by

Ritual Demo Kamisan di Sebrang Istana

Tak pelak kontroversi pun menggelegak. Para sastrawan tercekat. Mereka seperti terbangun dari tidur nyenyaknya. Mereka ramai-ramai menghujat Denny. Denny harus dibunuh, batin penyair urakan Saut Situmorang. Saut bagai algojo berusaha memenggal kreativas Denny.

Tak hanya Denny yang siap dipenggal Saut. Ia juga menuduh penyair Fatin Hamama, teman Denny, sebagai pelacur. Padahal Fatin sama sekali tak terlibat dengan proses kreatif Denny. Lalu, Fatin menyeret Saut ke pengadilan. Dan Sang algojo pun terpojok di Mahkamah. Saut dinyatakan menista orang tak bersalah dan harus dihukum.

Saut dan kelompoknya ternyata gagal memenggal Denny. Sebaliknya, Denny tak peduli. Makian dan hujatan dianggapnya angin lalu. Menghadapi para penghujat dan ancaman algojo Saut, Denny terus berkarya. Puisi esai pun bangkit. Bahkan terbang menjelajah Asia Tenggara.

Puaskah Denny? Tidak! Puisi esai harus bisa dicerna dan dinikmati semua orang, katanya. Termasuk orang awam yang masa bodoh dengan puisi. Bagaimana mengakali orang masa bodoh ini agar tertarik puisi? Harus ada kreativitas lain. Denny pun berkreasi lagi: membuat film animasi untuk puisi-puisi esainya. Kali ini, Denny meluncurkan film animasi puisi esai Tentang Kisah Cinta Yang Terselip di Aksi 400 Kamis Seberang Istana (TKCTAKSI) di atas.

Latar belakang proses kreativitas Denny plus tantatangannya itulah yang seharusnya dinilai dalam mengaprseasi film TKCTAKSI. Film ini, menurutku menarik karena tiga faktor. Pertama, latar belakang sejarah politik Indonesia yang menjadi pijakan ceritanya. Kedua, narasi puisi esainya yang mampu menggambarkan duka lara keluarga dari orang yang hilang. Ketiga, keindahan kata dan makna setiap penggal kalimat dari puisi esai TKCTAKSI. Dan keempat, kreativitas untuk menarik perhatian publik pada puisi esai itu sendiri. Melalui film animasi puisi, niscaya publik milenial akan tertarik.

Kenapa? Denny merujuk hasil survei Public Participation in The Arts di AS tahun 2015. Survei itu menyimpulkan puisi makin jarang dibaca. Juga opera. Jadi, puisi dan opera adalah dua jenis seni yang paling sedikit peminatnya. Yang terbanyak peminatnya adalah film. Fenomena semacam itu, kata Denny, terjadi pula di Indonesia. Dari survei itu, Denny menyimpulkan, puisi esai dalam bentuk film, niscaya akan diminati publik milenial.

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA