by

Inovasi untuk Swasembada Pangan

Dr. Ir. Lanjar Sumarno, Analis di Deputi Bidang Penguatan Inovasi, Kemenristek – BRIN

KOPI, Jakarta – Indonesia adalah negeri subur. Tanaman apa pun bisa tumbuh dengan bagus. Keanekaragaman jenis (biodiversitas)-nya sangat banyak. Terbanyak setelah Brazil yang luasnya lima kali Indonesia dan mempunyai hutan dan sungai Amazon yang amat besar.

Dengan kondisi seperti itu, Indonesia layak menjadi negeri makmur, terutama pangan. Aneka jenis makanan yang mengandung karbohidrat dan edible (dapat dimakan) — jumlahnya amat banyak. Lebih dari 100 macam. Tapi sayang, biodiversitas tanaman pangan yang banyak tersebut belum termanfaatkan secara optimal.

Berbagai macam jenis pangan nonberas tampaknya belum mendapat perhatian serius. Khususnya untuk diolah jadi makanan penunjang atau selingan selain beras. Apalagi sebagai pengganti beras.

Tidak seperti di Costa Rica yang nyaris tak ada satu jenis makanan yang jadi staple food (makanan pokok) — di Indonesia kondisinya terbalik. Jika orang Costa Rica terbiasa menenuhi perutnya dengan nasi atau jagung atau kentang tiap waktu makan, orang Indonesia harus mengisi perutnya dengan nasi. Akibatnya kebutuhan beras sangat tinggi. Jika hal ini dibiarkan berjalan terus, Indonesia bisa mengalami kekurangan makanan pokok yang akut.

Hal itu terjadi karena lahan pertanian untuk padi makin lama makin sempit. Terutama di Pulau Jawa. Pertambahan penduduk, perluasan industri dan perumahan telah menyita banyak lahan pertanian yang subur di Pulau Jawa. Akibatnya, lahan pertanian, khususnya padi, makin berkurang. Jika lahannya kurang, produksi beras nasional pun berkurang. Padahal jumlah penduduknya makin banyak. Jelas, Indonesia akan kesulitan memenuhi kebutuhan makanan pokok penduduknya. Kondisi inilah yang menyebabkan Indonesia perlu impor beras.

Bagaimana lahan pertanian di luar Jawa? Jelas ada. Bahkan banyak dan luas. Tapi sayang, lahannya tidak sesubur Pulau Jawa. Di samping itu, penduduk setempat juga belum terbiasa bercocok tanam padi.

Kenapa demikian? Karena tradisi mereka, dulunya memang tidak makan nasi. Tapi umbi-umbian yang gampang tumbuh, meski hanya ditanam seadanya. Ini jelas berbeda dengan orang bertanam padi. Setelah padi ditanam, orang harus mengairi, memupuk, membersihkan rumput, dan lain-lain, sampai akhirnya bisa panen. Konon, padi adalah tanaman pangan yang sangat boros air dan pupuk.

Melihat gambaran di atas, tampaknya agak sulit bagi bangsa Indonesia untuk swasembada pangan jika makanan pokoknya masih bertumpu pada beras atau nasi. Sebabnya, tanaman padi tidak bisa tumbuh di sembarang tempat seperti singkong, ubi jalar, gembili, uwi, ganyong, sagu, dan lain-lain.

Sagu, misalnya, tumbuh subur (tanpa repot pemeliharaan) di dekat rawa-rawa Pulau Papua yang subur. Orang Papua makanan pokoknya sagu. Satu batang sagu, setelah tepungnya diolah, bisa untuk makan satu sampai dua bulan sekeluarga. Orang NTT dan Madura yang tanahnya kering, makannya jagung. Karena tanaman jagung tumbuh cukup bagus di lahan kering.

Tapi sayang, di zaman Orde Baru, ada kebijakan “berasisasi” di seluruh Indonesia. Bangsa Indonesia seperti “dipaksa” untuk makan nasi. Dampaknya luar biasa. Seluruh penduduk Indonesia keenakan makan nasi.

Kini, bayangkan, 270 mulut harus menelan nasi tiga kali tiap hari. Berapa juta ton beras harus tersedia untuk memberi makan 270 juta manusia. Pastinya sangat banyak. Niscaya pemerintah kerepotan memenuhi makanan pokok rakyat tersebut.

Bagaimana mengatasi hal ini? Bangsa Indonesia harus mampu berinovasi dalam menyikapi kondisi tersebut. Juga berinovasi dalam mengolah aneka jenis pangan alternatif nonberas.

Pertama, inovasi itu berupa perubahan pola tanam dan produksi pertanian. Misal, memanfaatkan tanah marjinal di seluruh Indonesia untuk bercocok tanam. Jelas, tanamannya bukan padi. Tapi tetap tanaman penghasil karbohidrat seperti padi. Misal singkong, ubi jalar, gembili, ganyong, dan garut. Tanaman-tanaman ini mudah tumbuh. Tak memerlukan banyak air dan pupuk. Bahkan bisa ditanam di pekarangan sebelah rumah.

Kedua, inovasi karakter. Kita harus mampu mengembangkan karakter hidup dengan makan nonberas. Artinya, psikologi perut yang beras-minded harus diubah. Psikologi perut ini terkait dengan respon saraf pusat di otak. Dengan demikian, masyarakat Indonesia harus mengembangkan pola pikir baru. Makan nonberas dengan segala konsekwensinya. Jika ini bisa dilakukan, tak ada lagi istilah tanah marjinal yang tak subur. Istilah tersebut hanya berlaku untuk tanaman padi.

Persoalannya, maukah orang yang terbiasa makan nasi beralih ke makanan tersebut? Ini pun butuh inovasi. Khususnya inovasi pengolahan makanan.

