by

Filantrofi Kakak Teladanku

Halimah senang menulis dan memilih karir sebagai reporter. Aku sebagai perempuan yang — kata teman KSP — cukup lincah, tidak fokus menjadi penulis ataupun debator tukang sanggah. Kuliahku di IKIP Negeri Jakarta cukup menyita waktu. Dan aku bekerja paruh waktu pula. Menulis artikel sponsor pada majalah InfoKomputer Kelompok Kompas Gramedia.

Aku lebih lentur mengikuti arus tengah diskusi dengan lekuk-lekuk pemikiran modern khas Orde Baru. Terutama menyimak tahap-tahap teori ekonomi Rostow. Ini penting untuk melihat perjalanan politik pembangunan rejim Orde Baru hingga tinggal landas. Ternyata, politik pembangunan rejim Orde Baru gagal total. Di akhir masa jabatan Soehato, ekonomi Indonesia terpuruk. Yang tertinggal hanya landasannya!

Masa menjadi mahasiswi IKIP Negeri Jakarta di tahun 1984 hingga tahun 1989, besar pengaruhnya terhadapku. Aku makin memahami konteks diskusi. Di sinilah aku mulai lebih mengenal sisi kedermawanan Kak Denny JA dalam membagi ilmu. Secara langsung atau tidak langsung, aku belajar untuk memahami proses NKK/BKK dan kehidupan kampus melalui tulisan-tulisannya.

Denny JA bukan hanya mampu mendebat dan menghidupkan suasana diskusi, juga mengkoneksi para aktivis kampus. Pemikirannya “menusuk” rezim Orde Baru. Artikelnya berkali-kali terbit pada surat kabar Kompas atau media cetak lainnya.

Tapi jalanku berbeda dari Kak Denny. Debat dan keinginan bebas berekspresi terwujud dalam heroisme bela negara. Aku menjajal kerasnya Resimen Mahasiswa Jayakarta Batalyon 13 IKIP Negeri Jakarta sebagai anggota Menwa seksi Riset dan Pengembangan. Aku juga menjadi tim redaksi majalah kampus “DIDAKTIKA” IKIP Jakarta yang mengantarku mengikuti pelatihan Pers Kampus Tingkat Pembina di Yogyakarta. Saat mau ke Yogya, Denny JA menitipkan surat untuk tokoh aktivis mahasiswa era tersebut, yaitu Taufik Rahzen. Taufik Rahzen adalah mahasiswa Fakultas Teknik Kimia UGM yang aktif dalam pembagai forum diskusi. Kelak di Bali, Taufik Rahzen, istri dan almarhumah putrinya menjadi bagian dari hidup baruku.

Membandingkan sosok Denny JA (tokoh mahasiswa yang popular di era 80an itu) dengan sosok lelaki yang menghadirkanku di dunia ini — yaitu papaku — bukan tidak mungkin. Pilihan seorang ayah agar seluruh putri-putrinya masuk ke sekolah kejuruan, memiliki alibi yang masuk akal. Agar putrinya kelak punya keterampilan. Bila keluarga tidak mampu membiayai kuliah di perguruan tinggi, maka keterampilan itulah yang akan menopang hidupnya.

Tentunya seorang mahasiswi berlatar belakang pendidikan vokasi yang praktis dan pragmatis seperti aku saat itu, tidaklah mudah mengikuti pikiran ayah. Tanpa bantuan dan tekanan dari seorang ayah, Drs. M Nashir Ali yang dosen pada Universitas Muhammadiyah dan juga penulis berbagai buku itu, tidak mungkin aku mampu memahami ilmu pengetahuan secara benar dan utuh. Ayahku sangatlah kritis dan mampu mengkritik tiada henti. Beliaulah alasan aku bertekad pergi dari ibu kota Jakarta untuk meniru profesinya sebagai dosen.

Tetapi aku tidak pernah lupa pada figur manis seorang pria muda bernama Denny. Entah bagaimana, menjelang akhir studi Strata Satu bidang Sarjana Pendidikan di IKIP Rawamangun, aku sempat berjumpa lagi dengan kak Denny. Aku mengobrol santai dengannya sambil menuju kampus masing-masing di Rawamangun. Saat itu, Kak Denny menyatakan keinginannya untuk studi lanjut di luar negeri. Kak Denny berupaya mendapatkan beasiswa dari Amerika.

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA