by

In Memoriam Satya Nugraha Laksana, Impossible Mission

Satya Nugraha Laksana (Alm)

KOPI, Bekasi – Selasa (14/4/20) siang pukul 10.53, sahabat dekatku Satya Nugraha Laksana meninggal dunia di di RS Hermina, Bekasi. Sebagai sahabat, aku sebenarnya ngin melihat dan melayat jenazahnya ke peristirahatan terakhir.

Tapi kondisi pandemi corona menyebabkan aku membatalkan niat itu. Hanya doa dan air mata, usai salat lohor di rumah, yang mengiringi sahabatku ke istana abadinya.

Banyak sekali momen kebersamaan antara aku dan Satya, mantan wartawan Majalah Amanah, yang tak terlupakan. Salah satunya, adalah ajakan Satya untuk memperingatkan dukun-dukun sakti di seluruh Pulau Jawa agar menghentikan praktiknya.

Sebagai warga Muhammadiyah militan, Satya mewarisi ajaran para pendiri dan pepunden persyarikatan: Kemurnian tauhid. Tanpa kompromi.

Ia sangat antiperdukunan, klenik, mistik, dan semacamnya. Aku salut. Menurut Satya, kekacauan dan kerusakan moral bangsa Indonesia, salah satu penyebab terbesarnya adalah maraknya praktik perdukunan.

“Allah, semua Rasul dan Nabi; seluruh Malaikat sangat marah terhadap dukun-dukun yang merusak tauhid,” kata Satya bersemangat.

“Ayo Simon kita berantas perdukunan di Indonesia,” ajaknya menggebu.

Satya menyatakan, jangan pernah takut terhadap gertak sambal dukun. Mereka itu bohong. Ancamannya tak akan terbukti. Mereka berlindung kepada setan dan jin. Sedangkan kita, manusia beriman, berlindung kepada Allah. Setan dan jin pasti takut kepada Allah. Ujar Satya.

Barangkatlah Satya, Pak Umar (mantan pejabat Pertamina), Mbak Ipuk (istri Pak Umar), Bu Dunuk (psikolog), dan aku ke daerah Pasar Rebo, Jakarta Timur. Berdasarkan pengamatan Bu Dunuk, wilayah Jakarta Timur adalah pusat perdukunan di Jakarta. Salah satu epicentrumnya adalah daerah Pasar Rebo.

SOP-nya ketika bertamu untuk mengingatkan dukun, harus ramah. Cara menasehatinya juga harus mujadalah, dengan dalil ilmiah dan kitabiah. Juga tidak makan suguhan dukun di rumahnya dengan alasan yang tidak menyakitkan.

Salah satu pengalaman paling menarik adalah ketika kami mendatangi dukun Ki Joko Bodo (KJB). Saat itu, KJB adalah dukun seleb dan sangat terkenal di Indonesia. Rumahnya seperti istana. Besar dan mewah. Di atas rumah KJB ada banner dengan tulisan “Istana Wong Sinting”. Di sudut kiri halaman rumah ada taman bunga. Namanya: Taman Sesajen. Ruang tamunya besar. Terlihat puluhan kamar yang bersebrangan ruang tamu dengan eksterior mistis. Bau asap kemenyan dari sudut-sudut rumah menguar di ruang tamu. Harumnya yang mistis membuat bulu kudukku berdiri.

Di ruang tamu, Satya menjelaskan maksud kedatangannya, lalu meminta KJB menghentikan praktik perdukunannya.

Apa jawab KJB? “Ini ilmu warisan leluhur. Kalau orang menuntut ilmu di sekolah, madrasah, dan universitas — aku menuntut ilmu dari para leluhur. Kan sama-sama ilmu,” ujar KJB. “Bukanlah Nabi Muhammad memerintahkan umatnya untuk menuntut ilmu sampai ke negeri Cina sekali pun?” tambah KJB.

Setelah itu, KJB bercerita tentang pelanggannya yang bermacam-macam. Mulai wanita yang ingin dapat jodoh, pedagang yang ingin laris jualannya, pejabat yang ingin naik pangkat, politisi yang ingin jadi eksekutif, dan macam-macam.

Tarif ‘konsultasi’ ke KJB saat itu, sangat mahal. Aku sempat menanyakan seorang ibu yang sudah sering konsultasi. Katanya, sekali datang, membayar Rp 800.000. Itu awal tahun 2000-an. Berarti, tarifnya lebih mahal ketimbang konsultasi ke dokter spesialis jantung. Panteslah KJB kaya raya. Deretan mobil mewah berjajar di garasinya.

Setelah mengubek-ubek Jakarta Timur, hari berikutnya, Satya bersama Pak Umar pergi ke Gunung Lawu (GL). Konon, GL adalah episentrum perdukunan di Pulau Jawa.

Aku tidak ikut ke GL. Satya bercerita, di GL banyak sekali dukun yang serem. Interior rumahnya, busananya, dan gaya bicaranya membuat orang merinding.

“Tapi aku tidak takut dukun. Aku tetap datang menemuinya, lalu mengajak bertaubat dan meninggalkan praktik perdukunan. Aku tekankan kepada para dukun, yang menentukan jalan hidup manusia itu Allah. Manusia hanya wajib berusaha dan berdoa,” cerita Satya.

Waktu Satya ke Gunung Kawi bersama rombongan antidukun, aku ikut. Satya langsung menemui kuncen Gunung Kawi. Satya mengingatkan juru kunci agar praktik perdukunan di Gunung Kawi dihentikan. Tentu saja sang kuncen kaget. Orang biasanya datang ke Gunung Kawi minta jimat dan mantra pesugen agar cepat sugih. Tapi Satya justru minta situs keramat di Gunung Kawi ditutup.

Yang bikin gemetar, selama berada di Gunung Kawi, kami tidak diperbolehkan makan dan minum dari warung yang ada di sana. Sampai jam 14 siang, aku lapar dan haus. Badan pun gemetar. Makanan dan minuman yang kami bawa sudah habis untuk sarapan pagi.

Kenapa makanan di Gunung Kawi haram? Mbak Ipuk menjawab, karena semua makanan dan minuman di situ sudah “tercemar’ praktik kemusyrikan. Allah tidak menyukai makanan yang subhat. Yang gak jelas kehalalannya. Mbak Ipuk menganggap semua makanan di Gunung Kawi subhat. Tak boleh dimakan. Usai menemui kuncen Gunung Kawi, kami langsung pergi ke kota terdekat. Membeli makanan dan minuman.

Satya — ledekku ketika berada di mobil — kau melakukan impossible Mission. Nyaris tak mungkin menghentikan perdukunan di Pulau Jawa.

“Aku menjalankan missi Allah, Simon. Tak ada yang impossible di tangan Allah,” ujarnya serius. Semuanya possible di tangan Allah. Sesulit apa pun — tambah Satya.

Satya benar. Ki Joko Bodo, misalnya, kini sudah bertobat. Ada saja cara Allah mengabulkan doa agar para dukun dikembalikan ke jalan yang benar. Aku tak tahu berapa banyak dukun yang kini bertobat setelah kami menjalankan mission impossible itu. Yang jelas, Rahmat Allah jauh lebih luas daripada LaknatNYA.

Pintu taubat dari Allah selalu terbuka untuk hamba-hamba yang memohon maaf dan ampunanNYA. Termasuk para dukun yang menjalankan praktik kemusyrikan. Selama nafas masih ada, pintu taubat selalu terbuka. Untuk siapa pun. Untuk perbuatan dosa sebesar apa pun.

Satya adalah kader antikemuysrikan paling berani. Jiwa kemuhamadiyahannya sangat kental. Tidak takut sedikit pun pada kesaktian dukun. Baginya, yang ditakuti hanya Allah.

Kini, sang petarung antidukun itu telah tiada. Satya pergi ke alam baka hanya beberapa hari setelah istrinya, Mulatsih, meraih gelar doktor ekonomi di Universitas Indonesia. Mulatsih — wanita cantik asal Purworejo, alumnus FEB UGM, dosen ekonomi di Universitas Gunadarma, Jakarta — baru tiga tahun menikah dengan Satya.

Satya, sahabatku, cara Allah memanggilmu luar biasa. Meski melalui corona. Kau telah berhasil mendapat pendamping yang salihah, cantik, dan pinter, sesuai doa-doa yang kau panjatkan kepadaNYA.

Kini Allah memanggilmu untuk memberikan imbalan surga atas jasa-jasamu mengingatkan para dukun untuk bertobat. Untuk kembali kepada Allah semata.

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA