untuk ikut terlibat dalam aktivitas kegembiraan dan bersuka-ria. Jika benar ada kaitan antara dorongan Nabi dan rigiditas Yahudi dan Kristen, maka penjelasan Munawi ini cukup masuk akal.
Ironinya, ulama-ulama ortodoks belakangan yang melarang hiburan mendasarkan argumennya pada pengaruh Yahudi dan Kristen. Ibnu Qayyim (d. 751/1350), misalnya, menganggap nyanyian dan segala bentuk hiburan akan menjerumuskan pada kekafiran. Praktik sama’ di kalangan sufi pun dianggap bid’ah yang menyesatkan.
Padahal, fondasi Islam gembira mengakar kuat dalam sejumlah riwayat yang dinisbatkan kepada Nabi, dan bukan bid’ah. Kini model keberagamaan yang rileks dan ramah hiburan dan piknik telah menjadi apa yang disebut Nabi sebagai “dhallah al-mukmin” (harta kaum Mukmin yang hilang).
Jika kita bermaksud menghidupan kembali Islam zaman Nabi, ya mari kita gelorakan kembali Islam gembira yang tidak mudah mengutuk dan mengkafir-kafirkan kanan-kiri.
Comment