Dr. Ir. Lanjar Sumarno, Staf di Deputi Bidang Penguatan Inovasi Kemenristek– BRIN
KOPI, Jakarta – Industri obat-obatan Indonesia bangkit. Kebijakan pemerintah untuk memprioritaskan produksi lokal, membuat industri obat-obatan nasional menggeliat. Bangkit dari stagnasi masa lalu.
Kebangkitan industri tersebut akan lebih baik lagi — kata Menristek-BRIN (Badan Riset Industri Nasional ) Bambang PS Brodjonegoro, Rabu 26 Februari di Jakarta — jika sinergi antara industri hulu dan hilir optimal. Saat ini, tambah Menristek-BRIN — sinergi antara hilir dan hulu belum ideal. Masih sering terjadi kesenjangan komunikasi dan misunderstanding antara para pelaku pasar, industri, dan litbang obat-obatan.
Pemerintahan Jokowi saat ini tengah menggenjot produksi obat-obatan berbasis lokal. Dalam hal ini, lokalitas itu tidak hanya terkait bahan bakunya. Tapi juga, research and development ( &D)-nya.
Menristek Bambang PS menilai, saat ini, meski banyak obatan-obatan produksi dalam negeri sudah mendapat tempat di hati masyarakat, tapi bahan baku dan R & D-nya masih berada di luar negeri. Lebih celaka lagi, meski bahan baku sudah bisa dibuat di dalam negeri, tapi tak sedikit industri obat-oabatan masih impor bahan yang sama dari luar negeri.
Bahan baku paracetemol, misalnya, Indonesia sebetulnya sudah bisa membuatnya. Tapi sebagian industri obat-obatan nasional lebih suka mengimpornya. Begitu pula bahan-bahan “medis” yang lain.
Menurut dokter Agus Yunianto dari Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPA) di forum seminar “Sinergi Triple Helix Bidang Kesehatan dan Masyarakat” di Jakarta, Rabu (26/2/20) di Jakarta, Indonesia sebetulnya sudah melangkah jauh dalam industri obat-obatan dan dunia kedokteran.
Agus memberi contoh produk implant di bidang orthopedi. Universitas Airlangga, Surabaya sudah bisa membuatnya. Tapi birokrasi di dunia kedokteran justru menghambatnya. Akibatnya, meski Indonesia mampu membuat implant-implant tersebut, tapi user lebih suka membeli dari vendor.
Masalah ini, kata Agus, harus dipecahkan. Dimana bottle neck-nya. Di mana sumbatannya. Jika sudah ketemu, harus diuraikan solusinya. Kasus seperti ini terjadi di banyak bidang kedokteran. Baik yang terkait dengan obat-obatan maupun instrumen atau alat medis.
Belum lagi yang terkait dengan R&D. Banyak obat-obatan yang bahan bakunya berasal dari Indonesia, jelas Menristek, tapi paten dan R&D dari luar negeri.
Indonesia banyak kecolongan dalam soal-soal tersebut di atas, terutama yang terkait dengan bahan baku obat dan paten. Tak sedikit para peneliti asing di Indonesia yang “masuk hutan ke luar hutan” dengan berbagai alasan ilmiah untuk penelitian A,B,C,D ternyata mereka mencari vegetasi yang bisa dijadikan obat-obatan, yang kemudian patennya dimiliki orang asing terkait. Dalam kalusal hak paten (property right), hal-hal semacam itu sudah diantisipasi. Tapi dalam perjalanannya di lapangan, sering berbenturan dengan klausal-klausal hak paten internasional. Di meja pengadilan, Indonesia sering kali kalah.
Secara khusus, dalam forum seminar “Sinergi Triple Helix Bidang Kesehatan dan Masyarakat” tersebut, Menristek Bambang PS Brojonegoro menyoroti kekayaan jenis (biodiversitas) tumbuhan obat-obatan di Indonesia yang belum termanfaatkan dengan optimum. Saat ini banyak perusahaan farmasi besar internasional yang memanfaatkan bahan baku dari ekstrak tumbuhan obat sebagai bahan aktifnya. Yang sering jadi masalah, tumbuh-tumbuhan tersebut banyak yang berasal dari keanekaragaman jenis hayati Indonesia. Bahkan merupakan pohon endemis di taman-taman nasional tertentu di Kalimantan dan Sumatera.
Indonesia adalah negeri tropis basah. Di negeri seperti Indonesia, biodiversitasnya kaya sekali. Termasuk berbagai jenis tumbuhan obat.
Menurut Dr. Ir. Nyoto Santoso, Dosen (yang juga Kepala Pusat Kajian Biodiversitas dan Rehabilitasi Hutan Tropika) IPB, banyak tumbuhan obat endemis yang ada di taman-taman nasional yang “dicuri” peneliti asing. Ia memberi contoh tanaman obat tradisional untuk penyakit kanker yang secara turun temurun dipakai masyarakat suku Dayak di pedalaman, justru kini dimanfaatkan perusahaan farmasi asing. Kenyataan ini sudah lama berlansung dan harus segera dihentikan.
Kenapa demikian? Karena Indonesia adalah negeri yang sangat kaya dengan berbagai macam tumbuhan obat. Jika hal itu mendapat perhatian serius semua stake holder – baik dari pemerintah maupun swasta – niscaya ke depan industri obat-obatan berbasis herbal akan berkembang pesat. Riset inovatif terhadap tumbuhan obat tersebut hendaknya digalakkan dan mendapat support baik dari pemerintah maupun swasta.
Kita tahu, jauh sebelum teknologi pengobatan modern berkembang, masyarakat Indonesia sudah mengenal “jamu”. Perdefinisi, jamu adalah obat tradisional yang berkembang di masyarakat Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Racikan dengan bahan dasar aneka tanaman obat asli Indonesia itu bukan hanya berkhasiat menyembuhkan, tapi juga dipercaya sangat aman karena terbebas dari bahan-bahan kimia berbahaya.
Betul, jamu sempat tersisihkan ketika industri farmasi berkembang dan menghasilkan berbagai jenis obat-obatan sintetis. Namun, belakangan muncul kecenderungan masyarakat dunia untuk kembali ke alam (back to nature). Kecenderungan ini menjadikan jamu makin populer. Direktur perusahaan jamu Sidomuncul Irwan Prayitono menyatakan, kini banyak dokter yang sudah meresapkan obat tradisional. Ini artinya, dunia medis pun sudah mengakui khasiat obat-obat berbasis herbal tersebut.
Kini – seperti disinyalir Menristek — industri obat-obatan herba bermunculan di berbagai belahan dunia. Indonesia beruntung telah memiliki industri jamu yang modern dan terus berkembang. Beberapa perusahaan jamu telah mampu memproduksi jamu dan obat herbal dengan menerapkan standar industri farmasi. Irwan Prayitno, misalnya, menyatakan
bahwa produk obat herbal buatannya di pabrik Sidomuncul, Semarang telah melewati serangkaian uji klinis sesuai dengan standar uji obat-obatan buatan industri farmasi. Untuk melakukan uji khasiat dan uji toksisitas, Sidomuncul menunjuk lembaga di luar perusahaannya, yakni perguruan tinggi yang kredibel.
Kecenderungan masyarakat dunia untuk kembali ke obat-obatan alami membuat industri jamu bersaing ketat dengan produsen produk herbal dari luar negeri. Obat-obatan herbal buatan Cina, misalnya, makin membanjiri pasar Indonesia. Lebih-lebih setelah adanya kesepakatan pasar bebas ASEAN-Cina.
Untuk membangkitkan semangat bersaing, Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi, tahun 2008, telah menetapkan bahwa jamu adalah brand Indonesia, yang ditindaklanjuti dengan penetapan Hari Kebangkitan Jamu Indonesia, pada 27 Mei 2008. Selanjutnya, pada 16 Januari 2010, telah dicanangkan berdirinya klinik obat tradisional oleh Menteri Kesehatan di Kendal, Jawa Tengah. Klinik tersebut sekaligus sebagai pilot project penggunaan obat tradisional sebagai komplemen pengobatan oleh dokter.
Jika sebelumnya dokter hanya meresepkan obat-obatan buatan industri farmasi kepada pasiennya, sekarang dokter sudah bisa memberikan jamu dan obat-obatan herbal lain. Namun, dokter yang akan memberikan resep jamu terlebih dahulu dibekali ilmu tentang obat tradisional dan akan diberikan sertifikat yang dikeluarkan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Obat tradisional yang boleh diberikan dokter harus telah terdaftar di BPOM dan telah beredar di pasaran, serta telah lulus uji yang dilakukan Badan Libangkes. Setiap pasien yang menerima obat tradisional akan terus dipantau perkembangan kesehatannya secara khusus, sebagai bagian dari penelitian penggunaan obat tradisional ini.
Persatuan Dokter Herbal Medik Indonesia (PDHMI) dan Ketua Gabungan Pengusaha (GP) Jamu Indonesia menyambut baik terobosan ini. “Dengan cara seperti ini, kita berharap jamu akan menjadi tuan rumah di negeri sendiri, jika tidak maka akan mati di negeri sendiri,” kata Ketua GP Jamu, Charles Saerang. Irwan Prayitno, direktur Sidomuncul, menyatakan, pangsa ekspor jamu terus meningkat. Irwan berterima kasih karena pemerintah telah berusaha mengembangkan potensi itu. Termasuk memberikan proteksi dalam konteks persaingan dengan produk herbal dari luar.
Dari gambaran tersebut, ajakan Menristek untuk mengembangkan obat berbasis herbal sekaligus melecut R&D secara mandiri terhadap obat-obatan berbasis lokal perlu mendapat apresiasi semua pihak. Jangan sampai jamu yang secara turun temurun diproduksi dan dimanfaatkan bangsa Indonesia tergeser serbuan obat-obatan tradisional Cina. Yang terakhir ini, dengan kemasan etnik dan promo legenda kultural Cina, kini merangsak pasar Indonesia.
Saat ini, nilai pasar obat-obatan modern yang bahan bakunya impor masih jauh di atas obat-obat tradisonal. Bayangkan, impor obat-obatan dan bahan bakunya mencapai 4 Milyar USD lebih. Sekitar Rp 60 Trilyun. Padahal omzet produksi jamu Indonesia baru sekitar Rp 10 Trilyun.
Gambaran tersebut merupakan tantangan yang harus kita jawab bersama. Dengan inovasi dan teknolologi, kita percaya industri jamu dan obat-obatan berbasis herbal Indonesia, di masa depan punya harapan cerah. Kecenderungan masyarakat dunia yang ingin sehat dengan slogan back to nature, mudah-mudahan, akan mengisnpirasi bangsa Indonesia untuk “mandiri” dalam mengelola industri obat-obatannya. Semoga!
Comment