KOPI, Jakarta – Jumat 13 Maret 2020. Puluhan orang berbaju putih mengusung spanduk RENEWABLE ENERGY OK. BUT NO NUKES! di depan gedung DPR, Senayan. Demo yang diorganisir Greenpeace dengan tuntutan basi ini, tampaknya makin atraktif — dengan atribut aneh-aneh yang eye catching. Tujuannya, apa lagi kalau bukan ingin menarik perhatian publik. Terutama wakil rakyat di Senayan.
Para demonstran itu, konon, memperingati 9 Tahun Kecelakaan PLTN Fukshima yang rusak dan bocor radiasinya akibat terjangan tsunami. Pada saat bersamaan, demonstran juga menolak pembangunan PLTN. Sekaligus mendesak pemerintah membuat Omnibus Law bidang energi berkelanjutan (renewable resources) yang tanpa nuklir.
Bagi saya, yang lama berkecimpung dalam bidang energi nuklir dan tahu seluk-beluk kebutuhan listrik nasional, demo tersebut terasa aneh. Aneh karena, pertama — demo peringatan kecelakaan Fukushima dilakukan di Indonesia. Padahal, di Jepang sendiri, kasus Fukushima sudah selesai. Saat ini PLTN Fukushima yang rusak diterjang tsunami 11 April 2011 lalu, sudah beroperasi kembali. Sisa-sisa radiasi yang mencemari lingkungan pun sudah bersih. Aman.
Keanehan kedua, kenapa demonstran itu menolak nuklir, padahal Jepang Pasca-Fukushima masih tetap mengandalkan sumber energi listriknya dari PLTN. Jepang yang sudah punya 43 PLTN juga tetap akan menambah jumlah PLTN-nya untuk memenuhi kebutuhan energi nasionalnya yang terus meningkat. Jadi, apa relevansinya dengan demo peringatan Fukushima di Jakarta dan penolakannya terhadap PLTN? Demo tersebut jelas menentang fakta di Jepang sendiri.
Keanehan ketiga, mereka mendukung pemerintah membuat omnibus law bidang energi berkelanjutan, tapi no nukes. Lalu, apa solusinya? Apa saja jenis energi berkelanjutan no nukes yang mampu menopang kebutuhan energi nasional yang terus meningkat?
Comment