by

Kredo Wilson Lalengke: Nusantara Menggugat (bagian 2)

Pada kasus Indonesia – Belanda, sebenarnya pemikiran untuk melakukan “rekonsiliasi” dalam pengertian “membetulkan” kesalahan penjajahan itu telah menjadi agenda kedua rumpun bangsa sejak dulu walau masih dalam lingkup terbatas sesuai kondisi dan zamannya masing-masing. Setidaknya sejarah pernah mencatat peran Eduard Douwes Dekker (1820 – 1887), seorang Belanda yang dengan gigih memperjuangkan nasib rakyat jajahan. Karya novel sindiran-nya, Max Havelaar, telah menjadi inspirasi bagi perlakuan manusiawi terhadap masyarakat jajahan di mana-mana. Perjuangan itu kemudian dilanjutkan oleh cucu-ponakannya, Ernest Douwes Dekker (1879 – 1950) yang lebih kita kenal sebagai Dr. Danudirja Setiabudi. Walau perjuangan Setiabudi dan kawan-kawannya memang lebih berbentuk konfrontasi, menuntut Indonesia merdeka.

Pada konteks kekinian, ada beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah kerajaan Belanda dalam proses “mengadilkan” kelakuan bejat pendahulu mereka atas Indonesia, dan juga bangsa-bangsa bekas jajahan lainnya di Afrika. Bila ini dilakukan, bukan tidak mungkin kebijakan tersebut akan menjadi contoh teladan yang baik bagi proses pembetulan kesalahan sejarah serupa antara eks negara penjajah lain seperti Inggris, Prancis, Spanyol, Amerika, Portugis terhadap bangsa-bangsa jajahannya. Hal penting pertama yang harus dilakukan Belanda adalah mengeluarkan pernyataan resmi negaranya yang menyatakan bahwa benar bangsa itu telah melakukan kesalahan kemanusiaan di masa kolonialisme terhadap rakyat di nusantara, rakyat Indonesia (dalam konotasi, pengertian, dan lingkup apapun Indonesia itu dimaknai). Pernyataan itu tentu saja harus disertai permintaan maaf secara resmi kepada pemerintah dan rakyat Indonesia, generasi saat ini.

Apakah permintaan maaf itu diperlukan? Jawabnya: mungkin ya, mungkin tidak. Tetapi satu hal yang pasti bahwa sebuah kesalahan yang terlanjur terjadi, baik disengaja maupun tidak, mestilah meninggalkan luka yang menyakitkan bagi mereka yang telah diperlakukan semena-mena. Filsafat Utilitarianisme (ini juga filsafat Barat) mengajarkan bahwa ketika suatu aksi menghasilkan rasa sakit, maka tindakan itu adalah sebuah kesalahan. Kesalahan melahirkan konsekwensi untuk perbaikannya. Di lain pihak, bagi mereka yang bersalah akan muncul dua keadaan dominan yakni “perasaan bersalah” atau justru “arogansi” yang lebih besar ketika melihat sang korban tidak berdaya menerima dengan ikhlas perlakuan kurang ajar itu. Pada titik ini, apabila kenyataan menunjukkan bahwa Belanda enggan untuk meminta maaf atas kelakuan pendahulunya, itu berarti kondisi kedua yang dominan, kecenderungan untuk melihat bahwa mereka merasa “lebih” dari bangsa Indonesia sehingga sudah wajar untuk tidak meminta maaf. Layaknya seorang majikan yang tidak perlu meminta maaf kepada pesuruhnya atas kesalahan yang telah diperbuat sang majikan terhadap pesuruhnya itu. Hal ini tentu sangat disayangkan, menimbang Belanda adalah salah satu negara yang dipandang sebagai mercu suar penegak keadilan oleh negara-negara sedunia.

Apakah permintaan maaf secara formal dan verbal dianggap cukup? Tentu ada konsekwensi dari sebuah pengakuan bersalah dan permintaan maaf. Oleh karena itu, hal kedua yang perlu dilakukan Belanda sebagai konsekwensi permintaan maafnya adalah meningkatkan partisipasi pada skala yang signifikan dalam menanggulangi kemiskinan dan keterpurukan bangsa Indonesia, terutama yang berkaitan langsung dengan akibat penjajahannya. Implikasi langsung kolonialisme masih banyak terlihat hingga hari ini, antara lain kemiskinan yang dialami generasi tua yang lahir di jaman penjajahan. Mereka harus terlahir dari keluarga yang miskin akibat kolonialisme Belanda. Karena kemiskinan yang diderita masyarakat golongan tua ini, merembet pada ketidak-berdayaan ekonomi untuk memberikan pendidikan semestinya kepada generasi anak-anak dan cucu mereka. Golongan tua hanya mewariskan kemiskinan, baik kemiskinan permanen maupun relatif, kepada anak cucunya. Sifat genetik mentalitas budak adalah salah satu “penyakit” yang ditanam pemerintah kolonial, yang efeknya sangat kental hingga saat ini, juga menjadi tanggung jawab Belanda untuk mengobatinya.

Madu Baduy (https://www.tokopedia.com/madubaduy)
______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA