Oleh: Syaefudin Simon
Sri, 30 tahun kita tak jumpa
Sejak kita lulus dari MIPA Kimia
Universitas Gajah Mada Yogyakarta
Kini, kita bersua, sudah sama sama tua
Tapi kecantikanmu masih sempurna
Sri, tahukah kau, sejak kita berpisah
Aku tak sanggup mencari lagi wanita
Yang mampu membuatku bahagia
Yang menerbangkan hatiku ke surga
Kecuali dirimu yang ayu bak Sumbadra
Sri, sungguh aku tak mengira
Kita berjumpa lagi di Jakarta
Dalam kondisi kau terpapar corona
Hingga tubuhmu melemah
Layu, membisu, tanpa daya
Sri, aku tetap bangga
Kau rela menungguku sampai tua
Tak menikah dengan siapapun pria
Demi menjaga cinta kita
Sri, ketahuilah, aku pun sama denganmu
Sampai kini aku selalu merindukanmu
Aku tak pernah tergoda wanita ayu
Karena cintaku sudah terpatri padamu
Sri, bidadariku yang cantik, kau mengejutkanku
Tetiba kini kau berada di depanku
Sungguh tak sengaja aku menemukanmu
Di Wisma Atlit Kemayoran yang penuh riuh (1)
Sri, lihatlah aku
Orang yang selalu menyintaimu
Rela hidup sendiri sepanjang waktu
Demi mengharap tetesan madu
Dari cinta kita yang terbelenggu
Karena tak mendapat restu orang tuamu
Sri, Kenapa dulu kau pergi tanpa pamit padaku
Kau pun pergi tanpa pamit orang tuamu
Kau marah padaku dan orang tuamu
Yang mendadak menjegal penghulu
Walau sudah di depan pintu
Sri, aku diancam orang tuamu
Jika aku nekad menikahimu
Bunuh diri, itulah ancaman ibumu
Sungguh aku tak sanggup melihat semua itu
Demi keutuhan keluargamu
Sri, bagiku, seorang ibu adalah segalanya
Ibumu adalah tuhanmu yang kedua
Sedangkan aku, bukan siapa siapa
Tanpa ibu, hidupmu hampa
Biarkan aku pergi, menjauh darimu dan keluargamu
Sri, ternyata, aku salah duga
Ternyata cintamu kepadaku tiada tara
Sehingga kamu rela hidup sebatang kara
Demi cintamu yang tak terbelah
Sri, lihat aku di sebelahmu
Meratap pedih di kamar nol tujuh
Melihat kau terbaring di kamar bercat biru
Di Wisma Atlit Kemayoran yang gaduh seluruh
Sri, bidadariku yang ayu bersuara merdu
Sungguh aku tak sengaja menemukanmu
Di Wisma Atlit Kemayoran yang penuh
Berkat petunjuk seorang ibu yang mengaku kenal denganku
Sri, aku tinggal di Bekasi Utara
Persis di sebelah barat sekolah kaum dhuafa
Milik Yayasan As-Shofyaniyah yang sahaja
Tetiba, di rumahku, ada tamu wanita tua
Ia mengaku bernama Umi Sofia
Ia berkacamata hitam seperti menutup mata
Katanya, ia kenal denganku di masjid Syuhada Yogya
Wanita tua itu mengajakku ke Jakarta
Ke Wisma Atlit, katanya, mencari saudara
Ia minta aku menemaninya, tanpa alasan kenapa
Sampai di Wisma Atlit, ia masuk kamar orang yang dibesuknya
Ternyata aku temukan kau sedang terkulai lemah
Di kasur warna jingga, tak sanggup berkata-kata
Meski hanya sapaan belaka
Usai mempertemukan aku dan kau, Sri
Umi Sofia langsung pergi tanpa permisi
Ia hilang, seperti ditelan bumi
Di selembar kertas, ia menulis janji, akan mengontakku lagi
Jika ada sesuatu terhadap Sri
Padahal aku ingin mengucapkan terimakasih
Karena Umi telah mempertemukan aku dan kau di sini
Itulah kisah pertemuanku yang pertama dan terakhir dengan Sri
Setela berpisah selama tiga puluh tahun lebih
Aku hanya betkata-kata sendiri tanpa respon Sri
Serangan virus corona telah membuat mulutnya terkunci
Petugas medis memberi kesempatan membesuk Sri
Hanya dua puluh menit tak boleh lebih
Itu pun aku harus memakai APD canggih (2)
Kata dokter, agar terhindari dari wabah corona pandemi
Tiga hari kemudian aku mendapat kabar dari Umi
Bahwa Sri telah meningkalkan kami, dijemput Ilahi Rabbi
Aku mau datang ke peristirahatan terakhir Sri
Tapi dokter melarangnya, katanya, itulah pesan terakhir Sri sebelum pergi
Di wisma Atlit, kucari informasi
Kenapa Sri terjangkit corona pandemi
Ternyata ia terpapar pandemi usai pulang dari Itali (3)
Mengurus izin bisnisnya, impor macaroni
Petugas medis memberi tahu
Ada surat dari ibunya Sri di meja tamu
Kutanya petugas, yang mana sang ibu?
Ternyata wanita tua yang tiga hari lalu mengantarku
Ke kamar nol tujuh, tempat Sri yang terkulai layu
Oh….betapa terkejutnya aku
Ternyata itulah sang ibu
Yang dulu menolakku jadi menantu
Kini ia sadar, cinta Sri padaku tak pernah kuyu
Di surat itu, Umi menulis penyeselannya di masa lalu
Yang menolak aku dan Sri bersatu di tenda biru
Tulis Umi Sofia: Mas Andika, maafkan ibu
Yang telah memisahkan Sri dan kamu
Sungguh aku baru tahu
Cinta kalian abadi selalu
Ini ada pesan dari Anakda
Sebelum ia pergi menghadapNya
Sri berpesan pada Ibu
Untuk merawat cincin bermata biru
Tanda cinta Sri di jari manismu
Aku menangis tersedu
Sri pergi dalam kondisi pandemi tak menentu
Semua orang takut saling bertemu
Meski hanya takziyah mengenang rindu
Sri, meski aku dilarang dokter mendekati mayatmu (4)
Aku berjanji, kelak kita kembali bertemu
Merajut kisah cinta kita yang dulu terpisah jauh
Di sorga yang penuh anggur, madu, dan buku
‐————————————————-
Catatan kaki
(1) Wisma Atlit di Kemayoran, Jakarta ditetapkan pemerintah untuk menampung pasen virus corona di Indonesia yang terus bertambah. Ini karena rumah sakit rujukan pemerintah untuk pasen Covid-19 penuh semua. Sampai puisi esai ini ditulis Sabtu 5 April 2020, penduduk Indonesia yang positif corona mencapai 2.092 kasus, 191 meninggal, 150 sembuh.
(2) Setiap orang yang menengok pasen gigitan Covid-19 harus menggunakan baju yang biasa disebut alat pelindung diri (APD). APD berfungsi untuk melindungi pemakainya dari paparan corona.
(3) Itali adalah epicentrum Covid-19 di Eropa. Di Negeri Piza ini penyebaran corona sangat dahsyat. Sampai 4 April 2020, ada 115.242 kasus positif corona, meninggal 13.915 dan sembuh 278 orang.
(4) Berdasarkan ketentuan WHO (World Health Organization) PBB, mayat korban Covid-19 harus diisolasi. Tak boleh didekati dalam radius 2.0 meter, tak boleh dimandikan, dan dikubur dalam kantong plastik tertutup. Yang mengurus mayat, mulai dari rumah sakit sampai pemakaman adalah petugas medis. Ini untuk mrncegah penularan corona
Syaefudin Simon, penulis esai, wartawan Republika (1994–2004), dan penulis buku Pak AR Sang Penyejuk.
Comment