Dr. Geni Rina Sunaryo, Alumnus Tokyo University, Peneliti Senior Batan
KOPI, Jakarta – Mau jadi lokomotif atau gerbong? Kalau lokomotif, berarti menjadi pencipta teknologi. Kalau gerbong, maka selamanya hanya sebagai pengguna teknologi.
Pertanyaan itu selalu mengusikku. Lalu membawaku ikut mendesain reaktor alternatif untuk Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan). Namanya reaktor daya eksperimental (RDE). Ibarat bola emas, RDE akan menjadi emas dalam kemandirian energi Indonesia. Itu harapanku.
Desain RDE dilakukan pada periode 2014-2019 di Pusat Teknologi dan Keselamatan Reaktor Nuklir (PTKRN), Batan. RDE didedikasi untuk dibangun sebagai PLTN nonkomersial pertama. Sebagai pemenuhan janji pemerintah yang tertuang pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019. Ini artinya, ada dana pemerintah yang disiapkan untuk membangun RDE.
Penambahan nama “eksperimental” karena secara regulasi, Batan hanya diberi wewenang mengoperasikan reaktor non komersial atau eksperimen. Sedangkan wewenang mengoperasikan reaktor komersial seperti PLTN diberikan kepada koperasi, swasta atau BUMN.
Awalnya, RDE direncanakan dibangun dengan sistim “turn key”. Artinya keseluruhan pembangunan dilakukan oleh negara vendor. Batan hanya menerima “kunci” dan tinggal mengopersikan. Maksudnya, terima jadi. Tapi dengan berjalannya waktu — karena isu politis yang sangat kuat — komitmen pendanaan dari pemerintah melemah. Kocar-kacir di tengah jalan.
Padahal pendanaan itu sudah mendapat komitmen tiga kementerian — ESDM (Energi Sumber Daya Mineral), Kemenristek-Dikti, dan Bappenas. Bahkan mendapat dukungan Presiden SBY. Sayang, semuanya kemudian melembek. Imbasnya: rencana pembangunan RDE tak jelas. Berhenti.
Comment