Oleh: Dr. H.M. Amir Uskara, M.Kes, Anggota DPR RI Fraksi PPP
KOPI, Jakarta – Resesi ekonomi mengancam dunia. Penyebabnya pandemi corona. Pandemi ini menimbulkam krisis ekonomi yang luar biasa.
Demikian dahsyatnya krisis ini, hingga hampir semua sendi ekonomi global lumpuh. Sektor industri, energi, transportasi, ritel, finansial, jasa, pariwisata, dan lain-lain — semuanya sekarat. World Bank menyatakan krisis akibat pandemi corona disease 2019 (Covid-19) akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi terhenti. Nol. Bahkan mundur. Minus.
“Tidak pernah dalam sejarah IMF, kita menyaksikan perekonomian dunia melambat. Kemudian terhenti,” kata Kristalina Georgieva, managing director IMF, dalam konferensi persnya, seperti dilansir CNBC (6/4/2020). Georgieva mengatakan, semua pihak perlu bekerjasama, bersatu, dan melindungi masyarakat yang paling rentan. Bila tidak, akan terjadi keos.
Saat ini, sudah lebih 1,5 juta orang terinveksi corona; lebih 100 ribu di antaranya tewas. Di hari-hari berikutnya, niscaya korbannya akan lebih banyak lagi. Tragisnya, yang terparah terpapar corona tidak hanya negara-negara miskin. Tapi juga negara-negara kaya di Asia, Amerika, dan Eropa yang selama ini menjadi lokomotif ekonomi dunia.
Melihat kecepatan penyebaran covid dan kegagapan dunia melawan pandemi, sejarawan modern Yuval Noah Hariri menyatakan, pandemi corona yang muncul tahun 2020 adalah yang terburuk dalam 100 tahun terakhir. Menurut Hariri, tidak satu pun pakar, lembaga, dan negara yang punya pengalaman menangani pandemi sebesar ini. Akibatnya: tak ada rujukan dalam membuat simulasi, merancang skenario, dan menyiapkan mitigasi. Skala penyebarannya terlalu luas. Dinamikanya terlalu cepat. Seluruh dunia terdampak pandemi pada level yang tak terpikirkan sebelumnya.
Menurut WHO (Badan Kesehatan PBB) tragedi akibat Covid-19 sudah melampaui level tragic milestone (LTM). LTM adalah sebuah tingkat kondisi tragis yang melebihi prediksi dan pemodelan matematik. Kegagapan Eropa dan Amerika setelah terinfeksi corona serta jumlah korban tewas yang demikian banyak, telah melampaui LTM. Kondisi tersebut benar-benar mengejutkan dunia. Jika negara-negara maju dan kaya saja gagap mengatasi pandemi corona — bagaimana nasib negara-negara miskin di dunia?
Terlampauinya LTM dari pandemi corona niscaya menimbulkan krisis parah ekonomi dan kemanusiaan sekaligus. Fenomena ini belum pernah terjadi dalam satu abad terakhir. Itulah sebabnya, kata Hariri, kebijakan suatu negara dalam mengatasi pandemi covid, akan menentukan masa depannya. Sedangkan di tingkat global, kebijakan dalam mengatasi pandemi akan menentukan peradaban masa depan.
Krisis ekonomi global 2020 akibat covid, menurut Barry Eichengreen, guru besar ekonomi California University AS, jauh melebihi krisis 1998. Kenapa? Ini karena transmisi dampak pandemi corona pada ekonomi dunia tak terkalahkan baik dalam skala (magnitude) maupun kecepatannya (rapidity). Kedua hal tersebut menghantam dua sisi sekaligus: produksi dan konsumsi. Dua komponen pokok dalam perekonomian.
Lebih jauh lagi, Richard Baldwin dalam buku Economics in the Time of Covid-19 menyatakan, pandemi corona tak hanya memukul sisi produksi dan konsumsi sekaligus, tapi juga memukul kepercayaan pada masa depan perekonomian dunia. Di sana ada kecemasan besar — pandemi akan berulang tiap periode tertentu. Apalagi sejarah telah menunjukkan, dunia pernah menghadapi sederet pandemi mematikan.
Saat ini, dunia sedang menghadapi keniscayaan krisis “ecovidnomic” yang terus memburuk. IMF bahkan sudah menganggap dunia tengah berada dalam kondisi resesi. Tulis IMF, dalam kondisi krisis ecovidnomic, sulit menentukan — mana yang lebih menakutkan. Krisis kesehatan atau krisis ekonomi.
Mark Zandi, kepala ekonom di Moody’s Analytics, memprediksi, krisis global ecovidnomic bersifat irreversible. Dampak krisis ecovidnomic tak dapat dikembalikan seperti semula. Ini artinya ekonomi dunia akan mengalami reformasi radikal. Ekonomi dunia akan membentuk sistem baru yang sama sekali berbeda dengan sistem lama. Mudah-mudahan ekonomi sistem baru pasca krisis ecovidnomic, bersifat lebih adil dan merakyat.
Zandi memprediksi, ada kemungkinan bahwa resesi dapat menghantam ekonomi global dalam waktu dekat. Jika ini terjadi, para pembuat kebijakan mungkin tidak dapat membalikkan arah. Ini berbeda dengan krisis keuangan 1998. Kepanikan dapat dihentikan dan masyarakat masih percaya pada sistem perekonomian dunia. Sedangkan sekarang, di era Covid-19, krisis itu muncul karena virus mematikan. Dan siapapun tidak ingin mendekati kematian.
Hal Ini terjadi karena kematian manusia adalah zero tolerant. Sementara kematian ekonomi masih menyisakan kemungkinan untuk dihidupkan kembali. Persis seperti dikatakan Presiden Ghana Nana Akufo Addo: “Kami tahu bagaimana menghidupkan ekonomi yang telah mati. Tapi kami tidak tahu bagaimana menghidupkan manusia yang telah mati.” Itulah sebabnya krisis ecovidnomic akan jauh lebih buruk dari krisis finansial 1998. Krisis ecovidnomic akan berdampak sangat luas. Tak hanya ekonomi semata. Tapi juga sosial-budaya.
Ini diakui Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani. Menurut Sri,
penyebab krisis ecovidnomic sangat menakutkan, karena mengancam nyawa manusia. “Dulu saat krisis keuangan 2008, penyebabnya jelas. Yaitu lembaga keuangan dan korporasi. Sehingga kalau sudah declare bankruptcy, beberapa kerugian sudah dihitung, langsung muncul anchor,” ucap Sri. Sementara pada krisis covid saat ini, tidak ada jangkar yang mampu menahannya. “Tidak ada yang tahu kapan Covid-19 berhenti.” Mengerikan.
Itulah sebabnya, untuk mengatasi krisis ecovidnomic, harus ada kerjasama lokal, regional, dan global. Semua manusia di seluruh dunia harus melakukan kerjasama untuk menghentikan penyebaran corona. Tanpa itu, kematian memilukan akan meluas di seluruh dunia. Jika sudah demikian, ekonomi hancur — bersama hancurnya kehidupan manusia.
Comment