Ada tiga hal yang perlu ditransformasi dalam hal makanan tersebut. Pertama transformasi budaya. Budaya makan nasi harus diubah. Pendekatannya rasionalitas. Bahwa yang dibutuhkan tubuh untuk energi adalah karbohidrat. Singkong, ubi, garut, gembili, dan sagu adalah sumber karbohidrat. Sumber karbohidrat tidak hanya nasi.

Kedua faktor psikologis. Pendekatannya teknologi dan kreatifitas. Orang yang terbiasa makan butiran nasi, akan sulit makan panganan pokok berbentuk cairan, lempengan, dan potongan atau irisan. Maka solusinya, membuat mesin yang bisa mengubah singkong, jagung, garut, dan sagu menjadi bahan makanan berbentuk butiran seperti nasi (nasi analog).

Di Kepulauan Kei, Maluku, misalnya ada makanan rakyat hasil olahan tumbuhan endemik bernama hotong dan enbal. Telinga kita mungkin belum pernah mendengar nama jenis vegetasi endemik Kei tersebut. Padahal di masyarakat setempat hotong dan enbal cukup populer sebagai makanan substitusi beras. Bahkan ada orang Kei yang menjadikan hotong dan enbal sebagai makanan pokok. Kedua makanan tersebut bagus untuk penderita diabetes melitus (DM, kencing manis) karena indeks glikemiknya rendah.

Indeks glikemik adalah kecepatan perubahan karbohidrat menjadi gula. Nasi, misalnya, indeks glikemiknya tinggi sehingga kurang baik untuk penderita gula darah. Makan nasi itu cepat kenyang. Tapi juga cepat lapar. Ini tak baik untuk penderita DM. Sebaliknya umbi-umbian seperti singkong, sagu, hotong, enbal, ganyong, uwi, dan garut — indeks glikemiknya rendah. Makan panganan tersebut tidak cepat kenyang. Tapi juga tidak cepat lapar. Bagus untuk makanan penderita kencing manis.

Jika makanan alternatif tersebut — dalam hal ini beras analog — dikonsumsi, maka secara psikologis, pikiran bawah sadar mereka menganggap tetap makan nasi. Ini yang sudah dilakukan produk mie instant. Mie instant ada yang bahan bakunya berupa 30 persen tepung tapioka. Dan tetap enak. Seperti makan mie berbahan baku terigu.

Ketiga faktor gaya hidup. Kaum mileneal yg kini jumlahnya sekitar 40 persen populasi di Indonesia tampaknya telah terpengaruh gaya hidup modern Barat dan Jepang. Maksud saya, mereka lebih suka makanan praktis, simpel, dan enak di lidah seperti roti, pizza, dan bento. Karena itu pelaku bisnis makanan kudu mampu berinovasi mengolah bahan pangan nonberas menjadi makanan yang disukai generasi milenial tadi.

Restoran Bueno Nasio di Kuningan, Jakarta Selatan, misalnya, menyajikan menu unik serba sagu. Oleh chef-nya, tepung sagu diolah menjadi lontong, mie, bakwan, batagor, kripik, brownies, dan nachos. Rasanya tak kalah dengan olahan terigu dan tepung beras. Dari bahan sagu ini, resto Bueno Nasio juga mengolahnya menjadi makanan aneka macam yang maknyus.

Ini contoh kreativitas dalam mengolah makanan dengan bahan berbasis tumbuhan lokal nonpadi. Olahan sagu ternyata lebih dari sekedar papeda dan kue kering yang murah. Tapi bisa menjadi makanan elit yang harganya secara komersial menguntungkan petani dan pengusaha.

Saat ini, inovasi pengolahan makanan nonberas sudah mulai bermunculan. Salah satunya mocaf. Yaitu olahan tepung singkong yang mirip terigu, baik dari warna, bau maupun rasa. Meski harga mocaf relatif sama dengan terigu, tapi mocaf adalah kreasi anak bangsa.

Roti berbahan tepung jagung juga sudah ada. Ini artinya, ada bahan alternatif lokal untuk membuat roti. Beberapa produk mie instant juga bahannya campuran terigu dan tepung tapioka. Bahkan mie berbahan baku nonterigu kini sudah banyak dijumpai di pasar dan mall.

Cilok, makanan yg mulai populer di kota besar, bahan bakunya berasal dari tepung singkong atau tapioka. Cilok, menurut saya adalah produk makanan hasil inovasi industri kuliner Tasikmalaya yang punya masa depan. Cilok bisa dimakan sambil membaca buku. Cara memakannya praktis. Mudah. Harganya ekonomis. Luar biasa.

Juga empek empek. Makanan orang Palembang ini, perlu dikembangkan. Ini karena bahan bakunya nonberas, awet bila disimpan, tahan lama, mudah dibawa, dan praktis. Empek empek berpotensi menjadi makanan internasional jika promosinya gencar.

Itulah beberapa hasil inovasi pengolahan makanan di nusantara. Mengingat Indonesia negara kepulauan dan banyak suku, niscaya makanan khas yang inovatif sangat banyak.

Tampaknya hal tersebut perlu digali agar diversifikasi makanan menjadi sesuatu yang menyenangkan. Jika sudah demikian, swasembada pangan akan benar — benar tercapai.

Kenapa demikian? Ini karena makna swasembada pangan tidak lagi diframing dengan “ketersediaan nasi” yang berbahan baku beras. Terkait hal di atas, manusia Indonesia harus tahu bahwa makanan pokok adalah asupan karbohidrat untuk energi sehari hari. Dan karbohidrat bisa berasal dari mana pun. Tidak hanya dari nasi.

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA