by

Filantrofi Kakak Teladanku

Tokoh yang paling sering memandu diskusi mingguan kami adalah Denny JA. Dialah yang secara halus membentuk jiwaku yang: ingin sukses, punya ilmu, dan memahami akar ilmu pengetahuan. Kak Denny adalah pemantik jiwa haus ilmu pengetahuanku selain peran papaku almarhum.

Belum cukup rasanya membandingkan capaian kak Denny dengan pengalamanku menimba ilmu di stratum dua ANU (Australian National University, semacam UI-nya Australia), Canberra. Aku studi di ANU setelah menikah dengan budayawan Jean Couteau – pria berdarah Prancis yang rutin menulis kolom Udara Rasa di Kompas Minggu — tahun 1993.

Selesai S2, tahun 1995. Lalu, lahir putra pertama kami tahun 1996. Lanjut anak kedua, seorang putri yang berwajah indo. Wajah idola remaja di film-film Indonesia.

Dari ANU aku melanjutkan studi S-3 di Newcastle University. Dua anak balitaku “menemani” aku di kota Newcastle, 160 km utara Sydney. Ini kota kedua terbesar di negara bagian New Soth Wales.

Bagaimana dengan Kak Denny yang kuliah di Negeri Uncle Sam? Ternyata, ia tidak berkutat meraih beasiswa seperti apa yang aku jalani. Ia beruntung: mendapat beasiswa Fullbright studi Master leading to PhD. Artinya, Kak Denny tidak perlu susah payah mencari beasiswa S3. Dia langsung menyelesaikan PhD usai lulus S-2 dengan beasiswa Pemerintah Amerika Serikat.

Sekarang keinginanku bertambah satu lagi setelah melihat kehidupan Kak Denny yang kaya raya. Aku ingin kaya raya dan banyak berderma seperti dia. Rasanya tak salah kalau Kak Denny adalah teladan hidupku. Banyak teladan darinya yang memicu semangat juangku.

Pertemanan dengan Kak Denny dan anggota KSP perlahan tapi pasti, telah menjadi framing kehidupanku selepas sekolah menengah. Melalui mereka, aku mulai mengenal lebih lanjut sisi filsafati dan teori ilmu pengetahuan. Lengkap dengan sejarah pemikirannya.

Seorang kakak yang kutemui dalam diskusi di rumah Bapak Djohan Effendi di suatu Minggu sore adalah Ismail Fahmi. Dia sudah meninggal dunia tahun 2018 lalu. Aku berterima kasih kepada almarhum Kak Fahmi yang sempat naksir adik kandungku. Seingatku, pada usia 18 tahun itu, Kak Fahmi mengantarku mencari lokasi ujian masuk perguruan tinggi. Membonceng sepeda motornya saat berangkat tes masuk, syukur Alhamdulillah pada tahun 1984 itu, aku diterima masuk SIPENMARU (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Aku diterima di IKIP Negeri Jakarta.

Jadi, aku tidaklah terlalu minder dengan kakak-kakak dari Universitas Indonesia, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, dan Sekolah Tinggi Publisistik yang kerap ngumpul mendiskusikan berbagai isu kontemporer di Indonesia dan dunia. Seperti halnya orang-orang intelek dan aktivis nasional itu.

Tokoh pluralis almarhum Pak Djohan Effendi menjadi urutan pertama apresiasiku ketika ikut KSP. Entah bagaimana Kak Budhy Munawar Rachman mampu membuat Pak Djohan mengundang sosok-sosok cerdas dan intelek berkumpul di rumah beliau di Jalan Proklamasi 51, Jakarta Pusat. Rumah itu sangat bersejarah. Karena di rumah Pak Djohan-lah KSP lahir. Di situlah kami berkumpul hampir setiap hari Minggu sore.

Madu Baduy (https://www.tokopedia.com/madubaduy)
______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA