by

Kredo Wilson Lalengke: Nusantara Menggugat (bagian 2)

Peran sejarah Conrad Theodore Van Deventer (1857 – 1915), seorang ahli hukum Belanda, yang menjadi inspirator kebijakan “Politik Etis” kerajaan Belanda atas Hindia Belanda (baca: Indonesia), adalah sesuatu yang amat menarik. Catatan sejarah itu bahkan dipandang penting dan dapat menjadi dasar pijakan moral untuk membangun pemikiran beretika bagi hubungan Belanda dan Indonesia masa kini. Pada tahun 1899, Deventer menulis sebuah artikel di majalah De Gids (Panduan) yang berjudul Een Eereschuld (Hutang Kehormatan). Substansi artikel itu berisi pemikiran bahwa “ada hutang yang harus dibayar demi kehormatan walaupun tidak dapat dituntut dimuka hakim”. Tulisan Deventer ini memuat angka statistik real yang menjelaskan pada publik Belanda bagaimana mereka menjadi negara yang makmur dan aman, memiliki jaringan kereta api, bangunan-bangunan, bendungan-bendungan, dan lain-lain yang merupakan hasil menjarah kekayaan masyarakat di Hindia Belanda melalui kolonialisme. Sebaliknya, rakyat daerah jajahannya miskin-melarat dan hidup dalam keterbelakangan bila tidak dapat dikatakan hidup dalam kehinaan.

Sesungguhnya logika pikir Deventer bisa dijadikan batu loncatan untuk memulihkan atau “mengadilkan” sejarah buruk penjajahan Belanda atas Indonesia (sekali lagi apapun konotasi, pengertian, dan lingkup Indonesia itu dimaknai). Dalam laporannya sebagai anggota Parlemen Belanda di tahun 1904, Deventer dengan jelas mengungkap kenyataan kesulitan hidup dan kemiskinan parah rakyat jajahan. Dia juga dengan cermat menyusun berbagai program pembanguanan tanah jajahan sebagai bagian dari kebijakan Politik Etis yang dapat ditempuh Kerajaan Belanda dalam memperbaiki keadaan rakyat di nusantara, seperti pertanian, pendidikan, transportasi, dan lain sebagainya. Orang mungkin bisa berargumen bahwa pemikiran Deventer itu hanya ditujukan secara terbatas bagi perbaikan nasib masyarakat Jawa dan Madura, tidak menyinggung masyarakat di pulau-pulau lain di nusantara. Namun sesungguhnya, dalam tulisan Deventer selanjutnya yang diterbitkan pada tahun 1908, dia secara jelas menjabarkan prinsip-prinsip etis bagi kebijakan pemerintah terhadap tanah jajahannya, yang tentu saja meliputi seluruh wilayah kolonial Hindia Belanda.

Argumen skeptis lainnya: bagaimana mungkin kita menerapkan ide Deventer itu, sedangkan skala waktu sudah berbeda, dengan kondisi hubungan kebangsaan yang juga sangat jauh berbeda, apalagi dengan generasi yang sudah berbeda, dan seterusnya? Konsep Deventer tentu saja dalam koridor Hindia Belanda sebagai tanah jajahan sehingga terdapat tanggung-jawab kerajaan Belanda untuk membangunnya. Sebaliknya saat ini, Indonesia bukan lagi menjadi bagian integral dengan Belanda sehingga pemerintah Belanda tidak perlu memikirkan keadaan bangsa Indonesia. Masih tersisa berbagai argumen penolakan lainya yang bisa dibangun dalam menyiasati “peniadaan” tanggung jawab atas kesalahan sejarah kolonialisme. Pada beberapa aspek tentu saja hal-hal logis tersebut dapat diterima.

Namun suatu kenyataan yang sangat sulit dibantah bahwa kesenjangan ekonomi-sosial yang teramat menyedihkan antara bangsa-bangsa terjajah dan eks penjajah yang terjadi saat ini, dan kemudian ter-dikhotomi ke dalam negara-negara Selatan yang miskin-papa dan negara-negara Utara yang kaya-raya, merupakan implikasi sejarah hasil kolonialisme di masa lalu. Dalam bahasa lain, kondisi dunia saat ini tidak jauh berbeda dengan keadaan di masa Deventer mengemukakan ide dan program pengembangan manusia di dunia ketiga, dalam konteks ini di Indonesia. Lagi, persoalan yang digugat Deventer adalah bagaimana memanusiakan manusia yang telah memberikan kontribusi luar biasa bagi kemakmuran luar biasa bagi bangsa Eropa, tidak penting apapun kewarga-negaraan dan afiliasi politik kenegaraannya. Ide Deventer itu memiliki nilai universal yang berlaku dimana saja, oleh siapa saja, dan kapan saja, melewati batas-batas wilayah, batas politik dan aliran, pemerintahan kenegaraan, dan bahkan sekat-sekat generasi.

Madu Baduy (https://www.tokopedia.com/madubaduy)
______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA