Oleh: Geni Rina Sunaryo, Peneliti Senior Batan
KOPI, Jakarta – Hidup hanya sejenak. Lima puluh tahun lalu, setelah lewat, seperti baru kemarin.
Lima puluh tahun lebih, aku tumbuh dan besar di Indonesia. Aku belajar di tanah air. Menghirup udara, minum air, dan makan nasi dari ibu pertiwi. Tapi apa yang bisa aku sumbangkan untuk tanah air tercinta?
Di Jepang aku belajar ilmu nuklir. Biayanya dari pajak rakyat Indonesia. Aku kuliah di universitas terbaik di sana: Tokyo University. Lulus hingga doktor. Dulu Harapanku membuncah: bisa mendarmabaktikan ilmuku untuk ibu pertiwi. Tapi apa yang terjadi?
Ilmuan nuklir, sepertiku, di Indonesia lumpuh. Seperti tentara dengan senapan kosong, tanpa peluru. Kelihatannya gagah. Tapi apalah kegagahan itu jika tak pernah memegang senapan bertimah panas? Senapan untuk berperang?
Sungguh tak ada kisah heroisme yang dapat aku ceritakan kepada generasi mendatang. Kiprahku sebagai ilmuan nuklir, terasa kosong. Seperti senjata tanpa peluru.
Tak banyak orang yang tahu kalau teknologi nuklir spektrumnya sangat luas. Ia bisa dimanfaatkan untuk dunia kedokteran, pertanian, hidrologi, pertambangan, arkeologi, konstruksi bangunan, dan macam-macam. Pusat Aplikasi Radio Isotop BATAN Pasar Jumat, misalnya, sudah berhasil merekayasa bibit unggul padi, kedelai, dan kacang-kacangan tahan hama, produksi tinggi, dan cepat panen. Juga berhasil merubah kayu yang lembek menjadi kayu yang kuat berkualitas tinggi. Masih banyak lagi.
Tapi di antara manfaat nuklir yang sangat penting dan fundamental, adalah merubah energi nuklir menjadi energi listrik. Kita tahu listrik di dunia modern sangat vital. Energi listrik merupakan kebutuhan pokok dalam kehidupan masyarakat modern. Tapi sayangnya, sampai detik ini, Indonesia yang seluas Uni Eropa ini, tak punya satu pun (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir).
Comment