by

Kredo Wilson Lalengke: Nusantara Menggugat (bagian 2)

Dengan kenyataan “alami” manusia tersebut, terasa tercekat di ubun-ubun untuk mengharapkan dunia ini mampu menciptakan keadilan di antara sesama bangsa-bangsa penghuni bumi. Keadilan dunia seakan tidak lebih dari utopia belaka, hanya mimpi-mimpi kosong di siang bolong. Inilah kesan yang tertangkap dari sepinya suara anak-anak negeri terjajah seperti Indonesia dalam merespon kenyataan pahit malapetaka yang menimpa kakek-nenek buyutnya. Kebanyakan kita malah lebih melihat itu sebagai bagian sejarah yang “sudah semestinya begitu” dan generasi kini dituntut untuk menerimanya saja dengan ikhlas. Bahkan tanpa diberi kesempatan untuk bertanya: bermoralkah kita ketika menerima dengan ikhlas semua perlakuan buruk Belanda terhadap kakek-nenek kita itu?

Lebih banyak orang yang skeptis terhadap sebuah usaha menggali etika yang dapat dijadikan landasan berpikir dalam “mengadilkan” kejadian pahit ratusan tahun lalu. Bahkan sebagian lagi mengambil sikap ekstra hati-hati, penuh kekuatiran bahwa akhirnya kita akan terjerangkap dalam sebuah keadaan darurat perang balas dendam dan sejenisnya. Sesungguhnya, pencarian nilai-nilai moral yang logis atas klaim “membenarkan” peristiwa penjajahan adalah panggilan kemanusiaan bagi semua orang, baik siterjajah dan terlebih lagi bagi sipenjajah. Adalah tugas kemanusiaan kita untuk memikirkan dan mengaktualkan hal tersebut, menyelesaikannya secara damai dan beradab. Apabila kita lalai hari ini, itu akan menjadi beban bagi generasi selanjutnya dan berikutnya.

Berkenaan dengan kasus penjajahan Belanda atas masyarakat di nusantara, adalah sesuatu yang lucu melihat tingkah pola negara itu merespon sejarah interaksinya dengan bangsa-bangsa lain di masa lalu. Betapa banyak orang geli tatkala Perdana Menteri Belanda beberapa waktu lalu marah besar terhadap Jepang dalam kaitan kasus Ianfu dimasa Perang Dunia ke-2. Seperti umum diketahui, beberapa tahun lalu Perdana Menteri Jepang saat itu, Junichiro Koizumi, membantah keras adanya peristiwa perekrutan wanita-wanita di beberapa negara Asia, termasuk wanita Belanda dan Eropa yang kebetulan masa itu sedang berada di Asia, untuk menjadi wanita penghibur bala tentara Jepang. Tidak ada bukti kuat yang mengindikasikan kejadian keji itu, demikian kesimpulan pemerintah Jepang yang akhirnya menimbulkan kemarahan negara-negara korban invasi Jepang pada 1941 – 1945, seperti Korea, China, Indonesia dan beberapa negara Eropa. Tidak terkecuali, Pemerintah Belanda merespon keras pernyataan pemimpin Jepang tersebut dengan memanggil Duta Besar Jepang di Den Haag untuk mengklarifikasi persoalan ini.

Reaksi keras itu sebenarnya merefleksikan bagaimana egoistisnya sebuah bangsa yang bernama Belanda, dan sebagian teman-temannya sesama eks penjajah. Ketika sebuah sejarah gelap menjadikan mereka sebagai korban, Belanda bereaksi keras untuk menuntut keadilan. Bila saja Belanda adalah negara miskin mungkin sekali mereka akan lebih agresif untuk memperkarakan kepahitan yang dialami orang tua dan nenek-kakek mereka. Tidak berlebihan jika kita menduga-duga bahwa mereka akan menuntut keadilan dari sisi material seperti yang dilakukan oleh para korban dan keluarga korban Ianfu dari negara-negara miskin di Asia termasuk Indonesia. Untung saja, Belanda adalah salah satu negara kaya sehingga mereka merasa tidak perlu merendahkan diri dengan meminta-minta kompesasi ekonomi kepada Jepang.

Kejadian kemarahan Belanda atas Jepang ini memunculkan asumsi bahwa ada dualisme “nurani keadilan” yang diterapkan penjajah. Jika untuk kepentingan sejarah pahit bangsanya, mereka bereaksi menuntut keadilan. Sebaliknya, ketika mereka yang menjadi pelaku kejahatan yang menimbulkan kesengsaraan bagi bangsa lain, Belanda diam saja. Bahkan cenderung melakukan pembenaran dengan berbagai argumentasi versi mereka sendiri, semisal bahwa kolonialisme di luar pengetahuan mereka generasi saat ini, dan lain sebagainya. Namun ada pelajaran moral yang dapat diambil dari fenomena tersebut. Pertama, bahwa penuntutan terhadap kejahatan dan ketidak-adilan masa lalu tetap menjadi hak setiap bangsa, korban ketidak-adilan itu, baik oleh korban langsung maupun keluarga dan generasinya. Kedua, bahwa inisiatif untuk melakukan penuntutan selalu akan disuarakan oleh korban kezaliman, kita tidak dapat berharap banyak akan adanya advokasi yang datang dari negara-negara eks kolonialis Barat.

Bawang Tunggal Madu (https://www.tokopedia.com/madubaduy)
______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA