
Oleh Ahmad Gaus AF, Dosen dan Penulis
KOPI, Jakarta – Saya mengenal Denny JA sebagai seorang penulis prolifik dan tajam. Tulisan-tulisannya sudah saya baca sejak saya masih duduk di bangku SMA, dan kemudian berlanjut hingga masa kuliah pada awal tahun 1990-an.
Sebagian besar tulisannya saya baca di surat-surat kabar seperti Kompas, Media Indonesia, Republika, dll. Ada juga dalam buku antologi tentang pembangunan, demokrasi, atau gerakan mahasiswa.
Sebagai mahasiswa, dengan uang yang terbatas, saya jarang membeli koran tapi selalu mampir ke lapak eceran koran dan majalah di pinggir jalan untuk sekadar melihat-lihat headline berita hari itu, dan tulisan di halaman opini. Kalau di koran itu ada tulisan Denny JA saya pasti membelinya, walaupun makan siang nanti harus dikurangi menunya.
Saya selalu mengagumi tulisan Denny JA baik dari segi substansi gagasan maupun penyajiannya. Sebagai intelektual saya kira dia tidak membatasi diri untuk menulis tentang apa saja. Tapi meski begitu, dia punya kerangka pikir yang cukup jelas sehingga apapun yang ditulisnya, tetap bersumber dari kerangka itu. Dia menulis tentang politik, kebudayaan, gerakan sosial, seni, agama, filsafat, dalam kerangka pikir modernisme dengan pendekatan teori kritis.
Tentu saya tidak bermaksud mengurung dia dalam kotak tertentu. Dia lebih dari itu. Tapi maksud saya dia punya sikap dan visi yang jelas sebagai seorang intelektual. Dan karena itu pula, saya kira, pikiran-pikirannya cukup bergema dan mempengaruhi opini publik.
Sebagai penggerak kelompok studi, pada awal tahun 1990-an Denny JA pernah mengkritik gerakan mahasiswa dengan tajam sekali. Ketika aksi-aksi mahasiswa sedang bangkit dan marak pada masa itu dan dia mengatakan seperti itu sungguh nekad. Dia melawan arus. Dan akhirnya dia memang dimusuhi oleh para aktivis gerakan mahasiswa.
Comment