Chay tak banyak bicara. Hanya sekali-kali matanya menatapku. Aku tak tahu kenapa Chay terlihat kikuk. Padahal di WA ia sangat ceria. Setiap ada masalah selalu menceritakan padaku.
Aku pacaran dengan Chay selama tiga tahun, 30 tahun lalu. Waktu itu aku dan Chay satu kantor di perusahaan minyak Total Oil Company, Prancis.
Chay adalah gadis manis yang luwes gandes. Pandai main gitar, menyanyi, dan menari. Aku suka sekali kalau ada gathering perusahaan, lalu Chay nyumbang tari Gambyong. Lenggak lenggoknya natural sekali. Apalagi kalau Chay menyanyikan lagu-lagu baladanya Bimbo. Suaranya mirip Iin Parlina. Suara Chay pas sekali kalau menyanyi lagu Melati dari Jaya Giri.
Tiga puluh tahun tak bertemu, Chay bukannya gembrot dan berkerut kulitnya. Malah lebih cantik. Kelihatan makin langsing dan bening. Tak ada kerut di wajahnya. Aku tak berani menanyakan apa resep awet mudanya. Aku hanya menikmati wajah dan bibirnya yang dulu suka aku uyel-uyel.
Mas Dino, aku pulang duluan ya. Suamiku uda menjemputku — kata Ita. Mas Dino dan Mbak Chay silahkan kangen-kangenan. Kan sudah seperempat abad lebih gak ketemu — ujarnya sambil nyengir.
Tuh Mas Dino makin berbinar wajahnya. Pasti seneng ya berduaan. Ati-ati Mbah Chay nanti ditubruk Mas Dino — lagi-lagi Ita meledekku.
Ita, paling-paling nanti yang nubruk Chay, bukan aku — kataku membalas ledekannya.
Enak aja — ujar Chay ikut nimbrung.
Setelah Ita pulang, Chay mengajak pindah tempat.
Kita ngobrol di Pizza Cafe aja. Di Pizza Cafe bisa sampai jam 12 malam — tuturnya.
Chay memilih tempat duduk di sudut kiri Cafe yang lampunya temaram. Begitu duduk, tangannya langsung ditaruh di pahaku.
Comment