by

Filantrofi Kakak Teladanku

Di akhir tahun 80an sempat terbit pula beberapa buku yang digagas oleh kelompok Denny JA setelah KSP dianggap bubar tahun 1988. Buku-buku tersebut tidak pernah aku miliki. Artinya sebagai pengurus organisasi lama, aku tidak lagi ‘tune in’ dengan organisasi kemahasiswaan luar kampus yang dibidani Denny JA, Jonminofri dan Jojo Raharjo itu.

Aku lebih konsentrasi menyelesaikan skripsi dan memusnahkan tali pertunanganku dengan salah seorang sepupu jauh yang berdomisili di Yogyakarta. Aku bersiap-siap “hijrah” ke Bali sejak tahun 1989 hingga menjadi pegawai negeri sipil alias dosen pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Udayana pada tahun 1990. Rupanya menjadi seorang “Inez” jauh lebih berarti bagiku dari pada hanya menjadi seorang “Rina”.

D. Sukses dengan Filantrofi

Mimpi-mimpi Kak Denny telah hampir semuanya terwujud. Kekuatan intelektualnya bersanding lurus dengan manajemen filantrofi dan advokasi sosial politiknya. Semua telah dimilikinya. Merantau dan meraih gelar Philosophy Doctor sekaligus gelar Master of Arts dari salah satu universitas terbaik di AS (S3 Ohio State University, S2 Pittsburgh University). Lalu, menikah dengan perempuan yang bibit, bebet, dan bobotnya paripurna. Plus dua putra mahkota penerus keturunan yang ganteng dan cerdas. Karir konsultan politik Denny JA moncer dengan mendirikan LSI. Semua disapu bersih dalam taman indah kesuksesan.

Bagi seorang Denny JA, sukses adalah berbagi. Berbagi dalam puisi esai, berbagi dalam karya seni, berbagi dalam ilmu, berbagi dalam film dokumenter, berbagi dalam harta, dan berbagi dalam kebahagiaan. Dalam hal terakhir ini, Denny punya prinsip: Meraih sesuatu adalah membahagiakan. Tapi memberi sesuatu lebih membahagiakan.

Akhirnya sifat berbagi dari Kak Denny ini, menjadi teladan sikap filantrofi yang menjadi idamanku. Aku ingin mencontoh kekuatan intuisi bisnisnya, ingin bisa menulis secepat kilatnya, ingin berwisata mengelilingi bumi, hingga cek kesehatan rutinnya di rumah sakit terbaik dunia. Aku ingin pula menyontoh sikap kebapakannya, mengantar putra tercinta memasuki dunia perguruan tinggi di Inggris. Aku ingin merasakan perbedaan dunia kerja yang dinikmatinya (bukan dengan menghitung cent demi cent, receh demi receh yang didapat dengan peluh dan air mata). Dan aku ingin semua rasa itu membaur dalam senyum cerah: bahwa sukses itu harus disyukuri bersama. Dan hidup adalah untuk berbagi.

Keberhasilan apa-pun bagi Denny JA menjadi selebrasi. Dan kegagalan harus ditepis walaupun tetap menjadi guru yang menerangi. Aku hampir ragu, adakah turbulensi hidup pernah menyapa kakakku yang satu ini? Pernahkah bungkahan kecewa, pedih haru biru menjegal jiwa bebas seorang Denny JA? Wallahu alam bisawab. Hanya dia yang bisa menjawabnya.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA