by

Denny JA dalam Impresi Personal

Isti Nugroho

Oleh: Isti Nugroho, Sutradara Teater/Seniman

KOPI, Jakarta – Banyak pikiran yang disampaikan Denny JA dalam pergaulan sosial maupun dalam percakapan pribadi. Semuanya terekam dalam ingatan saya.

Tulisan ini dibuat berdasarkan ingatan atau impresi-impresi pribadi saya. Karena perhatian Denny sangat luas dan banyak dalam kehidupan ini, wajar saja tidak semua bisa saya tuliskan di sini.

Misal, ketertarikan Denny pada kesusastraan, yang kemudian melahirkan antologi puisi esai “Atas Nama Cinta”. Kondisi ini menjadikan dirinya sebagai tokoh sastra yang berpengaruh. Terlepas dari pro kontra soal ketokohan Denny dalam dunia sastra, satu hal harus diakui: Denny serius jika terlibat dalam suatu masalah. Ia berani berkorban apa pun – termasuk tenaga dan dana — untuk meraih cita citanya.

Denny punya ide mulia: ingin menghidupkan sastra yang mati suri. Dengan puisi esai yang digagasnya, dunia sastra – mau tak mau harus diakui – hidup kembali. Seakan ada sesuatu yang menggigit yang menyebabkannya terbangun. Lalu hidup. Bahkan meramaikannya. Sepengamatan saya, dalam 25 tahun terakhir, tak pernah ada peristiwa yang mengguncang dunia sastra sebelum terbitnya genre puisi esai ala Denny. Ini terlepas dari pro-kontranya.

Setelah antologi puisi esai Atas Nama Cinta karya Denny terbit, sederet buku puisi esei bermunculan. Sedikitnya 35 penyair dari Aceh hingga Papua, menulis puisi esai yang merekam gejolak sosial di masyarakatnya. Tentu saja, Denny berperan. Mendorong mereka untuk menulis rekaman dan tafsirnya atas fenomena sosial dalam bentuk puisi esai. Hasilnya luar biasa. Sesuatu yang selama ini tersembunyi, dibuka dan ditulis dengan puisi yang cantik.

Jojo Raharjo, seorang peneliti yang sebelumnya tak bersentuhan dengan sastra, tiba-tiba meluncurkan buku puisi esai berjudul “Sanih, Kau Tidak Perawan.” Puisi esai ini menggambarkan diskriminasi gender yang dialami perempuan yang hidup dalam budaya patriarkis.

Juga Elza Peldi Taher, menulis puisi esai Manusia Grobak. Elza yang baru pertama kali menulis buku puisi sepanjang hidupnya itu, ternyata karyanya menggemparkan. Ia mampu menggambarkan nestapa orang miskin di ibu kota yang hidupnya — mulai bangun pagi hari, lalu mencari nafkah, sampai tidur lagi di malam hari – berada dan bersama gerobak tadi.

Manusia gerobak seperti menggedor sanubari kita, bahwa itu lo! fenomena orang miskin di ibu kota, di mana ketimpangan si miskin dan si kaya begitu fantastis. Sampai sebuah stasiun tivi swasta membuat sinetron Manusia Gerobak dengan mengacu pada karya Elza ini.

Banyak hal-hal yang selama ini seperti tersembunyi berhasil diungkap melalui puisi esai dengan gamblang. Tanpa tedeng aling-aling. Peristiwa pengadilan rekayasa Sengkon-Karta, penindasan warga Ahmadiyah, perbudakan seks di Puncak oleh turis Saudi Arabia, dan banyak lagi – semuanya terekam dalam puisi esai yang terbit setelah Atas Nama Cinta. Puisi esai menjadi media berimajinasi atas sebuah realitas sosio-historis. Dengan narasi indah, seperti halnya sastra, puisi esai bisa menjadi rujukan sastra sekaligus sejarah dan sosilogi-politik suatu peristiwa.

Kami dari Dapoer Seni Jogyakarta, pernah mementaskan teater monoplay dari salah satu judul puisi Denny: Sapu Tangan Fang Yin. Ini puisi esai panjang yang bercerita tentang dampak reformasi 1998 di Indonesia. Fang Yin, tokoh dalam puisi esai itu adalah gadis Tionghoa yang diperkosa dalam kerusuan Mei 1998 di Jakarta.

Ketika kerusuhan itu terjadi, 12 Mei 1998, Fang Yin baru berumur 22 tahun dan sedang menjalin asmara dengan Albert Kho. Segerombolan penyamun mendatangi rumahnya di Kapuk, Jakarta Utara, dan memperkosanya secara bergantian.

Selepas episode pemerkosaan itu, Fang Yin menemukan dirinya luluh lantak di sebuah rumah sakit. Albert Kho, sang kekasih, memberikan sapu tangan untuk menampung air mata Fang Yin. Tapi kemudian, Albert Kho meninggalkannya dalam keadaan merana.

Tidak semua laki-laki berhati lapang menerima perempuan yang telah kehilangan kesucian. Fang Yin ngin membakar selembar kenangan itu. Tapi tak sanggup. Telalu banyak kenangan hidup Fang Yin di sapu tangan itu. Seburuk apa pun kenangan itu, bagaimana pun, ia bagian dari hidupnya yang tak terpisahkan. Bagi Fang Yin, sapu tangan itu adalah saksi satu-satunya atas tindakan biadab perampok yang merperkosa dirinya. Sapu tangan itu adalah sisa trauma masa lalunya yang selama ini disimpan diam-diam.

Siapa pun yang pernah membaca antologi puisi esai Atas Nama Cinta, jujur akan mengakui kelihaian Deny merangkai peristiwa sejarah di tanah air dalam untaian narasi yang indah. Tak bosan membacanya. Atas Nama Cinta, menurut saya, adalah karya masterpiece Denny dalam dunia sastra. Dan ia layak mendapat penghargaan melalui karya tersebut.

Tapi? Ketika Denny dinobatkan sebagai tokoh sastra yang berpengaruh, komunitas sastra bergolak. Ada yang setuju ada pula yang menolaknya. Lucunya, yang menolak ini bertindak anarkis. Mereka unjuk demo di depan Taman Ismal Marzuki (TIM) Jakarta dengan membakar buku Atas Nama Cinta.

Denny marah? No. Ia merespon penolakan itu dengan terus berkarya. Denny ingin membuktikan eksistensi puisi esai di jagat sastra. Ia yakin puisi esai akan terus ditulis oleh penyair-penyair lainnya. Dan terbukti sampai hari ini penentangnya berguguran. Puisi esai malah menjangkau negera lain, seperti Malaysia, Brunai Darusalam, Thailand, dan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Bahkan para penulis puisi esai bisa bertukar pikiran di kancah regional di Kinabalu, Serawak, 2017 lalu.

Latar belakang Dennya sebagai aktivis dan Intelektual yang diawali pada paruh tahun 1980 merupakan kekuatan yang menunjang kariernya dalam politik, bisnis, dan kesenian. Sebagai mahasiswa yang bergaul luas, dalam upayanya mencari sistem alternatif pada waktu represi politik orde baru, Denny sudah menemukan diri dalam ekspresi di media massa. Tulisan-tulisannya yang dimuat di media semacam Kompas, Jawa Pos, Sinar Harapan, dan lain-lain, menaikkan pamor Denny di dunia intelektual. Denny berada di sana sebagai rujukan. Bahkan ketika mendirikan lembaga survei politik yang pertama di Indonesia, ia pun menjadi rujukan nasional.

Aktivis dan Intelektual

Representasi Denny JA sebagai intelektual tercermin tidak hanya dalam karya-karya ilmiah, puisi esai, dan survei politik. Tapi juga perlawanannya terhadap diskriminasi. Bagi Denny, Indonesia masa depan haruslah Indonesia Tanpa Diskriminasi. Tanpa itu, Indonesia tdak akan menjadi negara maju.

Kiprah Denny di atas, persis seperti digambarkan Julien Benda. Bagi Benda, intelektual bukan orang yang kegiatan utamanya mengejar tujuan-tujuan praktis. Tapi kegiatan menekuni seni, ilmu, dan renungan metafisik. Mereka adalah para ilmuwan, sastrawan, seniman, filsuf, dan ahli metafisika. Mereka mendapat kepuasan di sana.

Sebagai pakar survei politik, Denny tergolong sukses. Ia berhasil mengantarkan kemenangan 4 Presiden RI bertutur-turut. SBY dua kali. Jokowi dua kali. Juga mengantarkan kemenangan puluhan kepala daerah tingkat satu dan dua. Tentu saja, keberhasilan tersebut mendapatkan reward ekonomi yang banyak. Ia pun mampu berinvestasi di market atau bisnis yang menguntungkan. Sehingga ia sekarang menikmati financial freedom. Bahkan mempunyai dana untuk menopang kegiatan intelektualnya.

Kesuksesan Denny J.A sekarang tidak terlepas dari kegigihannya sebagai aktivis-intelektual yang mengikuti perkembangan zaman. Dia tidak berhenti sebagai aktivis yang memperlihatkan keberaniannya melawan rezim Suharto. Tapi juga berupaya meraih pendidikan tinggi di luar negeri. Kecintaannya pada ilmu pengetahuan, seni, dan filsafat itulah yang mengantar pencapaian dan kesuksesan dirinya.

Politik Kedermawanan

Di sekitar teman-teman dekatnya, Denny adalah seorang dermawan. Ia sangat ringan membatu kawan-kawannya sesama aktivis. Baik itu aktivis politik, ekonomi, sosial, maupun sastra. Uluran tangannya bisa menegakkan kembali kawan-kawannya yang sedang jatuh karena terbelit persoalan ekonomi. Lebih jauh dari itu – Denny menyatakan, sesungguhnya ia sedang menginisiasi politik kedermawanan.

Di kehidupan sehari-hari atau di kebudayaan apa pun, seseorang kadang mencari dan menemukan istilah yang belum memiliki referensi umum. Dalam konteks politik kedermawanan — istilah yang belum ada dalam referensi politik — saya meminjam pengertian Paul Stange dalam bukunya Politik Perhatian Rasa dalam Kebudayaan Jawa. Politik di sini bukan politik yang menyangkut lapangan pemerintahan. Saya menggunakan kata politik dalam arti luas yang sekarang berlaku di dunia ilmu sosial dan sastra di dunia Barat. Di dalam wacana itu, politik menyangkut, antara lain, pola kekuasaan di dalam lingkungan keluarga, gender, birokrasi, dan kompetisi.

Jadi politik kedermawanan, pinjam Paul Stang , adalah upaya menolong dari atas ke bawah dalam formasi sosial yang luas antara yang berpotensi membantu dalam pengertian ekonomi, politik, dan sosial — kepada mereka yang berpotensi butuh pertolongan dalam aktivitas politik, ekonomi, dan sosial.

Denny telah menjalankan politik kedermawanan tersebut. Banyak teman-teman aktivis yang terbantu politik kedermawanan Denny. Antra lain almarhum aktivis Agus Edi Santoso yang wafat 10 Januari 2020 lalu. Salah satu bentuknya yang kini sangat membantu kehidupan keluarga sepeninggal Agus adalah cafe Tji Liwoeng Coffee di rumah almarhum di Condet, Jakarta Timur.

Sebagai teman dekat almarhum Agus, saya hanya bisa mengucapkan Alhamdulillah. Puji syukur kepada Tuhan atas politik kedermawanan Denny. Semoga Tuhan membalas Denny dengan “politik sorga” kelak di hari kemudian.

______________

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: [email protected]. Terima kasih.

Kunjungi juga kami di www.ppwinews.com dan www.persisma.org

Ingin berkontribusi dalam gerakan jurnalisme warga PPWI…? Klik di sini

Comment

WARTA MENARIK LAINNYA